Jembatan bambu itu memanjang lurus di sela-sela hutan bakau. Saya menyusuri jembatan itu perlahan, terasa seperti memasuki lorong dengan dinding hutan yang hijau. Apalagi, di setiap satu kilometer, terdapat gazebo kecil sebagai tempat jeda. Dari gazebo, lihatlah ke bawah, ke dalam air di antara akar pohon. Ikan-ikan kecil wara-wiri ke sana kemari. Mereka nampak bahagia.
Jembatan panjang lurus itu berada di kawasan Konservasi Mangrove Putri Menjangan di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali. Setengah hari saya berjalan-jalan di atas jembatan, menikmati beragam jenis mangrove.
“Ada duabelas jenis pohon mangrove atau bakau di hutan ini, semuanya asli dari Desa Pejarakan,” kata Abdul Hari, Kamis (22/7/2021). Abdul Hari yang biasa disapa Riri adalah Ketua Satgas Lingkungan Desa Pejarakan yang bersedia menemani saya berkeliling hutan.
Saya dengan santai menapaki jembatan bambu yang terbentang sepanjang hutan. Selain ikan, sesekali saya lirik ada kepiting kecil yang berjalan miring di akar-akar tunjang. Ombak laut sesekali menepi menghempas lembut pohon bakau. Ahh, damai sekali rasanya.
Di tengah hutan saya melihat ibu-ibu yang sedang mengumpulkan ranting-ranting mangrove kering. Ranting kering memang diizinkan untuk diambil sebagai kayu bakar. Di Pejarakan memang banyak warga masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Tentang 12 jenis mangrove yang ada di kawasan Desa Pejarakan, Riri menjelaskan jenis pertama adalah Rhizepora, Sp. Jenis ini ada tiga yaitu Rhizepora Mucronata, Rhizepora Setylosa, Rhizepora Apiculata. Jenis berikutnya adalag Ceriops. Jenis ini juga dibagi menjadi dua, Ceriops Tagal dan Ceriops Ustralis. Lalu ada Sonnaratia Alba, Lumitzera Recemosa, Bruguera Gymnorrhiza, Acegiras Grinatum, Oxbornea Grinatum.
Masing-masing dari jenis itu memiliki wilayah pertumbuhan yang berbeda berdasarkan subtrat atau media tanamnya. Namun secara umum manfaat dan fungsinya sama. Yakni sebagai penahan gelombang air laut. “Dari jenis itu ada yang ditanam lebih dominan karena cocok dengan subtratnya. Seperti misalnya, di daerah Teluk Banyuwedang lebih dominan jenis Rhizepora,sp. Lalu di kawasan Putri Menjangan tempat saya berjalan-jalan itu lebih ke penanaman mangrove jenis Sonnaratia Alba. Tapi Rhezipora juga ada,” kata Riri.
Jika bergerak lebih ke timur, terutama di wilayah Pura Batu Togog sampai ke Teluk Sumbekima, akan ditemukan lebih banyak lagi jenis mangrove. Sebab kultur tanah atau subtratnya bervariatif dengan kondisinya hampir semimbang. “Semua jenis bisa dijumpai di sana,” kata Riri.
Apalagi, di Teluk Banyuwedang kondisi tanahnya berlumpur, ada pasir dan kerikil. Kondisi semacam itu membuat pertumbuhan jenis Sonaratia Alba lebih cepat. Jenis ini tumbuh dari biji-biji buah mangrove yang sudah tua. “Buah itu pecah bila sudah tua dan bijinya terjatuh menyebar ke sekitar di antara kerikil-kerikil itu,” ujar Riri.
Wisata Edukasi
Untuk upaya edukasi, Riri tengah menata kawasan Putri Menjangan. Jembatan bambu yang ada perlahan mulai diperbaiki agar pengunjung dapat melihat lebih dekat sepeti apa didalam hutan mangrove. Selain itu juga di samping kawasan itu, Riri dan kelompok Putri Menjangan membuka rumah bibit. Di rumah bibit itu terdapat 12 jenis mangrove yang tumbuh. Mulai dari bibit propagul hingga bibit yang sudah bertunas siap tanam.
