Jejak seni patung Bali dapat dijumpai di hampir tiap pura berupa arca dari batu. Di sisi gerbang pura yang disebut Candi Bentar biasanya diletakkan patung Dwarapala yaitu patung berukuran besar yang berfungsi sebagai penjaga. Bukti peninggalan prasejarah ada di Desa Trunyan, Kintamani yang diberi nama Ratu Gede Pancering Jagat. Patung setinggi 5 meter dipercayai sebagai citraan sosok nenek moyang mereka yang telah memberikan kedamaian dan kesejahteraan.
Seni patung Bali memiliki berbagai istilah sesuai dengan bentuk dan fungsinya seperti: Togog, Arca, Pretima, dan Bedogol. Togog adalah jenis patung profan. Tidak terikat pakem tradisi maupun religiositas tertentu. Bersifat fungsional yang lebih universal bagi kebutuhan ragawi dan rohani manusia sehingga memiliki keluasan perubahan dan pengembangan sesuai ekspresi dan imajinasi senimannya.
Sejumlah karya patung bisa dilihat di Museum ARMA, Ubud. Karya-karya ini bagian dari pameran Wana Jnana yang berlangsung dari tanggal 10 Juni hingga 10 Juli 2021. Gelaran seni rupa tradisi ini merupakan agenda Bali Kandarupa di dalam helatan akbar Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII, Tahun 2021.
Dari Sakral ke Profan
Sejarah perkembangan ‘patung togog’ sangat dinamis. Pemuka-pemuka pematung tak kering gagasan. Bentuk-bentuk baru terus bertumbuhan, menyebar di masyarakat, melebur menjadi gaya komunal. Patung yang berkembang di desa Nyuh Kuning, misalnya, pada umumnya berwujud hewan laut seperti ikan, lumba-lumba, kura-kura dan lainnya. Postur patung kebanyakan vertikal dengan bagian pangkal berbonggol yang biasanya dikreasi bermotif karang sebagai penunjang konstruksi konfigurasi sekelompok objek ikan. Patung lumba-lumba atau dolphin menjadi identitas cenderamata yang populer dari desa ini.
Desa Peliatan memiliki peran penting dalam peta sejarah seni patung di Bali. Beberapa pematung andal tinggal di desa ini yaitu I Wayan Neka, I Wayan Ayun, I Nyoman Togog, Tjokot, I Wayan Winten dan yang lainnya. Mereka memberi andil pada pengembangan seni patung di desa sekitarnya. Ketika pop art dicetuskan I Nyoman Togog, Desa Peliatan menjadi salah satu sentra industri.
Ida Bagus Njana dan anaknya yaitu Ida Bagus Tilem adalah dua pematung penting Desa Mas. Posisi dua tokoh ini berada di jajaran pemuka seni patung modern Bali. Mereka melakukan terobosan keluar dari pakem seni klasik dan tradisional. Gagasannya penuh kebebasan. Karya patungnya tidak proporsional. Bentuk dan karakter material dielaborasi dengan gagasan yang berkelindan di dalam imajinasinya.
Selain karya yang bersifat personal atau ideal, di desa ini berkembang pula produk karya patung komersial atau suvenir. Masing-masing banjar memiliki kecenderungan motif patung. Motif burung berkembang di Banjar Juga. Banjar Kumbuh memproduksi patung ‘nude’ sementara Banjar Bangkilesan mengembangkan patung abstrak dan di Banjar Tegal Bingin berkembang patung topeng modern.
Dinamika seni patung di desa Mas dan Peliatan memengaruhi desa Petulu dan Nagi. Terjadi alih teknologi dari desa Mas dan Peliatan ke Petulu sementara warga Nagi banyak mengasah keterampilan ke Peliatan yang berkecenderungan gaya realisme yang di antaranya seni patung berbentuk binatang. Desa Nagi akhirnya jadi sentra industri patung binatang seperti gajah, babi, kuda, kura-kura dsb. Motif patung ‘yogi’ yang berasal dari desa Mas berkembang pesat di Petulu. Dipicu boomingnya industri kerajinan, semua pematung beralih mengerjakan patung yogi. Nilai ekonomi bisnis ini memang menggiurkan pada masa itu.
Menjelajahi Imaji
Alam banyak membentuk karya seni yang fenomenal. Perangkat pembentuk itu adalah iklim, sifat objek, gerak, peristiwa, waktu, ketakabadian dan sebagainya. Citra seni yang muncul dari proses alam dalam bahasa Bali disebut ‘tampak sida’ (yang terlihat). Barangkali dapat pula disebut imaji. Dalam seni patung, bentuk-bentuk ini terlihat pada batu dan pohon. Para pematung acap kali memanfaatkan fenomena ini. Begitu pun pelukis, menjadikannya inspirasi. Pematung Tjokot memanfaatkan citra imaji ini dalam berkarya. Karya-karyanya terbentuk dari batang pohon tua yang keropos karena proses alam. Hal yang sama juga dilakukan I Ketut Muja. Mereka menelusuri imaji atau ‘prarupa’ pada batang pohon tersebut dan menatahnya membentuk rupa.
