Ya, Saya positif Sars-CoV2 agen penyebab COVID-19. Deretan huruf berwarna merah di bagian tengah formulir itu dari jauh sudah bisa terlihat jelas dan memastikan status saya saat ini sebagai seorang OTG/GR. Seseorang yang telah terkonfirmasi terinfeksi virus Sars-CoV2 namun dengan gejala minimal seperti yang saya rasakan saat ini, adapun sakit yang saya rasakan cuma demam di sore hari disertai batuk kering.
Akhirnya, semua akan covid pada waktunya, begitu canda seorang teman yang saya kabari kondisi saya. Tak ada kesan meledek di nada bicaranya. Sekedar penyemangat dan membuat saya sadar bahwa positif Covid-19 bukanlah akhir dari segalanya.
Saya termasuk terlambat memeriksakan diri, saya sudah merasa meriang hampir mulai 10 hari yang lalu. Saya sedikit mengabaikannya, karena saya sudah lama sekali tak pernah menderita sakit seperti ini, puluhan tahun mungkin. Saya menerapkan hidup sehat, makan dan tidur teratur di gunung. Olahraga seminggu dua kali di kota. Dengan gaya hidup seperti ini, saya benar benar lupa kapan terakhir minum obat karena influenza, puluhan tahun yang lalu saya pikir. Jadi saya anggap keluhan ini hanya karena kurang tidur, sehingga dibawa tidur nyenyak sehari saja pasti akan hilang dengan sendirinya.
Kamis pagi saya merasa sedikit pusing, sepulang dari kota Negara. Siangnya sepulang kantor sedikit memaksakan diri menyuntik pasien di rumahnya, karena yang bersangkutan tak bisa dibawa ke tempat praktek. Kamis malam langsung tepar, demam sampai pagi. Jumat pagi inisiatif tak ke kantor untuk beristirahat, dan siangnya ambil keputusan untuk pulang saja ke Negara, biar dapat istirahat total tanpa diganggu pasien yang hendak berobat. Di kemudian hari keputusan ini saya syukuri, karena dengan positif-nya saya, kemungkinan hari itu sudah ada virus di tubuh saya, dan kemungkinan terburuk bisa menulari pasien saya, mereka yang datang untuk sembuh, justru jadi sakit karena tertular.
Inisiatif untuk memeriksakan diri datang keesokan harinya. Saat terdengar kabar pasien yang sempat saya periksa di rumah akhirnya dibawa ke rumah sakit, kemudian terkonfirmasi positif Covid-19 hinggga akhirnya meninggal. Jadi saya yang sebelumnya pernah sekamar dengannya untuk memeriksa meski dalam hitungan menit, namun dalam kondisi tidak fit. Maka saya menjadi orang pertama yang mesti ditetapkan sebagai kontak erat dan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan swab antigen/PCR untuk memastikan status covid saya.
Inisiatif lainnya datang sore itu, tiba-tiba saja seorang teman sejawat chat mengabarkan dirinya positif, dengan kadar oksigen darah (saturasi) yang menurut saya cukup mengkhawatirkan. Spontan saya unggah kondisi lengkap yang bersangkutan di grup angkatan kedokteran kami. Dan seperti yang saya duga, teman-teman di kota yang sudah pernah mengalami, maupun yang lebih sering menangani kasus kasus Covid begini segera memaksa dia untuk segera mencari pertolongan, dan saya-lah ujung tombaknya biar dia segera dievakuasi ke RS.
Begitu sigapnya teman-teman saya, malam itu juga yang bersangkutan segera berangkat ke Denpasar, dan kalaupun kondisinya memburuk, sampai perlu dirawat di HCU. Satu ruang HCU sudah disiapkan atas namanya dan siap diisi kapan pun juga. Begitu mungkin manifestasi Jiwa Corza diantara sesama dokter, apalagi yang merasa pernah satu angkatan, 6-7 tahun bersama menempuh pendidikan kedokteran dengan segala suka dukanya.
