Seorang bayi telentang di kamar Elvis, kaki mungilnya menendang-nendang udara seolah-olah ingin melompat lalu lari dari ranjang. Tangisannya semakin nyaring di tengah malam, tangannya mengais-ngais, dan lampu kuning memperlihatkan wajah bayi itu: bercak hitam menempel pada pipinya. Elvis mengangkat bayi itu, mengelap bercak hitam, memperhatikan tahi lalat yang seperti kutu pada ujung hidung bayi. Elvis mengenal bayi itu: bayi laki-laki yang belum sempat ia beri nama.
Mulut bayi itu seperti karet: tiba-tiba terlihat lebar, diikuti suaranya yang melengking, seakan ingin membangunkan semua orang. Tapi, Elvis tak ingin seseorang pun mendengar tangisan bayi itu. Ia tak ingin mengganggu tidur tetangga, atau membuat mereka berpikir bahwa Elvis telah menculik bayi. Kejutan itu cukup membuat dadanya terasa berat. Ia tak dapat membayangkan bagaimana caranya bayi itu bisa di sana. Rumah Elvis memang sepi, tapi jendela dan pintu telah terkunci. Meskipun Mareta yang datang, ia mestinya tak akan bisa masuk.
Tiba-tiba sesuatu memecut kepalanya, Elvis meletakkan kembali bayi itu di ranjang. Ia tak lagi peduli pada tangisan bayi. Lalu, ia menyalakan semua lampu. “Jalang! Perempuan jalang!” gumam Elvis dengan gigi gemeretak, memang tak ada yang lebih sial ketimbang menerima kejutan sehabis kerja. Lalu, ia menggeledah seluruh ruangan. Rumah itu tiba-tiba riuh. Suara pantofel memukul lantai kayu seperti suara para tukang sedang bekerja. Dan, seluruh tempat tersembunyi: lemari, meja, kolong ranjang ia periksa. Rumah itu terasa menyimpan ancaman yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang istri.
Tapi, tak ada hal yang mencurigakan. Pintu masih utuh. Jendela masih terkunci. Elvis menuju ruang belakang. Di ruangan itu terdapat sebuah pintu mungil—sesungguhnya untuk anjing peliharaan. Pikirannya mulai menduga-duga, membayangkan istrinya diam-diam masuk melalui lubang itu, lalu meletakkan bayinya di kamar. Tiba-tiba terdengar suara sesuatu terbentur. Elvis bergegas ke sana.
“Tak salah lagi!” katanya.
Ia mendapati pintu mungil bergoyang-goyang. Tapi, Anjingnya di sana mengibaskan ekor, menjulurkan lidah. Elvis mematung lalu menghela napas panjang.
“Bodoh!” kata Elvis.
Tentu saja anjing itu tak menunjukkan sesuatu. Anjing itu telah akrab dengan Mareta. Tetapi, sebuah sepatu tergeletak di depan anjing cokelat itu. Bercak lumpur menempel di tepi sepatu putih dengan ukuran kaki perempuan, kaki yang mungil, dan Elvis tahu ukuran kaki Mareta.
“Tak ada gunanya,” pikir Elvis.
Perasaan Elvis mulai mereda, sebab bila saja Mareta telah pergi, suatu waktu pasti akan kembali, itu pun kalau yang datang memang betul Mareta. Sementara itu, bayinya masih merengek; tapi Elvis tak punya pengalaman mengurus bayi, dan tak ada susu di rumahnya. Lagi pula, bayi itu pasti merindukan puting ibunya.
Pakaian kerja belum tanggal, pistol masih menempel pada pinggangnya. Ketika meraba benda itu Elvis berkata, “Kepala perempuan itu lebih baik disarangi peluru.” Tapi, Elvis akan bertemu masalah baru bila menarik pelatuk untuk sebuah kepala. Sejak istrinya mulai mengandung, Elvis ingin mencengkram leher perempuan itu. Leher panjang itu tentu akan tampak mengerikan bila dicengkeram, padahal leher itulah yang Elvis sukai, yang ia pikir tak dimiliki oleh perempuan mana pun: leher yang putih, cukup panjang untuk perempuan mungil.
Perempuan itu terlalu berlebihan, setiap malam ia berkata bahwa bayi dalam perutnya menendang-nendang. Mareta terganggu karena itu: ia muntah setiap kaki dalam perutnya menyepak, dan semakin buruk setelah perutnya membesar. Dari caranya muntah, Mareta seolah ingin mengeluarkan janin itu dengan cara apa saja. Bila memungkinkan, barangkali ia akan mengeluarkannya bersama muntahan.
