Permata Peradaban
Pegunungan Kintamani sejak dahulu kala telah dinobatkan sebagai salah satu pusat orientasi hidup manusia Bali. Jejak-jejak orientasi itu dapat dibaca melalui sisa-sisa peradaban yang terpenjara dalam khazanah pernaskahan tradisional—mulai dari prasasti hingga karya sastra—dan laku-laku hidup masyarakat yang terjaga hingga kini. Dalam hal pernaskahan—meski tampak terselubung dan redup, jejak-jejak itu dapat dilihat melalui piagam-piagam “bertanda tangan basah” raja-raja Bali Kuno yang tersimpan di desa-desa tua di kawasan tersebut. Beberapa putusan yang bertahan oleh hembusan zaman juga ditegaskan kembali melalui putusan-putusan lebih muda yang dikeluarkan penguasa Bali pada paruh abad setelahnya. Selain itu, bukti-bukti orientasi manusia Bali pada Pegunungan Kintamani juga terwujud melalui kehadiran situs-situs pura kahyangan jagat, lengkap dengan berbagai ritus yang hidup di dalamnya.
Dari sisi citra kebahasaan, Kintamani disebut-sebut berasal dari kata cintamani yang berarti ‘permata pikiran’. Sumarta (2015:9) menelusuri bahwa kata cintamani telah menunjukkan eksistensinya dalam prasasti paling purba yang dimiliki Bali. Kata cintamani telah tersurat dalam Prasasti Sukawana A-1 yang berangka tahun 804 Saka (882 Masehi). Menurut uraian prasasti pemutus masa prasejarah Bali itu, Kintamani merupakan “kampus besar kerohanian” yang penting pada masanya.
Cintamani [cintāmaṇi] secara harfiah merupakan kata dalam bahasa Sanskerta yang berarti ‘mutiara pikiran’, ‘mutiara menakjubkan yang dianggap memberi semua keinginan pemiliknya’. Dari bahasa Sanskerta, cintamani diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno, yang dapat ditemukan pada beberapa karya besar masa lampau seperti di dalam Wrehaspati Tattwa, Ramayana, dan Malat. Pada teks-teks tersebut, cintamani digunakan untuk merujuk bagian tubuh manusia yang khusus, diterjemahkan sebagai ‘mutiara hati’ hingga ‘titik pusat samadhi’ (Zoetmulder, 2011:175).
Kakawin Ramayana, sebuah epos kakawin terpanjang dan tertua di Nusantara setidaknya mengungkap kata cintamani dalam tiga bait berbeda, yakni pada bait XI.20, XVI.13, dan XXI.10. Ramayana XI.20 tertuliskan, “Anilātmaja dūta sādhu dibya, sira cintāmaṇi mêtwakên sakahyun, Raghuputra nahan ta liŋ nirojar, muji Saŋ Māruti māri yar makiŋkiŋ (putra Anila adalah duta yang saleh dan mulia, dialah cintamani yang mengeluarkan kehendak. Begitu Raguputra berbicara, memuji Sang Maruti hingga sirna kesedihan)”. Selanjutnya, pada bait XVI.13 ditulis, “samudra Himawān paḍanya paripūrṇa kalian manik, tridhātu ya watunya tulya Alakāwatī tar pahi, asiŋ sakaharêp hane ri ya kadi pwa cintāmaṇi, tatan alaha yan kaḍatwana bhaṭāra Kāmānurun (lautan dan Gunung Himawan sama halnya dengan kesempurnaan segala permata, tridatu batunya, bagai Alakawati tiada berbeda. Segala kehendak ada di sana bagaikan cintamani, tidak kalahlah jikalau keratin Bhatara Kama turun)”. Sedangkan, pada XXI.10 dinyatakan, “parimāṇa bapaŋku len ibuŋku, taya trêṣṇākwi sirān hane kita, kita rāma kitādhidewataŋku, kita cintāmaṇi kalpapādapa (kadar ayah berbeda dengan ibuku, tiada terhingga cintaku kepada mereka. Engkau ayahku adalah dewataku yang utama, engkau cintāmaṇi (juga) pohon keinginan)”.
Berpijak pada teks Wrehaspati Tattwa, Parta Wijaya, Harsawijaya, hingga Sang Hyang Kamahayanikan, Sumarta (2015:9-10) menjelaskan bahwa cintamani atau sering ditulis cittamani atau cintyamani merujuk pada laku-laku sadana, baik dalam tradisi Siwaistis maupun Buddhis. Sang Hyang Kamahayanikan—satu teks ajaran Buddha tertua—menjelaskan cintamani sebagai jenis-jenis samadi, seperti muniwara cintamani samadi, kumaranirbana cintamani samadi, dan mahamuniwara cintamani samadi. Selain itu, kata cintamani juga kerap disandingkan dengan cudamani, dimana cintamani memiliki substansi nonragawi, niskala, rohaniah, sedangkan cudamani merujuk rupa ragawi, sekala, jasmaniah.
Pemberian gelar kehormatan cintamani pada pegunungan yang terbentuk dari letusan Gunung Batur Purba sekitar 29 ribu tahun lalu tampaknya berangkat pada kesatuan fungsi fisik dan psikis yang dikandung sedemikian rupa di kawasan tersebut. Secara fisik, Kaldera Batur merupakan penampang kawasan yang menjadi salah satu sumber resapan air penting bagi Bali. Bahkan, danau yang terletak di dasar Kaldera Batur II merupakan danau terbesar Bali, dimana aliran airnya dipercaya menyebar dan menyusui sebagian kawasan Pulau Dewata. Air yang mengalir ke berbagai penjuru itu telah menumbuhkan tanaman hingga berhasil memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Setelah kebutuhan fisik manusia tercukupi, formulasi alam Kaldera Batur pada tahap selanjutnya menyediakan pemenuhan kebutuhan rohani manusia Bali. Keindahan penampang fisik Kintamani mendukung pencapaian pengalaman-pengalaman batin yang halus. Di masa silam, tempat inilah yang mengemuka dalam salah satu piagam Bali Kuno sebagai sebuah universitas rohani bernama Bukit Cintamani Mmal. Raja di masa silam mengukuhkannya menjadi wilayah perdikan yang didedikasikan sebagai asrama para biksu penjaga tiang dharma.
Pada abad modern, kawasan ini menjelma menjadi destinasi wisata andalan Bangli. Kawasan Kintamani telah dimasukan dalam peta jalur wisata utama Bali oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1914. Kala itu, rute wisata utama Bali bahkan belum melalui Ubud. Ketika seabad kemudian perkembangan pariwisata Ubud jauh melesat lebih progresif, kondisi ini terkait dengan persoalan manajemen. Meski pun hidup ala kadarnya selama beberapa tahun ke belakang, roh wisata Kintamani sejatinya belumlah padam. Ini terbukti selama pandemi Covid-19 menyebar sejak awal 2020. Ketika ritme pariwisata Bali melesu, pariwisata Kintamani justru tampak tetap menggeliat. Suguhan keindahan alamnya mampu menjadi obat penenang atas keresahan orang-orang yang dibayangi keganasan virus Corona. Pada titik ini, pemahaman wisata sebagai bukan semata-mata pencarian kesenangan tetapi sebagai pencarian ketenangan jiwa menurut Kakawin Ramayana II.21, seperti diungkapkan Yasa (2020)menemui titik temu. Oleh karena mampu memenuhi kebutuhan lahir dan batin itu, tidak keliru pegunungan ini akhirnya disebut sebagai pegunungan permata pikiran.
