Bulan-bulan ini memang kurang bersahabat padaku. Entah kenapa aku merasakan ribuan beban menindih pikiranku. Aku sudah berupaya keras memecahkan beragam problematika, tapi ada saja yang masih tersisa. Minggu pertama bulan ini aku tidak bisa bernapas lapang. Dadaku terasa sesak. Minggu kedua, hidungku mampet. Jika kubawa ke rumah sakit pastilah akan divonis Covid-19. Minggu ketiga, kakiku terasa sakit. Orang-orang biasa menyebutnya dengan asam urat. Minggu keempat entah kenapa telingaku tiba-tiba butek. Satu kata pun tak bisa masuk. Sudah dikasi tetes telinga juga tak mempan. Ini memengaruhi organ dalamku, maag kambuh, mual, nafsu makan tidak bagus. Entah setelah ini apa yang akan mendatangiku lagi?
Aku tak mau mati lebih-lebih mati muda. Tanggung jawabku belum tuntas. Aku tak mau berdiam diri. Berdiam diri itu sama dengan mati. Kudatangi dan kutanyatakan pada teman-temanku dengan gampangnya dijawab. “Itu dampak dari pikiran. Pikiran itu sumber penyebabnya. Coba kalau pikiranmu tenang. Nyaman dan tidak ada ketegangan-ketegangan pasti tak akan seperti itu.”
Aku tersenyum dalam hati sepertinya temanku tak pernah mengalami seperti diriku. Ia bisa bermain-main dengan perasaannya, sedangkan aku tidak bisa. Aku ingin melepaskan segala beban. Aku tak ingin beban itu menjadi monster yang sewaktu-waktu bisa saja menggerogotiku dari dalam. Aku memang tak pernah menceritakan masalahku pada istriku. Bukan jalan keluar yang akan kudapatkan, justru kicauan yang membuat semakin butek lebih baik kusimpan saja. Syukurlah ada teman yang bisa kuajak berbagi. Tapi, aku tahu. Biasa jika titip kata bisa melebar. Itu sudah risiko bagi pembagi cerita. Tapi demi keselamatan tak apalah.
“Berbagi cerita itu penting,” katanya. “Jika tidak mau berbagi bisa semakin mumet. Kepala bisa nyut-nyut. Beragam penyakit pun bisa menggerogotinya. Sebaiknya sekecil apapun masalah, perlu diceritakan. Utamanya kepada istri. Orang yang paling dekat dan tahu dengan keberadaanmu. Aku yakin, istrimu bisa memberikan jalan keluar.”
“Tapi istriku?” bisikku dalam hati.
“Jangan suka menyalahkan istrimu. Ia sudah dari pagi menjagamu. Tapi kau kurang sadar. Coba kau lihat. Tugas rutinnya ia jalankan. Kau masih ngorok. Masih menikmati mimpimu. Saat kau bangun, sudah disuguhi kopi dengan pisang goreng. Jangan mau menang sendiri. Kasihani istrimu. Coba kalau istrimu sakit, apa yang bisa kau buat? Kau akan melongok. Paling-paling hanya bisa ke warung saja.”
Aku tersenyum sendiri. Benar juga perkataan temanku itu. Selama ini, aku tak peduli dengan istriku. Cuma bisa menyalahkan yang semestinya tidak perlu kuucapkan. Aku pulang. Kudekati istriku. Kulihat pipinya berpeluh. Ia baru saja selesai merapikan barang-barang yang semestinya sudat keluar dari persembunyiannya. Aku memang agak membandel. Barang-barang yang tak perlu masih saja saja disimpan seperti tukang arsip.
Kucuba memulai pembicaraan sambil memijit kakiku. Kuolesi dengan minyak racikkan harapanku agar perhatiannya beralih. Eeeee, istriku tak mau juga. Ia tetap mengipasi tubuhnya. Ia justru meninggalkan diriku. “Dasar lelaki cengeng. Tak kusangka lelaki pilihanku seperti ini. Cuma sakit segitu saja sudah mengeluh. Memangnya ia saja punya sakit? Aku lebih sakit lagi. Tak cengeng seperti itu. Jika aku tahu seperti ini sedari dulu. tak akan kupilih. Aku salah pilih. Aku mabuk dengan ucapan-ucapannya.”