Elvis hampir kehilangan bayinya suatu malam. Ketika itu ia masih bekerja, tapi ia pulang mendahului teman-temannya: Elvis merasa murung, suara-suara mendengung di telinganya, tapi matanya terasa sangat lelah. Ketika teman-temannya melihat Elvis begitu lemas, mereka memaksa Elvis untuk pulang. Tapi, Elvis berkata ia tak apa-apa, karena memang tak ada alasan semua itu terjadi. “Mungkin kau sakit,” kata temannya.
Akhirnya, Elvis pulang lebih dulu. Dan, ia menjumpai rumahnya dalam keadaan gelap. Pintu terkunci. Tak ada yang menjawab panggilannya. Pintu pun didobrak. Ia dapati darah menggenang di lantai. Dan, Mareta telah terkapar. Berkali-kali, dengan berbagai cara, Mareta mencoba mengeluarkan daging yang mengembang di perutnya itu. Karena itu, Elvis mengajak ibu mertuanya tinggal di sana untuk mengawasi Mareta dan kandungannya.
Bayi itu selamat. Elvis sempat melihat bayi itu di ruang bersalin rumah sakit. Elvis berkata dalam hati, “Betapa menyesalnya bayiku tinggal dalam perut perempuan yang ingin membunuhnya, lahir dari rahim seorang yang selalu mengumpatnya.” Tapi, bayi itu betul-betul mirip Mareta, hanya tahi lalat di ujung hidung yang Elvis wariskan. Matanya seperti mata kucing, alis dan rambut yang tebal, dan leher yang mirip leher ibunya: semua itu milik Mareta.
“Perempuan memang menyebalkan,” pikir Elvis. Ia tiba-tiba terkenang masa perempuan itu mengandung.
Gadis itu berbaring, selimut tergumpal di kakinya, ia memunggungi Elvis. Rambut panjangnya terburai pada punggung, melingkar seperti sarang burung dari bunga rumput. Perempuan itu lebih sulit ditaklukkan, lebih lincah daripada tupai di pelepah kelapa bagi pemburu. Menaklukkan perempuan itu layaknya masuk pada sebuah lorong melingkar dengan ribuan celah yang gelap. Bisik-bisik, perempuan itu menyampaikan maksudnya pada Elvis. Tentu, Elvis akan memenuhi apa pun keinginan istrinya, apalagi bila Mareta berkata, “Anakmu yang menginginkannya.”
“Kau keterlaluan!” kata ibu Mareta.
“Bayi ini menginginkannya,” jawab Mareta.
“Tak semestinya perempuan hamil meminta suaminya berburu!”
“Bukan salahku.”
“Semoga ia selamat.”
“Lelaki tangkas mesti selamat.”
“Juga bayimu!”
“Tentu saja.”
Elvis berjalan bersama anjingnya, sambil bersiul meniru suara burung, berharap hatinya tenang. Ia berdusta pada dirinya—cara seperti itu tak pernah ampuh menaklukkan cemas. Jalanan lenggang, tak ada seorang pun di sana. Sebagaimana biasanya, trotoar hanya hiasan kota. Senapan angin digantung pada punggungnya, sepatu botnya masih bersih, senter sesekali mengintip burung di balik cabang pohon perindang jalan. Dan tatapannya tiba-tiba terpaku pada sebuah rumah.
Anjingnya tiba-tiba menuju pagar rumah itu—pagar yang menjulang dengan sebuah rumah yang cukup besar dan terlihat hampir mirip dengan bukit. Elvis tahu rumah tua itu. Maka sembari anjingnya mengangkat sebelah kaki belakang, Elvis memastikan tak ada orang yang melihatnya. Jalanan memang sepi, tapi ia khawatir bila seseorang tiba-tiba menegurnya. Rumah itu cukup besar untuk dihuni tapi terlalu gelap untuk seseorang tinggal di sana. Orang-orang membicarakan rumah itu layaknya rumah penyihir yang harus dijauhi. Elvis mengisap rokoknya, tapi menyapu tatap ke sekeliling, tapi anjingnya terasa terlalu lama di sana.
“Ah… aku mulai gila, suara burung dara kini mendengung di telingaku,” keluhnya dalam hati.
Namun, suara burung itu tetap nyaring. Elvis memejam mata memastikan kebenaran suara burung itu. Telinganya yang mulai memudar membuatnya harus berhati-hati mencari sumber suara burung itu. Tiba-tiba pikiran Elvis berubah, ia memberanikan diri memanjat pagar, untuk memastikan pendengarannya. Ia mendongakkan kepala, dan matanya membesar, dan mulutnya terbuka perlahan: sepanjang halaman rumah itu dipenuhi burung dara. Elvis menggelengkan kepalanya seperti anjing mengibaskan bulunya yang basah.