Kuasa Tanah dan Anugerah Air: Membaca Konsep Bhatara Sakti Batur Makalihan
Penobatan Kintamani sebagai “Bukit Permata Pikiran” dapat dipahami sebagai penegasan atas daya cipta dan kreativitas yang lahir di kawasan tersebut. Penciptaan pada hakekatnya merupakan pertemuan elemen purusa (maskulin) dan elemen pradhana (feminim). Purusa menyangkut elemen-elemen rohaniah, sedangkan pradhana menyangkut elemen-elemen badaniah.
Secara fisik, Kaldera Batur merupakan wujud penyatuan yang paling nyata dari kedua elemen penciptaan tersebut. Gunung Batur merupakan simbolisasi lingga yang merepresentasikan elemen purusa, sedangkan Kaldera dan Danau Batur merupakan simbol yoni yang merepresentasikan elemen pradhana. Sejumlah narasi teks menegaskan kawasan tersebut sebagai sumber-sumber penciptaan. Babad Kayu Selem misalnya, menyebut manusia Bali pertama diciptakan di kawasan tersebut. Beliaulah Mpu Kamareka yang kemudian diwisuda sebagai seorang intelektual—bhujangga—pertama Bali Mula.
Dewa-dewa utama yang dipuja masyarakat kawasan Pegunungan Kintamani masih memperhatikan elemen purusa-pradhana yang kental. Bhatara Datonta atau I Ratu Sakti Pancering Jagat yang bersemayam di Pura Pancering Jagat Terunyan merupakan elemen purusa yang telahdipuja sejak masa Bali Kuno oleh masyarakat Karaman i Wingkang Ranu—masyarakat di tepi Danau Batur. Pendamping pradhana-nya adalah I Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar, dasanama Ida Bhatari Danu atau I Ratu Ayu Mas Membah, penguasa Danau Batur. Menurut kisah yang berkembang, Bhatara Datonta merupakan seorang pangeran asal Solo yang datang ke Terunyan untuk mencari sumber bau yang begitu menyengat dari pohon menyan yang tumbuh di sana. Sementara, I Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar adalah penguasa setempat. Pertemuan kedua sosok inilah yang menciptakan babak baru dalam lingkar kehidupan manusia Terunyan. Pertemuan keduanya hingga saat ini masih diwujudkan melalui pentas Barong Brutuk saban dua tahun sekali pada Sasih Kapat. Upacaranya disebut sebagai Ngusaba Kapat Lanang.
Selanjutnya, konsep purusa-pradana di Batur dimanifestasikan dalam perwujudan Ida Bhatara Sakti Makalihan. Sisi maskulin disimbolkan sebagai Ida Bhatara Sakti Maduwe Gumi, sedangkan sisi feminim disimbolkan sebagai Ida Bhatari Sakti Ayu Luwih yang juga dasanama Ida Bhatari Danu. Kedua elemen suci ini merupakan puncak pemujaan masyarakat Batur yang secara sekala hadir melalui pangemong-nya, Jero Gede Batur Makalihan. Menariknya, dalam lingkar konsep ini, elemen feminim didudukkan satu level lebih tinggi dibandingkan elemen maskulin. Ida Bhatari Sakti Ayu Luwih secara sekala dimuliakan melalui bangunan meru tumpang solas yang dijaga oleh Jero Gede Batur Duuran, sedangkan Ida Bhatara Sakti Maduwe Gumi dimuliakan melalui bangunan meru tumpang sia dan dijaga oleh Jero Gede Batur Alitan.
Konsep Bhatara Sakti Makalihan bukan hanya diwarisi di Pura Ulun Danu Batur. Khusus di internal Desa Adat Batur, rumusan yang sangat mirip turut ditemukan di Pura Alas Arum Batur. Kedua gelarnya Bhatara Sakti Makalihan sama. Hanya saja, keduanya distanakan di meru tumpang pitu dan penjaganya diberi gelar Jero Lingsir Makalihan. Konsep yang ditemukan di pura ini merupakan penguat sistem religi Batur yang berpijak pada pemuliaan purusa-pradhana. Menurut ingatan para panglingsir Batur, Pura Alas Arum adalah entitas Batur yang lebih kuno. Alas Arum diduga kuat merupakan sisa-sisa peradaban Desa Sinarata, salah satu komunitas pra-Batur yang menjadi salah satu basis massa terbesar dalam pembentukan Desa Batur pada abad ke-16.
Hauser-Schäublin (2011:13-14) menjelaskan Pura Batur sebagai hasil dari upaya penjajahan para bangsawan Jawa yang merupakan imigran dari Majapahit antara abad ke-16 dan ke-17. Sebelumnya, nampaknya ada sejumlah, kurang lebih, pemukiman independen yang membentuk aliansi dan jaringan kerjasama dengan tujuan ritual dan politik. Perjuangan dari aliansi tersebut melawan orang luar dan upaya para imigran untuk mengontrol pemukiman di pegunungan akhirnya berakhir dalam sebuah kesepakatan. Para penduduk (yang selamat) “dibujuk” untuk menyerahkan desa-desa mereka masing-masing dan untuk tinggal bersama di suatu tempat (yang baru dibangun), yakni Batur. Pada masa pra-Batur, dewa-dewi utama yang dipuja adalah I Ratu Sakti (Sesuhunan) dari Sinarata dan Ratu Sakti Bhujangga Luwih dari Tampurhyang. Sekarang, dewa-dewi utama di Pura Batur adalah Dewi Danu dan Ratu Maduwe Gumi. Dewi Danu merupakan dewi Danau Batur yang menyuburkan sebagian besar wilayah Bali. Ratu Maduwe Gumi dikaitkan dengan Gunung Berapi Batur. Keduanya mewakili pasangan kuat yang secara ritual mengawasi kesuburan pulau.
Sosok Ida Bhatara Sakti Makalihan yang kini eksis di Batur—dan variannya di Terunyan—dapat diterjemahkan sebagai simbol pemuliaan atas elemen bumi dan air. Pancering jagat artinya yang menjadi pancang (pancer) dari dunia (jagat), sepadan jika diterjemahkan dengan maduwe gumi yang berarti yang memiliki (maduwe) bumi (gumi). Sementara, unsur feminimnya merujuk pada entitas yang sama, yakni Dewi Danu. Danu jelas merujuk kata danau. Dewi Danu artinya dewi yang menjaga danau, khususnya Danau Batur. Gelar I Ratu Pingit sendiri juga dihormati di Batur, dimana pujawali-nya jatuh pada hari yang sama dengan pemuliaan Ida Bhatari Ayu Luwih, yakni pada purnama Kasanga.