Saat edukasi dilakukan, maka terlebih dahulu diarahkan ke rumah bibit untuk melihat seperti apa mangrove sebelum tumbuh besar. Kemudian, pengunjung akan diajak untuk menanam. Saat proses penanaman ini Riri bersama Satgas Lingkungan, kembali memberikan penjelasan tentang cara menanam mangrove. Jika bibitnya berupa propagul, maka tinggal ditancapkan saja. Jika sudah berupa tunas, maka harus dibuatkan lubang tanamnya dulu. Tentunya disesuaikan dengan subtrat dari jenis mangrove. Setelah itu barulah diajak berkeliling hutan mangrove melalui jembatan bambu yang memecah hutan mangrove.
Begitulah cerita Riri mengalir sembari menemani saya menikmati suasana hutan bakau. Sekembalinya dari menyusuri jembatan bambu, saya diajak rehat sejenak. Kami menuju sebuah warung sederhana di dekat taman Konservasi Putri Menjangan. Di sana sudah banyak teman Riri yang nongkrong sambil ngopi-ngopi ganteng. Sekitar 10 orang kurang lebih.
Ikan Senang Nelayan Senang
Suasana terik saat itu tak terasa. Sebab, hawa sejuk datang dari celoteh teman-teman Riri yang berprofesi sebagai nelayan. Guyonan demi guyonan terlontar dari mereka yang sedang rehat usai melaut. Saya ingat celetukan seorang nelayan yang mengatakan salah satu temannya mirip ikan cotek. “Monyong begitu, mirip cotek sampean,” guyonnya diiringi gelak tawa yang lainnya. “Dapat ikan banyak sampean bisanya cuma ngeledek,” sahut yang lainnya menimpali.
Beberapa detik saya terbius oleh guyonan mereka. Hingga Putu, salah satu nelayan berkata kepada saya bahwa ia sangat bersyukur. Sejak bakau ini tumbuh subur di pesisir pantai desa Pejarakan, aktivitas melaut mereka terasa lebih menyenangkan. Sebab, ikan-ikan yang dulunya harus ia cari di tengah laut dengan jarak puluhan mil, kini bisa ditangkap dengan mudah di dekat pantai.
“Cari ikannya bisa agak ke pinggir sekarang, Mbak. Ikan-ikannya senang ada di bakau-bakau itu. Ikan senang, saya juga senang,” ujarnya sembari tertawa riang.
Rasanya kebahagiaan mereka tak bisa ditukar dengan apa pun. Kehidupan sebagai nelayan di pesisir Pantai Desa Pejarakan dengan anugrah biota laut merupakan harta yang paling berharga bagi mereka.
Hebatnya lagi, buah mangrove yang ada di Desa Pejarakan itu diproduksi sebagai makanan yang nikmat. Ibu-ibu nelayan dengan difasilitasi oleh PT Pertamina membuat olahan tepung serta sirup dari buah mangrove. Bahkan, hasilnya pernah dipamerkan hingga ke Jakarta. “Itu yang buat ibu-ibu nelayannya. Pernah sampai ke Jakarta ikut pameran,” kata Ketua Nelayan Banyumandi, Nyoman Sandi.
Jadi tidak hanya ikan, kepiting dan kerang yang bisa didapat dari mangrove yang tumbuh di pesisir Desa Pejarakan. Perekonomuan mereka sedikit-demi sedikit terangkat karena geliat ibu-ibu nelayan yang melakukan pengolahan terhadap buah mangrove. “Buahnya itu seperti apel. Bulat. Itu yang dipakai untuk tepung. Dari tepungnya itu dibuat jajanan,” ujar Sandi.