“Kau memang gila seperti istrimu!” kata ibu Mareta setelah mendengar cerita Elvis.
“Ia tak memberi pilihan lain,” jawab Elvis.
“Seharusnya kau beritahu aku sebelum masakan itu ia makan.”
“Aku tahu apa yang akan kau lakukan.”
“Kuharap kalian baik-baik saja.”
“Tak akan ada orang yang membuatku tak baik-baik saja.”
“Kau tak tahu apa-apa.”
“Apa yang perlu kutahu?”
“Tak ada.”
“Tentu tak ada.”
“Kita sudah basah dan hanya bisa berharap,” jawab ibu Mareta.
Sejak itu, perut Mareta yang buncit tak pernah baik-baik saja. Ia sering merasa mual: mual yang berlebihan. Tak ada kutukan seperti yang diceritakan ibunya, tapi perangai Mareta menjadi menyebalkan. Mulutnya mulai lancang melempar sumpah atau kutukan pada bayi dalam perutnya. Dan ia berkata pada Elvis bahwa ia menyesali makhluk yang tiba-tiba bersarang dan bertambah besar di sana.
Elvis selalu berpegang pada kata-kata mertuanya: “Setiap perempuan hamil memang menyebalkan. Kau harus paham!”
Ah… seharusnya perempuan atau bayi itu tak perlu kembali. Mereka hanya akan membawa Elvis pada hal-hal yang sudah ia lupakan dengan payah. Kini, bayi itu datang diam-diam, dan diam-diam pula membawa Elvis pada masa lalu itu: pertama kali Elvis melihat pipi anaknya yang seperti roti mekar merah.
“Ia mestinya masih di sini,” kata Elvis tiba-tiba.
Kini, Elvis menggendong bayi itu, menggoyang-goyangkannya agar lebih tenang. Ia keliling rumah. Perasaan itu muncul lagi. Mungkin Mareta ingin menemuinya, hanya saja, ia tak punya nyali untuk minta maaf. Elvis menuju beranda rumah. Lampu jalanan begitu terang tapi semak-semak di seberang jalan nampak tetap gelap. Mata Elvis seperti kamera yang membidik gambar, memperhatikan sekeliling, lalu menuju tempat itu.
“Suara itu lagi,” kata Elvis. “Mareta mungkin telah menjadi gila,” lanjutnya. “Atau mungkin ini caranya minta maaf.”
Elvis tak lagi berhasrat mengejar. Mareta tahu betul posisi kamar, dan dia pasti paham cara kabur dari rumah itu. Karena itu, Elvis memutuskan keluar, ke seberang jalan, berdiri di depan semak-semak, di bawah pohon perindang jalan. Lampu jalanan yang terang tetap tak bisa menyinari Elvis dan bayinya. Beruntung, Elvis berhasil membuat bayi itu tidur, atau mungkin karena lelah sehingga bayi itu menyerah lalu diam.
Elvis leluasa melihat rumahnya. Dan, lampu kamarnya masih menyala, gorden telah disingkap, jendela terbuka. Tiba-tiba ia melihat bayangan orang bertopi di dalam kamar itu, tampaknya orang itu bingung. “Tepat, itu pasti Mareta,” kata Elvis. Ia segera lari ke sana, memperhatikan bayangan yang nampaknya sedang mencari sesuatu. Elvis berusaha membuat langkahnya tak bersuara. Tapi, satu kesalahannya adalah tidak melepas pantofel. Ketika menyentuh lantai kamar, suara sepatunya didengar oleh orang itu, sehingga orang itu tampak panik, beberapa benda berjatuhan di sana. Elvis mempercepat langkahnya. Tapi terdengar suara jendela terbentur. Lalu Elvis menuju beranda.
“Dia tidak terlalu cepat,” kata Elvis. Tetanaman di dekat jendela bergerak-gerak. Bergegas tangan kanan Elvis mengeluarkan pistol. Semak itu masih bergoyang-goyang, “Ia di sana,” kata Elvis dalam hati. Moncong pistol mengarah ke semak-semak itu. Perlahan-lahan ia mendekat. Lalu Elvis menyibak semak itu. “Sial. Tak selambat yang kubayangkan!” kata Elvis.
Yang ia jumpai hanya anjingnya yang kini sibuk mengoyak bangkai burung dara. “Tentu saja ini ide Mareta. Perempuan jadah!” ucap Elvis sekali lagi. “Hal yang sama ia lakukan ketika kabur dari ruang bersalin! Ah, perempuan itu memang gila!” [T]
___