Konsep dualitas seperti dijelaskan di atas tampaknya muncul sebagai ekspresi kesadaran manusia Bali atas ekologi yang diwarisi dari Sang Maha Pencipta. Manusia Bali secara asali memiliki pemahaman bahwa hidupnya tak pernah bisa dilepaskan dengan alam. Manusia selalu bergerak di tengah-tengah alam, serta memohon hidup padanya. Tanpa tanah dan air, mustahil mahkluk hidup akan hidup. Tanah yang subur dan siraman air yang menyejukkan mendorong tumbuh-kembang berbagai jenis tanaman. Sebagian diantaranya adalah tanaman pangan yang dibutuhkan sebagai sumber kebutuhan paling mendasar. Oleh karena itu keduanya harus dijaga, dihormati sekala-niskala.
Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, pemuliaan tanah dan air menghadirkan praktik-praktik kebudayaan. Orientasi pemujaan terhadap Bhatara Sakti Makalihan, memunculkan sistem pasihan yang keanggotaannya meliputi subak—juga desa—dengan bentang kewilayahan membelah Pulau Bali dari ujung selatan hingga ke utara. Hauser-Schäublin (2011:23) mengutip pernyataan Suarka dalam catatan kaki mengatakan pasyan [pasihan]berasal dari kata sisya, pengikut dari seorang spiritual (komunikasi personal). Interpretasi itu didukung oleh bukti dari Pura Batukaru, di sana desa-desa yang bergantung pada air suci yang bersal dari pura gunung tersebut yang disebut dengan “sisia Batukaru”.
Jika diamati dari aspek kebahasaan, kata pasihan lebih cenderung mengarah sebagai transformasi dari kata dasar sih yang berarti ‘kasih’. Kata ini kemudian mendapat afiks pa- dan sufiks -an, yang menerangkan tempat. Merunut pembentukan kata ini, pasihan dapat dimaknai sebagai ‘kawasan atau daerah-daerah yang mendapat kasih sayang, berkat, juga anugerah dari Ida Bhatari Dewi Danu’. Dalam kaitannya dengan konsep Ida Bhatara Sakti Makalihan, berkat atau kasih sayang yang dimaksud dapat merujuk pada tanah dan aliran air yang diolah, ditempati, dan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup masyarakat anggota pasihan.
Catatan-catatan terkaitPasihan Ida Bhatara Sakti Batur dapat ditemukan dalam teks-teks Raja Purana Pura Ulun Danu Batur. Naskah Raja Purana Purana Pura Ulun Danu Batur yang kini masih tersimpan di Pura Batur dan dikeramatkan oleh masyarakat dibangun oleh 13 naskah. Dari 13 naskah yang ada, tiga diantaranya membahas Pasihan Ida Bhatari Sakti, yakni naskah Babad Patisora, Pangaci-acin Ida Bhatara, dan Pratekaning Usana Siwa Sasana. Menariknya, pada lembar 14b teks Pratekaning Usana Siwa Sasana dijelaskan jumlah Pasihan Ida Bhatari Saktidan bhatara-bhatara lainnya sebagai simbol penjaga simpul-simpul ekologis Bali dengan jumlah yang varatif. Khusus untuk Ida Bhatara Sakti Sinarata dijelaskan memiliki 45 desa. Luas bentangannya berada di bagian selatan maupun utara Pulau Bali. Penjelasannya sebagai berikut.
“…. Ratu Gunuŋ Mênaŋ, pasihyan ida 32, Ratu Maduwe jagat pahsyan ida 35 desa, pasihyan I Ratu Tuluk Biyu 21, salikur desa, Ida I Ratu Sakti riŋ Sinarata, 45 desa, ne kawnaŋ i pasih sira wnaŋ iŋ woŋ Buleleng, kaŋinnya Tiañar, ne riŋ nagara sadauh Yeh Unda, kulonnya daŋin Yeh Sumi, maŋkana liŋiŋ śiwa Saśanane kadi arêp, wr[ê]ta ndaŋ pawaŋun tatani desa, asemo-semo paulahiŋ agama.
“…Ratu Guung Menang (jumlah) pasihan beliau 32, Ratu Madwe Jagat pasihan beliau 35, pasihan I Ratu Tulukbiyu, 21, dua puluh satu desa, Ida Ratu Sakti di Sinarata, 45 desa, yang dibenarkan pada pasihan beliau, yakni masyarakat Buleleng, di bagian paling timurnya Tianyar, di wilayah negara dari Tukad Unda ke barat, hingga batas paling barat di sebelah timur Yeh Sumi (Sungi).
Pratekaning Usana Siwa Sasana 14b-15a
Ditinjau bentang kewilayahan menurut teks di atas, PasihanIda Bhatara Sakti tampak meliputi 8 dari 9 kabupaten/kota yang ada di Bali. Hanya wilayah Kabupaten Jembrana yang tidak disebut dalam teks tersebut. Keanggotaan pasihan di bagian selatan tampak menyebar dari Tukad Unda, Klungkung sebagai batas paling timur dan Tukad Sungi, Tabanan sebagai batas paling barat. Kewilayahan di selatan artinya meliputi Kabupaten Bangli, sebagian Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Denpasar, dan sebagian Tabanan. Sementara itu, pada bagian utara kewilayahan PasihanIda Bhatara Sakti meliputi sebagian Karangasem dan Buleleng.
Keempatpuluhlima desa yang masuk dalam jejaring Pasihan Ida Bhatara Saktimembangun konsep setimahan (45) yang melekat dalam konstruksi tatanan peradaban masyarakat Batur. Selain pasihan yang berjumlah 45, pemuka desa, nama ida bhatara utama, hingga jumlah pukulan kentungan keramat yang dibunyikan saban fajar yang berfungsi sebaga penanda bergantinya hari turut berjumlah 45. Hanya saja, seiring siklus waktu dan berbagai tuntutan zaman, konsep setimahan itu kian berkembang. Pemuka desa misalnya, kini telah berjumlah lebih dari 60-orang, yang terdiri dari 6 orang dane sareng nem, 39 orang pamangku (awalnya 16 jabatan), 32 orang paduluan (awalnya 16 jabatan), dan 3 orang patinggi (awalnya hanya satu orang).
Pasihan tampaknya mengalami perkembangan jumlah lebih dulu dibandingkan dengan jumlah pemuka desa. Meski teks Pratekaning Usana Siwa Sasana dengan jelas menyebut Pasihan Ida Bhatari Sakti Sinarata sebanyak 45 subak dan/atau desa, jumlah desa-desa ini tak pernah benar-benar dapat dilihat dalam uraian lebih jauh. Hauser-Schaublin (2011:26-27) mengatakan bahwa jumlah pasihan menurut Babad Patisora dan Pratekaning Usana Siwa Sasana berjumlah 76, sedangkan Pangacin-acin Ida Bhatara mencatat pasihan sejumlah 62 desa.