Sempat Kritis, Hijau Kembali
Kawasan Konservasi Mangrove Putri Menjangan di Desa Pejarakan bukan sebuah kawasan yang sejak dulu memang hijau seperti itu. Pada tahun 1990-an, hutan mangrove banyak yang ditebang dan mati. Masyarakat melakukan itu karena mereka ingin membuka tambak. Baik tambak udang maupun tambak ikan. Seiring berjalannya waktu, kerusakan pun tak bisa dihindari. Abrasi semakin parah. Bila gelombang tinggi, tambak-tambak yang ada di pinggir pantai itu terhempas dan berdampak ada menurunnya produktivitas tambak.
Kondisi itu berlangsung cukup lama, hingga warga Desa Pejarakan menyadari pentingnya ada penahan gelombang dan media pencegah abrasi. Tahun 2012, kelompok masyarakat dan Satgas Lingkungan beramai-ramai menanam mangrove di sepanjang garis pantai Desa Pejarakan. Penanaman rutin dilakukan setiap tahun dengan menanam 5.000 bibit mangrove. Bibit-bibit itu diambil dari buah mangrove yang sudah tua, yang masih tersisa saat itu.
Tahun terus berganti, masyarakat mulai merasakan dampaknya. Abrasi berkurang dan ekosistem laut terjaga. Warga sekitar pun mulai terdampak dengan meningkatnya produktivitas biota laut seperti ikan, udang dan kepiting yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hingga saat ini sudah ada 40 hektar lebih hutan mangrove yang terbentang di wilayah pesisir pantai desa Pejarakan sepanjang 14,23 km dari total 76,89 km di Kecamatan Gerokgak. Sebab, setiap tahunnya selalu dilakukan restorasi terhadap kondisi mangrove di kawasan tersebut.
Marcito nelayan desa Pejarakan yang sudah melaut dari tahun 1990 merasakan dampaknya. Dulu sebelum ada mangrove di pesisir desa Pejarakan ikan-ikan seperti barakuda dan sneper itu tidak ada. Hilang entah kemana. Saat melaut, ia pun harus mengambil jarak belasan mil untuk bisa menjala atau memancing ikan. “Jauh dulu. Sampe ke dalam,” tuturnya.
Beda dulu, beda sekarang. Jika dulu mangrove banyak ditebang, kini mulai dikembangkan. Marcito pun turut langsung dalam konservasi itu. Karena sudah merasakan dampaknya, Marcito bersama kawan-kawannya selalu turut bila ada upaya penanaman atau bersih-bersih sampah di sekitar pantai. “Sejak ada mangrove banyak yang kami dapat. Ikat yang dulu hilang, kini dia telah kembali pulang. Cari ikan bisa lebih ke pinggir. Terus ibu-ibunya bisa juga cari kerang yang di akar-akar mangrove itu lo, Mbak,” kata Marcito antusias.
Jika sedang musim, Marcito bisa mendapat 20 kilogram ikan awan hasil menjala. Kemudian ia serahkan kepada istrinya untuk kemudian dijual secara berkeliling desa. “Kalau sebelum mangrove ada, angin kan kenceng ya. Namanya di laut. Ikan-ikan pada mencar semua. Nah pas mangrove ada, ada penahan anginnya. Lebih mudah tangkap ikan,” sambungnya.
Dari upaya konservasi yang dilakukan, Satgas Lingkungan Desa Pejarakan tidak sendiri, mereka selalu menggandeng masyarakat lokal, kelompok nelayan, pelajar dan mahasiswa hingga pihak ketiga lainnya. Aksi yang dilakukan juga tidak saja sekadar menanam, namun juga mereka memberikan edukasi terkait keberadaa hutan mangrove.
Nah, dari 12 jenis mangrove yang ditanam di Desa Pejarakan, Satgas Lingkungan sama sekali tidak pernah mengusik keberadaan mangrove itu. Tidak ada yang ditambah dan tidak ada yang dikurangi juga. Yang biasa-biasa saja. Sebab jika ditambah ada kekhawatiran akan merusak ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya. Alhasil ekosistem yang ada menjadi tidak seimbang. Selain itu, jika mendatangkan jenis baru diluar dari jenis yang sudah ada, ada ketakutan jenis yang asli akan kalah dengan jenis baru yang ditanam.