Kembali ke kasus saya, akhirnya Senin pagi saya berangkat sendiri ke RS. Istri yang rencananya ikut swab, mendadak membatalkan diri. Tunggu hasilnya saya saja, kalau positif baru lanjut kami semua, begitu kilahnya. Dalam 1 jam, karena cuma swab Ag hasil langsung jadi dan positif.
Saat disarankan untuk lanjut periksa PCR, saya menolaknya, saya merasa sakit saat dicolok kedua hidung barusan, jadi saya trauma. Dan yang saya tahu, sensitivitas pemeriksaan swab AG sudah mendekati /hampir 90 % pemeriksaan swab PCR.
Sejenak saya tertegun, menikmati kesialan ini sejenak, coba menyangkalnya sebentar lalu mulai menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Saya duduk sebentar, memikirkan siapa-siapa yang mesti saya telpon untuk kabarkan kondisi saya, istri pasti, yang lain menyusul kemudian. Istri saya telpon, dia cukup terpukul tapi saya besarkan hatinya, dan suruh siapkan diri untuk segera dites juga bersama mertua dan anak-anak yang tinggal serumah.
Teman sekantor saya telpon, dan ternyata mereka juga ada inisiatif untuk swab bersama beberapa orang yang mengalami gejala dan akhirnya ada dua yang positif juga, “Hmm tambah banyak kerjaan nannti nih petugas surveilennya”, begitu pikir saya. Dalam perjalanan pulang saya coba merenung kembali, kira-kira dimana saya bisa terpapar virus ini ya, di kantor, di tempat praktek, di kota atau dimana?
Akhirnya saya simpulkan, kemungkinan besar saya dapatnya di praktek. Di Puskesmas saya jarang periksa pasien karena sudah ada dokter ke 2. Kunjungan pasien ke praktek bulan-bulan ini sangat meningkat, jadi kalau itu diperiksa acak, barangkali akan ditemukan satu atau lebih pasien dengan Covid-19. Kebetulan saat itu perlindungan diri saya kurang optimal dan kondisi badan saya sedang menurun. Jadi virus itu gampang masuk ke tubuh saya.
Saya ingat, akhir-akhir ini cukup sering pergi bolak-balik karena suatu urusan ke Tabanan, Singaraja, Negara. Lebih sering dari biasanya. Olahraga tenis sudah lebih sebulan tak bisa karena lapangan ditutup terkait PPKM. Jadi bisa dibayangkan kebugaran tubuh saya ini. Oya sebagai tanggung jawab sosial saya selaku anggota masyarakat yang melayani masyarakat desa disana, malamnya saya langsung menelpon ketua satgas desa saya. Saya menceritakan kronologis kejadian yang menimpa saya, dan berjanji akan bekerjasama terkait langkah langkah selanjutnya yang diambil desa dalam hal penanganan kasus penyebaran Covid-19 seperti ini.
Cukup sudah saya meratapi diri, hidup harus tetap berjalan, begitu tekad saya. Saat seorang teman menanyakan kebenaran status saya di sebuah grup pertemanan, saya jawab secara diplomatis. Saya punya kabar baik dan buruk kata saya. Kabar buruknya, saya terpapar, dan kabar baiknya, badan dan jiwa saya menolak kalah melawan virus ini, begitu saya menyemangati diri.
Saya mulai menghubungi teman-teman yang saya anggap lebih tahu tentang penanganan kasus Covid-19. Jujur saja, sebagai dokter lapangan, selama ini saya fokus ke pencegahan saja, pengobatan pasien kurang kita pelajari, karena kami anggap sudah ada orang yang lebih kompeten untuk hal itu. Masalah pertama yang kita hadapi adalah banjir informasi, begitu banyak info tentang penanganan covid-19 ini dan kita mesti pintar memilih moda penanganan yang dianjurkan tadi.
Metode menghirup uap hangat yang katanya efektif, justru membuat batuk saya bertambah parah. Satu yang saya pegang pada dasarnya terapi utama adalah terapi penunjang saja, pemakaian anti virus dan antibiotik hanya untuk mereka yang mengalami gejala penyerta yang dirasa berat saja.