Uraian di dalam tiga teks itu pun tidak dapat digunakan sebagai acuan baku dalam penjejakan pasihan saat ini. Pada catatan kakinya, Hauser-Schaublin (2011:27) menjelaskan bahwa di tahun 2004 jumlah pasihan yang terdaftar sebanyak 171, sedangkan pada 2007 telah berkembang mencapai 200 pasihan. Sementara, menurut data termutakhir pada Kadasa 2020, jumlah Pasihan Ida Bhatara Sakti telah beranak pinak menjadi sekitar 370-an subak dan/atau desa. Jero Gede Batur Duhuran (wawancara Rabu, 2 September 2020) menegaskan bahwa perkembangan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain adanya pemekaran subak, selama kurun waktu belakangan banyak subak yang melakukan upacara nempuh atau menyatakan ikrar kehadapan Ida Bhatara Sakti untuk menjadi anggota pasihan-nya. Nempuh dilakukan lantaran masyarakat yang bersangkutan menilai telah menerima anugerah air dan kesejahteraan dari Ida Bhatara Sakti Makalihan. Langkah itu dilakoni setelah masyarakat bersangkutan mengalami kondisi-kondisi yang sulit seperti mengeringnya sumber air, timbulnya hama yang hebat, hingga kasus sengketa-sengketa air. Ketika terjadi kondisi-kondisi semacam itu, Jero Gede Batur Makalihan biasanya akan dituwur (dimohon meninjau) sebagai wujud kehadiran sekala Ida Bhatara Makalihan dan memberi solusi-solusi terhadap kondisi yang sedang dihadapi.
Anggota Pasihan Ida Bhatara Sakti memiliki hak dan tanggungjawab yang jelas dalam hal keanggotaannya. Menurut kepercayaan, anggota pasihan mendapat aliran air untuk mengairi sawah-sawahnya. Oleh karena itu, dalam praktik ritus, anggota pasihan juga berhak nuwur tirtha pakuluh sebagai simbol keberlangsungan kesejahteraan yang mengalir ke desanya. Sementara itu, kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh anggota pasihan terkait dengan persembahan sarin tahun, yakni persembahan hasil bumi yang dipersembahkan saban tahun ketika pelaksanaan Ngusaba Kadasa. Besaran kewajiban antara satu desa dengan desa yang lain sangat beragam. Besaran jumlah kewajiban yang harus dipersembahkan tampaknya terkait dengan “kasih” yang diberikan oleh entitas Ida Bhatara Sakti Makalihan.
Babad Patisora (29b-38a) menjelaskan secara rinci tanggung jawab pasihan yang tertulis dalam teks tersebut kehadapan Ida Bhatara Sakti Makalihan. Desa Subatu misalnya, dikenai sarin tahun berupa beras pajeg 40 ceheng tembaga, Desa Serongga dan Abianbase maisng-masing kena beras pajeg 55 ceheng tembaga, Desa Sembiran dikenai dua pikul beras, sepikul kapas, sepikul komak, kapas wewerat 4.000, seekor rusa (kidang), setandan pinang, segulung daun sirih, 10 buah kelapa, dan uran akembaran, sedangkan Desa Buahan (Kintamani) dikenai babi bukakak [berat] 500, penek 11 ahiyab (setahun berganti-gantian), dangsil ahiyab, dan uran.
Dalam kaitannya dengan sistem pertuantanahan, Hauser-Schaublin (2011:27) mengatakan adanya tanah-tanah druwe [duwe]Pura Batur yang tersebar dan dimanfaatkan oleh sejumlah desa. Luasan setiap tanah duwe Pura Batur diukur menurut satuan unit tenah. Schulte Nordholt, memperkirakan jika satu tenah pada masa lampau mungkin bervariasi antara 2.700 hingga 7.500 m2 per tenah. Tenah bukanlah ukuran luas yang standar, tapi menunjukkan jumlah pasti dari panen padi (seikat padi beratnya sekitar 25 kg).
Babad Patisora sub judul Pangeling-ngeling Pasyanida pada lembar 28b menyebut beberapa desa yang memanfaatkan tanah duwe Ida Bhatara Sakti Batur. Menariknya, desa-desa tersebut tersebar di kawasan selatan, tepatnya di Kabupaten Gianyar. Desa-desa itu meliputi Desa Sawana Batu [Sebatu?], Telepud, Kebon, Kedisan, Ked, Taro, Ponggang, Panempahan, Timbul, Tiying Puhun (Calo), Serongga, dan Abianbase. Desa Sawana Batu memanfaatkan tanah duwe seluas 25 tenah. Desa Telepud memanfaatkan 10 tenah sehingga kena beras pajeg 10 ceheng tembaga, asasa kelapa mahijengan kuren dan pabungkul kuren. DesaKebon memanfaatkan Carik Bebau seluas 5 tenah, sehingga wajib mempersembahkan 20 ceheng tembaga beras pajeg. Desa Kedisan juga memanfaatkan tanah seluas 5 tenah wajib mempersembahkan 20 ceheng tembaga beras pajeg. Desa Ked 10 tenah, wajib mempersembahkan 10 ceheng tembaga beras pajeg. Desa Taro memanfaatkan tana seluas 10 tenah dan wajib mempersembahkan 10 ceheng tembaga beras pajeg. Desa Ponggang, Panempahan, dan Timbul masing-masing memanfaatkan tanah seluas 2 tenah, sedangkan Desa Tiying Puhun memanfaatkan tanah seluas 1 tenah. Dari pemanfaatan itu, Desa Ponggang mempersembahkan beras pajeg sebanyak 20 ceheng tembaga, Desa Panempahan mempersembahkan beras pajeg sebanyak 30 ceheng tembaga, sedangkan besaran persembahan untuk pemanfaatan tanah di Desa Tiying Puhun tidak dijelaskan. Desa Serongga dan Abianbase memanfaatkan tanah I Ratu Sakti Batur seluas 55 tenah, sehingga dikenai beras pajeg sebanyak 55 ceheng tembaga.
Terhadap sistem pasihan dan pengingat komunitas-komunitas yang memanfaatkan tanah duwe Ida Bhatara Sakti, masyarakat Batur bertindak sebagai pengingat. Sebagai pengingat hal tersebut, maka setiap tahunnya Jero Gede Batur melalui Jero Panyarikan Batur akan menyurati setiap pasihan. Sampai saat ini, surat-surat tersebut masih dibuat menggunakan metode tradisional dengan media lontar. Cara pandang terhadap surat ini pun beragam. Sebagian pasihan mengembalikannya setelah sarin tahun dipersembahkan, sedangkan sebagian lagi justru disimpan dengan baik, bahkan ada yang disungsung sebagai ciri bhisama Ida Bhatari Sakti (wawancara Jero Penyarikan Alitan Batur, Maret 2020).
Dari Batur ke Ubud: Badai Abu Vulkanik dan Aliran Air
Keterikatan Batur dan Ubud pertama-tama dapat dijejak melalui keterikatan ekologisnya. Dari sudut pandang ilmu geologi, jalinan Batur-Ubud (Bali Tengah) telah tersambung sejak puluhan ribu tahun lalu melalui endapan vulkanik Gunung Batur Purba ke arah Selatan. Keterikatan kedua kawasan ini pun dapat dibaca melalui endapan-endapan material vulkanik yang membangun kawasan Ubud dan sekitarnya, serta jejaring aliran air yang mengalir dari Batur menuju daerah Bali Tengah.