Untuk itu, pihak desa dan Satgas Lingkungan tetap menjaga 12 jenis mangrove di kawasan itu. Namun dari 12 jenis itu, penanaman difokuskan pada kelompok Rhizepora,sp. Sebab pada mangrove jenis ini biota laut paling banyak dapat beradaptasi dan berkembang biak. Akar-akar tunjang dari jenis ini sangat cocok sebagai tempat pemijahan ikan, tempat berlindung bagi telur-telur ikan dan biota lainnya. Lalu pada bagian atas akan banyak sarang-sarang burung. Baik yang hinggap untuk bermigrasi ataupun yang berkembang biak di sana.
Kawasan taman mangrove di Desa Pejarakan tidak saja difungsikan sebagai kawasan konservasi saja. Namun juga dimanfaatkan sebagai kawasan wisata edukasi. Yang dikelola untuk edukasi itu, dulunya fokus di Kawasan Putri Menjangan di dekat pantai. Tapi sekarang karena Putri Menjangan sudah direstorasi, kawasan edukasi lebih mengarah di wilayah timur. Tepatnya di perbatasan Desa Sumberkima-Desa Pejarakan, khususnya di Teluk Sumberkima.
Di wilayah itu juga dilakukan upaya konservasi dengan menggunakan pola tanam rumpun berjarak. Dengan pola tanam ini gelombang laut masih bisa menembus rumpun dan tidak tertahan langsung sehingga tidak merusak bibit yang mulai bertunas. Penanamannya setiap satu kelompok atau satu rumpun berisi 500 bibit sekali tanam. Pada jarak 15 meter dibuat lagi rumpun lain dengan isian 500 bibit propagul. Pada 10 meter berikutnya diisi 500 atau 400. Arahnya berbentuk zigzag. Tidak dilakukan secara berbaris atau berjejer.
Sebagaimana kata Riri, konservasi mangrove yang dilakukan bukan semata-mata hanya untuk mencegah terjadinya abrasi saja, tapi konservasi itu dilakukan juga dalam rangka pemulihan hutan mangrove. “Meski kondisi hutan mangrove di kawasan Bali Barat itu tidak terlalu parah, namun konservasi harus terus dilakukan,” katanya.
Upaya-upaya yang dilakukan warga ternyata bersambung dengan program yang dilakukan pemerintah. Pada 23 Oktober 2020 pemerintah melaksankan Program Pemulihan Mangrove. Pemulihan hutan mangrove di wilayah Bali dilakukan lewat Program Padat Karya, dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Unda Anyar, yang merupakan Unit Pelaksanaan Teknis Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Pada program itu dihadiri langsung Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI, Alue Dohong. Dalam pidatonya ia menyampaikan Indonesia sendiri memiliki sebaran mangrove seluas 3.311,207 hektar yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan, yang diantaranya seluas 637.624 hektar termasuk dalam kondisi kritis dan perlu dipulihkan. Dan Bali sendiri memiliki target 100 hektar yang harus dipulihkan. Program Padat Karya Penanaman Mangrove di Teluk Terima ini melibatkan Kelompok Wana Segara desa Sumberklampok sebanyak 25 orang. Kelompok ini diberikan upah dengan sistem pembayaran langsung ke rekening pribadi. Diberikan sebesar Rp 110 ribu per Hari Orang Kerja (HOK). Selain sebagai upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional, sekaligus menjadi bagian dari corrective measure di era kabinet kerja 2019-2024.
Hutan mangrove menjadi salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir yang dalam masa pandemi ini merasakan dampak penurunan ekonomi yang paling signifikan. Oleh karena itu, melalui Program Padat Karya Penanaman Mangrove tersebut diharapkan dapat menjadi stimulus perekonomian bagi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove dan sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi nasional. [T]