Hari pertama saya isolasi mandiri di rumah, sendirian di lantai dua. Makan dan minum dilayani, kamar mandi menggunakan sendiri. Keluhan utama saya adalah batuk yang sangat mengganggu, tak henti-henti, sampai sakit perut karena batuk terus menerus. Obat yang diberikan di rumah sakit hanya berupa vitamin dan antibiotik satu dosis.
Hari berikutnya, semua harus berubah, istri dan dua anak ternyata positif juga. Segera yang belum terpapar diungsikan semua ke rumah mertua. Kami berempat saja di rumah ini, saya tetap di lantai dua sendiri, karena batuk tetap keras, takutnya sedang aktif virus ini. Kebutuhan sehari-hari didukung oleh mertua dan ipar. Pagi sore datang makanan mateng, ipar setiap saat datang untuk belikan obat dan cemilan. Cukup segitu saja kami merepotkan orang lain terkait isolasi yang kami lakukan secara mandiri. Tetangga samping dan belakang rumah mungkin tak tahu kalau kami sedang isoman, kebetulan sekali rumah kami ada di tengah persawahan, cuma ada satu rumah dan satu toko tetangga kami disana.
Gejala utama yang saya rasakan saat terpapar ini adalah demam naik turun, terutama di malam hari, menetap sampai hari ke 10 ini dan biasanya bisa diatasi cukup dengan parasetamol. Obat-obat lain sebagai penunjang adalah vitamin kombinasi yang mengandung vitamin C, vitamin D dan Zinc pada komposisi tertentu.
Gejala lainnya yang sangat mengganggu adalah batuk kering, yang sampai membuat perut sakit, dan bahkan tak bisa memejamkan mata barang sekejap-pun di hari hari awal terpapar. Obat asetilsistein yang cukup bagus, tak cukup membantu. Sampai akhirnya saya minta resep obat jenis tertentu (dilarang sama senior saya), tapi karena tak tahan saya coba minum. Dan terbukti hari berikutnya begitu minum itu, langsung bisa tidur. Tapi saat diminum lagi hari berikutnya, kepala pusing, terasa berputar dan mau muntah, akhirnya muntah. Ternyata itu adalah efek samping obat ini. Terpaksa akhirnya minum obat itu hanya kalau menjelang tidur, biar pusingnya bisa langsung dibawa tidur.
Selain keluhan tadi, hampir tak ada keluhan yang cukup berarti, penciuman masih normal sehingga makan minum apapun masih terasa enak. Istri dan anak hanya mengalami keluhan yang minimal, demam sebentar dan batuk minimal. Untuk mereka cukup obat penunjang dan antibiotik saja, si bungsu yang demam lebih lama, disarankan anti virus juga dalam dosis yang lebih kecil.
Dukungan pihak lain dalam situasi seperti kami saya rasa secukupnya saja. Keluarga terdekat yang selalu bisa dikontak setiap saat itu sudah lebih dari cukup biar kita tak terlalu merepotkan banyak pihak. Jaringan pertemanan medis saya, baik di puskesmas, dinas kesehatan maupun RSU sangat membantu saat diperlukan obat obat khusus yang biasanya susah untuk didapatkan. Bahkan ada obat obat tertentu yang susah dan mahal, bisa saya dapatkan dengan cuma-cuma atas pertolongan teman.
Mudah-mudahan kami segera bisa lepas dari virus ini, sehingga saya bisa beraktivitas kembali di tengah masyarakat. Karena saya menganggap kemarin dapatnya di praktek maka ke depan saya akan coba memperbaiki dan melengkapi sarana perlindungan diri di sana. Saya akan mulai dari penetapan jam praktek, biar saya bisa ada waktu persiapkan diri. Melengkapi tempat cuci tangan dan lebih banyak hand sanitizer. Menyiapkan masker untuk mereka yang tak pakai masker. Memasang lebih banyak lagi ventilasi udara di ruang praktek saya. Melakukan desinfeksi ruangan sehabis pelayanan pasien.
Mungkin seperti itu saja yang bisa saya bagi disini, terpapar Covid bukanlah akhir dari segalanya, Pante Rei, dan semuanya pasti akan berlalu.[T]