Kaldera Batur saat ini terbentuk dari dua letusan dahsyat Gunung Batur Purba pada 29.300 dan 20.100 tahun lalu. Letusan dahsyat pertama meninggalkan Kaldera I Batur yang memiliki penampang sedikit lonjong dengan titik terpanjang sejauh 12 km. Sementara, produk letusan dahsyat kedua meninggalkan Kaldera II Batur yang memiliki penampang sedikit lebih bulat sepanjang 10 km. Di antara bibir kaldera I dan kaldera II membentang kawasan hutan dan ladang penduduk, sedangkan di tengah-tengah kaldera II terdapat Gunung Batur berketinggian 1.717 mdpl dan sebuah danau berbentuk bulan sabit.
Kaldera Batur memiliki sejarah evolusi yang sama dengan sejumlah kaldera di Indonesia, misalnya Kaldera Toba dan Tambora. Para ahli geologi berasumsi bahwa Gunung Batur Tua [Purba] merupakan gunung bertipe super vulkano. Ratdomopurbo (2018) menjelaskan Gunung Batur Tua dibatasi oleh Gunung Penulisan Tua dan Gunung Abang Tua. Awalnya, sekitar 500 ribu tahun lalu terdapat gunungapi aktif yang cukup besar bernama Gunung Penulisan Tua dengan tinggi sekitar 2.200 mdpl. Kala itu Kaldera Buyan-Beratan telah ada, namun Gunung Agung belumlahir. Selanjutnya, sekitar 100-200 ribu tahun yang lalu, Gunung Abang Tua lahir dengan magma yang bersifat lebih asam dibanding Gunung Penulisan Tua. Sekitar 29.300 tahun lalu, letusan super-plinian pun terjadi di Gunung Penulisan Tua dengan magma yang kental dan asam. Endapan dari letusan dahsyat itu menyebar ke lereng selatan, kea rah Bangli, Klungkung, Gianyar, dan Denpasar, hingga ke laut. Letusan diikuti runtuhnya sebagian besar Gunung Penulisan dan Gunung Abang dan melahirkan Kaldera I Batur. Pasca kejadian tersebut juga muncul aktivitas vulkanis yang kemudian memunculkan Bukit Payang dan Bukit Bunbulan di bibir Kaldera.
Pada 20.100 tahun lalu, letusan super-plinian kembali terjadi yang mengambleskan sebagian besar Bukit Payang dan Bukit Bunbulan. Material yang dimuntahkan dalam letusan dahsyat tersebut sebanyak 13 km3 atau sekitar 1/3 dari material yang dimuntahkan selama proses letusan dahyat tahap pertama. Ketika inilah Kaldera II terbentuk, dimana bagian yang lebih dalam kemudian membentuk Danau Batur. Aktivitas panas bumi belum sepenuhnya berhenti setelah pembentukan Kaldera II. Pada sekitar 5.000 tahun lalu, aktivitas itu akhirnya melahirkan kerucut Gunung Batur yang ada saat ini (Ratdomopurbo, 2018).
Ubud dan kawasan sekitarnya menjadi salah satu daerah yang terkena badai abu vulkanik yang dahyat ketika letusan 29 ribu tahun silam. Endapan material vulkanik yang subur saat ini menjadi tanah yang dipijak dan subur untuk kemudian dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Endapan abu vulkanik yang tebal turut membentuk tebing-tebing padas yang tampak jelas ditemui pada sepanjang daerah aliran sungai yang mengalir di kawasan tersebut, misalnya di sepanjang Sungai Ayung. Endapan tersebut dapat ditemui hingga ujung paling selatannya di Guwang, Gianyar. Di sana, endapan vulkanik purba telah membentuk tebing di sepanjang Sungai Hidden Canyon, Guwang. Sementara, batuan zalas endapan ignimbrite Batur yang telah ada sebelum pembentukan Kaldera Batur dapat ditemui di Air Terjun Tegenungan.
Bebatuan endapan material vulkanik di masa silam menyimpan potensi wisata yang besar. Potensi-potensi itu pun telah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Selain itu, secara tradisional endapan badai vulkanik Gunung Batur Purba juga telah dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai panambang batu padas. Di kawasan Kemenuh dan sekitarnya, batu padas mencapai titik kaulitas yang paling baik. Sejak masa silam ia telah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, khususnya untuk bangunan suci.
Ratdomopurbo (2018:48) menjelaskan bahwa endapan vulkanik Gunung Batur Purba turut mempengaruhi kemunculan-kemunculan sumber mata air di lereng Kaldera Batur. Pada jarak yang dekat, endapan vulkanik itu dapat menumpuk dengan ketebalan hingga puluhan meter, bahkan dalam jarak rata-rata sekitar 7 km, endapannya mencapai ratusan meter. Endapan letusan kaldera sebagian bersifat porus (tidak padat pejal), sehingga memungkinkan air hujan diserap ke dalam permukaan tanah. Proses peresapan air ini kemudian akan berhenti ketika terhalang oleh lapisan abu halus. Pada level inilah kemudian air akan muncul di tebing-tebing yang terbuka sebagai mata air.
Teori ini menjadi jawaban mengapa daerah yang berada di dalam rentang 7 km dari bibir kaldera relatif “miskin” mata air yang besar. Sebab, struktur batuannya memang masih bersifat tidak padat pejal, sehingga air akan terserap, bukan keluar. Berbeda dengan daerah yang berada di atas rentang 7 km dari bibir kaldera yang mendukung untuk kelahiran mata air-mata air. Melihat dukungan data-data tersebut, konsep pasihan yang berorientasi ke Pura Ulun Danu Batur menjadi sangat ilmiah dan masuk akal. Pasihan tidak hanya sekadar praktik keterjalinan ritus-ritus, tetapi merupakan sebuah konsep keterikatan yang berakar pada “subsidi silang” kawasan-kawasan subur yang berkelimpahan air di hilir kepada kawasan sumber resapan air yang tak lain merupakan kawasan konservasi.
Pura dan Puri
Setelah relasi ekologi, relasi Batur-Ubud dapat dilihat melalui aspek keterjalinan pawongan. Sebelum dikenal dunia sebagai daya tarik wisata, Ubud tercatat sebagai salah satu kerajaan yang sempat berkuasa dan disegani di kawasan Bali Tengah pada akhir era klasik hingga permulaan masa kolonial. Penguasa daerah dalam istilah arkais disebut Sang Mawa Bumi, istilah inilah yang dicatat dengan jelas dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur.
Capaian penguasaan atas sebagian tanah Bali yang berhasil dilakukan Ubud kemudian melahirkan tanggungjawab pada Batur sebagai salah satu titik orientasi spiritual manusia Bali. Oleh karena itu, relasi Batur-Ubud diyakini oleh kedua belah pihak sudah terjadi sejak masa itu. Kala itu, Batur dengan kompleks Pura Baturnya masih berada di sebelah barat daya kaki Gunung Batur. Sementara itu, pada masa yang lebih dekat kemudian, menurut penuturan Jero Gede Batur Duhuran (wawancara 2 September 2020), Puri Ubud memiliki peran yang besar dalam pembangunan Pura Ulun Danu Batur pada masa paska relokasi 1928. Konon, tokoh Puri Ubudlah yang menjadi salah satu sosok yang menentukan pemilihan dan pembangunan Pura Ulun Danu Batur saat ini. Konon, kala itu terjadi peristiwa mistis sebagai ciri berkenannya parahyangan Ida Bhatara Ulun Danu Batur didirikan kembali di tempat yang lebih aman di tempat saat ini.