Aku menjadi malu. Aku baru tahu istriku memendam perasaan mangkel padaku. Berarti kopi yang ia suguhkan selama ini dengan rasa mangkel. Berarti ribuan mangkel ada di aliran tubuhku. Pastilah ia mengendap menjadi kerak kemangkelan. Jangan-jangan kemangkelan itu berubah menjadi beragam penyakit? Waduh kalau begini. Bisa mati karena mangkel aku ini. Pokoknya aku tak mau mati. Keluargaku juga tak boleh mati rasa.
Aku ubah kebiasaanku. Aku bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk keluarga. Istriku kaget termasuk anak-anakku. “Ini ada apa? Jangan-jangan ada maunya ayahku ini?” bisiknya. Aku tidak peduli. Kugoreng bawang. Kubuatkan sayur urap, kubuatkan pepes ikan. Hari itu seperti masak besar. Istriku bengong melihat perubahan sikapku. Ia bukannya bersyukur, tapi justru mencurigaiku.
“Silakan makan. Kita makan bersama. Kebersamaan itu penting. Segala masalah akan terpecahkan dengan semangat kebersamaan.”
Anak-anakku tumben mau makan bersama. Biasanya makan sesuka hatinya. “Nah ini yang ayah cari.”
“Maksudnya Yah?”
“Kebersamaan itu penting. Coba ceritakan apa masalahmu.”
“Kalau aku, sih tak bermasalah Yah. Jangan-jangan Ayah yang bermasalah?’
Aku tertawa. “Bisa juga kau.”
“Benar khan?”
Suara sendok beradu dengan piringku seperti musik yang mengiringi makanku. Istriku kulirik. Ia terus menatatap wajahku. Ia masih mencurigai diriku dengan perubahan sikapku.
“Sudahlah lanjutkan makannya saja. Coba ceritakan yang kau rasakan selama ini?”
Aku tak berani berterus terang. Kejujuran bisa membuat jatuh wibawaku di depan anak-anakku.
“Berterus terang itu bagus. Jangan meniru orang-orang yang tak jujur. Rumah tangga tanpa kejujuran, tiangnya akan keropos.” Istriku mulai membuka pembicaraan.
Aku tahu itu pancingan istriku. Aku pura-pura berpikir. Kuberanikan mengutarakan beban yang kurasakan. Istriku tersenyum. “Belum seberapa itu. Cuma sakit segitu saja sudah menyerah. Lihat di luar sana. Ia lebih parah darimu. Bahkan, napasnya mau putus saja masih tetap berjuang. Ia tak mau menyerah. Cuma segitu saja sudah menyerah. Itu gampang coba ubah kebiasaanmu dari ngorok seperti sekarang ini. Bangun pagi. Hirup udara segar. Gerakkan tubuh. Pasti sehat.”
“Dasar,” bisikku dalam hati bukan jalan keluar yang kudapat. Tapi perintah secara tersembunyi. Aku mengurangi kata-kataku.
“Coba besok kau lakukan seperti ini lagi pasti semakn sehat.”
Aku ikuti saran istriku. Mengubah kebiasaan memang sukar. Aku bangun pagi. Kuhirup udara segar. Kugerakkan tubuhku. Aku mulai dengan mengambil tugas-tugas istriku. Aku mandi pagi. Dan seterusnya dan seterusnya.
“Gimana khan lebih sehat sekarang? Semua oarng punya masalah. Tidak hanya kita. Cuma kita yang memasalahkan masalah. Coba jalani masalah itu pasti terselesaikan. Masih sakit kakimu? Masih mampet hidungmu? Masih sakit-sakit lainnya? Tidak khan?”
Aku malas menjawabnya. Istriku tersenyum. Ia daratkan ciuman di pipiku. Tumben ia menciumku sepagi ini. [T]
___