Formulasi peradaban Bali menganggap keberadaan pura dan puri sebagai satu-kesatuan. Kehadiran suatu pura biasanya berangkat dari pemuliaan atas elemen-elemen ekologi yang dipandang memberi manfaat kepada kehidupan manusia. Elemen-elemen ekologi inilah yang selanjutnya diwujudkan dalam berbagai simbolisasi para dewa. Teks Usana Bali dan berbagai teks variannya menyatakan hal tersebut secara jelas. Di dalam uraiannya tentang dewa-dewa yang berstana dan menjaga Bali selalu dikaitkan dengan keberadaan gunung atau aspek-aspek ekologi. Penyimbolan tersebut jelas berangkat dari fungsi dan manfaat gunung—dan unsur ekologi lainnya—dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber penghidupan yang harus dijaga kelestariannya. Selanjutnya, gunung diterjemahkan dengan lebih filosofis sebagai sebuah lingga. Akhirnya, entitas pura yang awalnya digambarkan begitu nyata lahir sebagai sesuatu yang abstrak, niskala, tak kasat mata.
Sementara itu, puri merupakan ruang pemerintahan. Dari dalam puri-lah kehidupan manusia diputar menurut jalur yang patut. Puri menjadi pusat dari putaran peradaban karena berbagai kebijakan muncul dari puri. Di era kemerdekaan, sebagian besar peran puri tergantikan oleh pemerintah. Namun, bukan berarti pamornya hilang karena saat ini puri lebih terarah sebagai lembaga yang menjaga keberlangsungan budaya Bali.
Pura Ulun Danu Batur sebagai salah satu pusat orientasi spiritual manusia Bali memiliki kelekatan yang erat dengan berbagai puri yang ada di Bali. Hubungan-hubungan ini sekiranya tidak terlepas dari entitas manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Ulun Danu Batur. Teks Usana Bali dan varian-variannya menempatkan sosok Bhatari Tengahing Sagara atau Bhatari Hyang Dewi Danu yang berstana di Gunung Batur sebagai simbol pradhana atau sakti di Bumi Bali. Pemujaan aspek-aspek sakti sangat dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Roda pemerintahan yang dimaksud sangatlah luas, mulai dari unsur kejayaan di medan laga hingga upaya-upaya untuk menyejahterakan rakyatnya.
Pada masa-masa pra-Batur (masa-masa awal ekspansi Majapahit), kawasan Batur dan sekitarnya merupakan salah satu basis kekuatan Bali Aga yang cukup keras menantang penaklukan Bali oleh Majapahit. Sejumlah babad menerangkan hal tersebut dengan tegas, misalnya pada Babad Dalem, Babad Pasek, hingga Babad Tambyak. Menurut keterangan babad–babad tersebut, meski pemerintahan Bali Kuno di bawah panji Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten telah runtuh, bara-bara pemberontakan masih menyala. Mediasi-media akhirnya diambil, hingga pemberontakan dapat diredam setelah Raja Sri Aji Kresna Kepakisan yang memiliki darah Bali dinobatkan sebagai adipati Majapahit di Bali.
Menurut kelisanan yang berkembang di Batur, pun setelah Sri Aji Kresna Kepakisan memerintah Bali, pemberontakan dari wilayah tersebut belum juga usai. Pro-kontra antara mengakui dan tidak mengakui kekuasaan raja terus mengemuka di lingkar penduduk lokal. Riak-riak pemberontakan itu akhirnya dapat diredam cukup baik pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong pada abad ke-16. Konon, beliau berhasil melakukan mediasi dengan komunitas-komunitas kecil yang masih mengalami pro-kontra atas pemerintahan dalem. Akhir dari mediasi itu adalah penyatuan komunitas-komunitas kecil itu menjadi komunitas yang lebih besar, yang kemudian dinamai Batur. Oleh karena itulah, banyak tokoh Batur kemudian meyakini bahwa antara abad ke-16 itulah dimulainya tonggak Batur baru.
Pasca mediasi yang dilakukan Dalem Waturenggong, Batur yang awalnya tertutup mulai membuka pintu bagi kehadiran masyarakat yang berasal dari bangsawan Majapahit. Hubungan dengan bangsawan-bangsawan Majapahit yang termanifestasi daalam bentuk puri itu pun akhirnya terjalin dan semakin akrab. Legitimasinya atas keterikatakan itu semakin ditegaskan melalui kehadiran teks Raja Purana Pura Ulun Danu Batur, utamanya dalam teks Purana Tatwa dan Usana Bali yang sangat kental memberi ruang bagi Kerajaan Klungkung, Taman Bali, hingga Bangli sebagai kesatuan jaringan puri dengan bhatara yang dipuja di Batur.
Reuter (2005) berpendapat bahwa hubungan Batur dengan puri di kemudian hari terkesan lebih intim dibandingkan dengan desa-desa banua koalisinya di masa yang lebih purba. Namun, pandangan ini tampaknya perlu penafsiran yang lebih jernih. Sebab, dalam praktiknya hingga saat ini, Batur tidak pernah meninggalkan desa-desa koalisinya, meski pada sisi lainnya membangun hubungan yang erat dengan elemen puri. Hubungan dengan Desa Batun Sendi Ida Bhatara Sakti yang merupakan aliansi desa-desa lingkar paling dalam Batur, seperti Buahan, Selulung, Bayung Gede, Bonyoh, dan lain-lain masih terjalin baik hingga saat ini, utamanya dalam hal pelaksanaan ritual. Begitu juga dengan anggota Pasihan Ida Bhatara Sakti—yang keanggotaannya juga banyak berasal dari desa-desa Bali Aga—masih terjalin dengan baik. Hanya saja, memang tidak bisa dipungkiri bahwa relasi tersebut hidup semarak dan masih dimaknai dalam lingkar ritual, belum mengakar ke dalam laku-laku yang lebih serius.
Pura Batu Sila Rupit yang terletak di kaki Gunung Batur sebelah barat menjadi salah satu situs yang menarik untuk ditengok dalam kaitannya dengan proses peredaman pemberontakan masyarakat pra-Batur terhadap kekuasaan dalem. Menurut salah satu versi tuturan lisan yang berkembang tentang situs ini, di tempat inilah Dalem Waturenggong mengadakan rapat dengan sejumlah pemuka desa kala itu. Pertemuan tersebut merupakan buntut dari persoalan-persoalan yang terjadi di desa-desa kecil kawasan Batur selama peralihan kekuasaan Bali Kuno-Bali Majapahit. Kerukunan sangat sulit terjadi karena persaingan pengaruh antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang yang konon “sengaja” ditempatkan atas perintah raja—saat ini dikenal sebagai warga Banjar Jero. Rapat terbatas antara pemuka desa dan Dalem Waturenggung juga terkait wabah lepra [tatumpur agung] yang menyebar ganas kala itu. Masyarakat kelimpungan menghadapi penyakit menular tersebut hingga akhirnya memangkas populasi masyarakat secara signifikan.
Menghadapi persoalan-persoalan itu, konon Dalem Waturenggong menginstruksikan penyatuan desa-desa pra-Batur menjadi sebuah desa yang lebih besar, yang kemudian dinamai Batur. Ada asumsi pemberian gelar Waturenggong kepada raja Bali itu berasal dari keberhasilannya memanajemen konflik di kawasan Batur. Asumsi lain bersifat kebalikannya, bahwa nama Batur diberikan secara khusus untuk menghormati dan mengenang Dalem Waturenggong.
Keputusan kedua adalah penobatan Jero Gede Batur sebagai entitas penguasa tertinggi di Batur. Jero Gede yang dipilih melalui upacara nyanjan ala tradisi Bali Aga, dinobatkan sebagai wakil dalem dengan gelar Dalem Sesanglingan. Sebagai representasi dalem, ketika wafat Jero Gede Batur Duuran berhak menggunakan bade tumpang solas yang sepadan dengan raja-raja di Bali, sedangkan Jero Gede Batur Alitan berhak menggunakan bade tumpang sia. Keputusan ketiga adalah menyamarataan gelar kebangsawanan. Penduduk yang berasal dari berbagai wangsa disatukan dan dianggap sejajar, warga hanya memuja Ida Ratu Gede Kapasekan sebagai entitas yang menguasai kewangsaan. Konon, pralingga Ida Ratu Gede Kapasekan berupa batu sejumlah sembilan buah yang menjadi simbol sembilan klan dan/atau desa yang mendukung kelahiran Batur kala itu. Keputusan terakhir antara Dalem Waturenggong dan para pemuka desa adalah penetapan Batur sebagai sekutu pemerintah. Melalui putusan inilah kemungkinan desa baru hasil penyatuan desa-desa kecil itu diberi nama batur. Zoetmulder (2011:115) mengartikan kata ‘batur’ sebagai ‘pelayan’ juga ‘pondasi’.
Kebijakan Dalem Waturenggong ketika itu benar-benar menciptakan keharmonisan bagi Batur. Untuk memuliakan dan mengenang jasa-jasanya, sosok Dalem Waturenggong akhirnya dihormati sebagai bhatara yang kini distanakan di meru tumpang sia. Bangunan itu terletak di areal Palinggih Ida Ratu Ayu Kentel Gumi dan Pura Puseh. Entah bagaimana kemudian, palinggih pemuliaan Dalem Waturenggong kini di-among [dipertanggungjawabkan] oleh Puri Ubud.
Tentang praktik among-inamong, sejumlahpuri besar di Bali diyakini memiliki tanggung jawab terhadap sejumlah palinggih utama yang ada di Batur. Meru tumpang solah stana Ida Bhatari Dewi Danu di-among oleh Puri Klungkung, meru tumpang sia stana Ida Bhatara Maduwe Gumi di-among oleh Puri Bangli, meru tumpang sia Ida Bhatara Gunung Agung di-among oleh Puri Buleleng, meru tumpang pitu stana Ida Bhatara Manik Astagina di-among oleh Puri Mengwi, dan meru tumpang sia stana Ida Bhatara Dalem Waturenggong di-among oleh Puri Ubud. Jero Gede Batur Duhuran (wawancara tanggal 2 September 2020) menjelaskan konsep among-inamong puri terhadap palinggih-palinggih bhatara di Pura Ulun Danu Batur telah diwarisi sejak dulu. Dasar praktik ini pun diduga dijalankan berdasar rasa bakti kalangan puri terhadap entitas bhatara/bhatari yang dipuja di Pura Ulun Danu Batur. Sampai saat ini, warga Batur disebut sebagai juru sapa dan juru sapu yang memiliki tugas mengingatkan ke kalangan puri, jikalau pujawali terhadap bhatara/bhatari di palinggih-palinggih itu akan digelar. Praktiknya sama dengan proses mengingatkan Pasihan Ida Bhatara Sakti sebelum pelaksanaan Ngusaba Kadasa.
Relasi Batur dengan sejumlah puri di Bali lebih disuratkan dalam beberapa babad. Babad Badung dan Babad Tambyak menarasikan bahwa pendiri Kerajaan Badung, Kyayi Notor Waringin, berhasil membangun kerajaannya berkat petunjuk dan anugerah yang diterima dari Bhatari Dewi Danu. Hubungan Batur dan Kerajaan Buleleng diikat melalui kisah Raja Ki Barak Panji yang menyerang kawasan Batur pada masa keemasannya. Karena melakukan kesalahan dengan merusak salah satu bangunan keramat di Batur, akhirnya raja mengalami kemalangan hingga kemudian berkaul untuk mempersembahkan kulkul emas sebagai pengganti kulkul tengeran yang dirusak. Kaul lainnya adalah mempersembahkan kain lengkap dengan arak berem mengitari lingga Gunung Batur. Kaul yang terakhir baru berhasil dibayar pada tahun 2011 melalui Pemerintah Kabupaten Buleleng.
Hubungan Batur-Mengwi terjalin melalui kisah Ki Balian Batur yang ditugaskan untuk menyatukan keretakan Kerajaan Klungkung dan Mengwi. Menurut versi tuturan lisan di Batur, Ki Balian Batur yang dinarasikan sebagai pelaku ilmu hitam telah menerima perintah langsung dari Ida Bhatari Danu untuk menyatukan kedua kerajaan yang sempat renggang melalui wabah ilmu hitam yang dibuatnya. Untuk menghentikan serangan ilmu hitam itu, Ki Balian Batur harus dibunuh menggunakan bedil Ki Narantaka milik Mengwi dengan peluru milik I Dewa Agung Klungkung yang bernama Ki Sliksik. Mau tidak mau, untuk menyelamatkan negara, Kerajaan Mengwi akhirnya kembali membangun relasi yang sempat renggang dengan Klungkung.
Namun, hingga saat ini penulis belum menemukan babad atau teks lain yang akurat mengungkap hubungan Batur dan Puri Ubud. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kemunculan Kerajaan Ubud yang relatif lebih muda dibandingkan kerajaan-kerajaan yang lain. Narasi yang sempat terkumpul adalah kisah Panglingsir Puri Ubud yang terlahir kembar-buncing, dan berperan besar terhadap pembangunan Pura Batur pasca relokasi 1928. Informasi lainnya yang sempat terekam melalui diskusi-diskusi dengan angga puri adalah tentang keberadaan sosok Panglingsir Puri Ubud yang senang melakoni yoga-samadhi di Pura Jati dan sejumlah titik lainnya di Batur.
Dalam lingkar relasi kuasa pemerintah (puri) dan pura, teks Raja Purana Pura Ulun Danu Batur banyak mencatat keterkaitan keduanya. Puri sebagai representasi pemerintahan di masanya (sang mawa rāt) pada prinsipnya berperan dalam menjaga kelangsungan lingkungan fisik dan lingkungan spiritual hulunya. Tentang hal itu, teks Pratekaning Usana Siwa Sasana lembar 9a-9b secara tegas menjelaskan kewajiban-kewajiban manusia Bali, termasuk kalangan ksatria dan brahmana terhadap Batur. Kewajiban-kewajiban tersebut tersurat sebagai berikut.
“…pangaci-aci riŋ Tampurhyaŋ, panembakuh brata desa, mangaturaŋ saji riŋ purnama Wesaka, sang mawa bumi, satrya, arya, bandesa, pasek, gaduh, ngukuhin, patih Bali, pada mengêt riŋ pabaktyan riŋ Tampurhyaŋ…”
“…yan mabrêsihin iŋ sagara, maka wnaŋanya saŋ mawa bumi añiwakrana abiseka bumi, ne riŋ Tampurhyaŋ, wnaŋ saŋ mawa bumi, satrya, arya, patih Bali, brahmana boda, brahmana luwih, angarti iki, bagawan, brahmana bawusastra abiseka kṛtti riŋ sagara alit,….”
Pratekaning Usana Siwa Sasana 9a; 9b
Terjemahan:
“…persembahan di Tampurhyang ketika pelaksanaan Panemauh Brata Desa yang digelar pada purnama Wesaka (Kadasa), sang mawa bumi, satria, arya, bandesa, pasek, gaduh, ngukuhin, patih Bali, sama-sama mengingat melakoni bakti di Tampurhyang…”
“… jika membersihkan segara, sebagai kepatutan sang masa bumi melakoni siwakrana abhiseka bumi di Tampurhyang, patut sang mawa bumi, satria, arya, patih Bali, brahmana Buda, brahmana Luwih, mengharapkan ini, bagawan, brahmana bawusastra melaksanakan abiseka kreti di segara alit (danau)….”
Pratekaning Usana Siwa Sasana 9a; 9b
Menurut dua petikan di atas, pesan yang disampaikan sejatinya sangat tegas, bahwa siapapun yang menjadi pemimpin Bali hendaknya wajib mengingat pelaksanaan-pelaksanaan ritual sebagaimana disebut di atas. Sang mawa bumi atau sang mawa rāt tidak hanya mengacu pada salah satu puri, tapi tegas mengacu pada setiap pemimpin pemerintahan, termasuk jika kita bawa ke ruang modern seperti saat ini akan mengerucut kepada pemerintah daerah maupun nasional
Harapan Masa Depan
Membaca relasi Batur ke Ubud begitu juga daerah-daerah lain di Bali Tengah pada prinsipnya adalah membaca jejak evolusi geologi Batur. Konstruksi-konstruksi ekologi yang dibangun Pegunungan Kintamani sejak 29 ribu tahun silam, yang terbukti melalui penelitian-penelitian ilmiah, sejatinya dapat meyakinkan jalan bakti masyarakat Bali terhadap entitas alam semesta yang mewujud sebagai Pegunungan Kintamani. Jika kemudian ada mitos-mitos, tuturan-tuturan, maupun catatan-catatan tradisional yang mengaitkan keterhubungan keduanya, ia merupakan simbolisasi sebaran ekologi.
Berkaca pada data-data itu, relasi yang telah terbangun sejak masa silam hendaknya dapat dijaga untuk kemudian hari. Menjaga keterkaitan itu idealnya disertai dengan pemahaman-pemahaman konsep yang memadai, sehingga relasi yang terhubung bukan sekadar didasari oleh pernyataan nak mula keto, yang ujung-ujungnya berhenti pada tingkatan jejaring ritus. Di era disrupsi seperti ini, penekanan tentang nilai-nilai perlu diberikan perhatian mendalam. Transformasi bahkan keruntuhan wujud kebudayaan tidak dapat terhindarkan, namun pewarisan nilai-nilai masih sangat bisa untuk dilakukan.Wujud kebudayaan Bali ke depan boleh jadi akan berubah, tetapi esensi pelaksanaannya idealnya tetap jelas seperti sedia kala.
Keberimbangan pemahaman dengan praktik di lapangan, teks dengan konteks diharapkan dapat mengubah laku-laku beragama dan berbudaya kita menjadi lebih baik. Harapannya, seiring dengan pelaksanaan yadnya-yadnya berbasis pelestarian lingkungan yang kian masif, tak ada lagi pencemaran-pencemaran simpul ekologi. Tidak ada lagi praktik eksploitasi sumber daya alam berlebih maupun praktik membuang sampah di gunung, laut, sungai, hutan, dan ekosistem-ekosistem lainnya.
Batur, sebagai salah satu titik orientasi eko-spiritual Bali boleh berbangga atas keberhasilannya membangun kembali sejumlah parahyangan pemujaan yang sempat hilang oleh lahapan lahar-lahar panas Hyang Apuigiri. Namun, sudahkah Batur menggarap peradaban batin untuk mengamankan saripati warisan kebudayaannya? Pada praktiknya, Batur masih menjaga keterjalinannya dengan anggota pasihan, batun sendi, dan puri, namun sudahkah hubungan itu terjalin dengan pemahaman yang memadai? Atas pertayaan-pertanyaan tersebut tampaknya penggarapan literasi Batur perlu dilakukan. Spirit kampus rohani, Bukit Cintamani Mmal, dapat menjadi refleksi berharga untuk mensketsa pelestarian kearifan Batur ke depan.
Daftar Pustaka
- Budiastra, Putu, dkk. Raja Purana Pura Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli. 1979. Denpasar:Museum Bali
- Hauser-Schäublin, Brigitta. 2011. Pura Ulun Danu Batur dari Segi Historis: Sumbangan Tanah dan Karunia Air.Göttingen
- Poerbatjaraka, R.M.Ng.2010. Rāmāyaṇa Djawa-Kuna Sargah I-XII. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI
- Poerbatjaraka, R.M.Ng.2010. Rāmāyaṇa Djawa-Kuna Sargah XIII-XXVI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI
- Ratdomopurbo, A. dan I Wayan Juniartha. Batur: Seri Kaldera Nusantara. Jakarta: Badan Geologi Kementerian ESDM
- Reuter, Thomas A.2005. Custodians of The Secred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
- Soebandi, Jro Mangku Gde Ketut. 2005. Babad Pasek Cet. II. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni
- Sumarta, I Ketut. 2015. Batur: Jantung Peradaban Air Bali. Kuta:Wisnu Press
- Yasa, I Putu Eka Guna. 2020. “Jelajah Makna Wisata dalam Sastra: Proses Pendakian dari Kesenangan menuju Ketenangan Jiwa”. Makalah Rembug Sastra di Ubud, 18 Juli 2020.
- Zoetmulder, P.K. dan S.O. Robson. 2011. Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia Cet VI (Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Catatan: Artikel ini adalah makalah yang disampaikan dalam Rembug Sastra “Ubud dan Batur dalam Perspektif teks dan Kesejarahan” yang digelar Ubud Royal Weekend dan Puri Anyar Heritage di Ubud, Sabtu, 5 Semtember 2020