Ada 4 buah karya dari sekian patung yang ada di ruang pameran ini yang memanfaatkan citra alami kayu sebagai inspirasi dalam berkreasi. Tentu dengan kadar usia kayu dan pemrosesan yang masing-masing berbeda. Dengan mengetengahkan tema Tantri, I Ketut Widia memasukkan beragam satwa ke ruang ciptanya. Wahana ekspresinya berupa batang kayu waru yang berongga seperti selongsong. Rengatan-rengatan dan bonggol-bonggol dengan jendulan nampak di beberapa bagian. Warna putih kelabu menyelip di dalam urat-urat kayu sehingga nampak seperti fosil. Bentuk-bentuk satwa ditatahkan di sela-sela bonggolan dan rongga yang bertebaran di sekujur kayu. Bentuk disusun sedemikian rupa didasari tinjauan komposisi.
Ketut Widia membagi ruang ciptanya menjadi tiga tingkatan atau ‘triloka’ yaitu dunia bawah, tengah dan atas. Dunia bawah direpresentasikan dengan citra karang yang merupakan bagian pangkal pohon yang berbentuk tak beraturan dengan banyak bonggol yang berlubang-lubang dan berongga. Bonggol-bonggol dikreasi menjadi bentuk siput dan katak. Sebagian lainnya tetap dibiarkan dalam bentuk alaminya. Bagian tengah triloka ditatahkan citra gajah, rusa dan kera sementara loka atas dicitrakan dalam bentuk burung.
Beragam citraan muncul di kayu kemboja I Nyoman Kurdana, media di mana dia mewujudkan imajinasinya yang digerakkan oleh imaji yang terlihat samar di batang pohon ‘bakalan’. Nampak sulur-sulur menyerupai tanaman yang sepintas juga mirip satwa. Ada juga tumbuhan, serumpun dedaunan, figur binatang dan bentuk-bentuk nirrupa. Visual-visual itu menumpuk dalam konstruksi yang nampak ringkih dan acak. Jejak dahan masih terlihat, keropos, berongga, memunculkan citra abstrak. Visual utama pada patung ini ialah sepasang kera yang sedang berinteraksi, bermain-main seperti dinyatakan pada judul karya; Monyet Bercanda. Citraan-citraan yang tertatah dalam patung ini terkesan purba.
Wayan Jana mereaksi bonggol kayu jati yang ditemukan di area penjualan kayu. Mata batinnya menangkap sesuatu yang terpendam pada kayu tersebut. Dalam perkiraannya, potongan kayu itu berusia tahunan. Kayu itu sudah kering, keropos, berongga, diwarnai retakan-retakan. Urat-uratnya terlihat kasar. Kondisi tersebut diakibatkan pelapukan, sebuah proses alami menandai sebentuk kematian.
Imaji pada bonggol itu mengantarkan imajinasinya pada citra sebentuk burung. Tanpa membuat sketsa, dia langsung menatah, menegaskan imaji dengan berdasar pada pola yang ada di dalam imajinasinya. Pahatnya mengupas kayu, serpih demi serpih. Membentuk, menelusuri alur kayu. Jana memberikan sayap. Alur kayu yang berkelok merefleksikan gerakan, geliatan, menyiratkan denyut kehidupan. Pada sisi sebaliknya ditandakan sebentuk kaki yang terlipat menyelap ke permukaan kayu yang bergalur-galur, berurat kasar, dironai retakan dan rongga. Bentuk kepala, kaki, sayap melebur bersama galur-galur dan retakan kayu. Kondisi kayu seperti fosil. Kesan ini dipengaruhi warna putih kelabu yang mengendap dalam urat kayu.
Burung kokokan atau bangau menjadi simbol kemakmuran bagi penduduk desa adat Petulu Gunung, Ubud. Sudah sekian abad lalu kokokan jadi ikon desa ini. Desa Petulu Gunung tak jauh dari desa Singapadu, kampung Wayan Jana. Kokokan sudah tersimpan lama di ingatannya. Menjadi otomatis ketika melihat tanda menyerupai burung, rupa yang muncul di permukaan memorinya adalah kokokan.
Keberadaan kokokan oleh warga desa diyakini sebagai utusan Sang Pencipta yang senantiasa menjaga desa dari gangguan penyakit dan hama. Menandai hubungan harmonis yang selalu terjaga antara warga dan kokokan, setiap perayaan Kuningan digelar ritual Ratu Kokokan.
Sosok burung dengan tubuh kayu ringkih penuh galur-galur, urat-urat kasar, retakan, lekukan, cekungan, rongga-rongga dan lubang bagaikan luka menganga, telah mengepakkan sayapnya.
Bongkahan bonggol jati berdimensi 95 x 145 x 55cm diletakkan pada posisi horisontal. Satu ujungnya bercabang dua. Sebatang cabang menyeruak ke atas sementara cabang lainnya mendatar di bawah menjadi bagian dasar bakalan kayu atau kaki patung. Bagian ujung ini lebih lebar dan tinggi. Sepertinya itu bagian pangkal tempat beradanya akar. Ujung lainnya di sisi kanan lebih rendah. Jika menarik ‘garis pandang’ dari sudut atas pada sisi kiri ke ujung kanan akan menghasilkan garis pandang yang melandai, menurun. Patung ini karya I Ketut Rediana.
Sosok perempuan dalam sikap berdiri ditatahkan pada permukaan bidang kayu yang lebar di bagian kiri. Posisinya agak ke atas. Perempuan itu sedang menghela dua ekor kuda yang menarik kereta kencana berkepala naga. Arah laju kereta menuju ujung yang merendah. Pembatas sisi kereta berbentuk sayap. Tatahan-tatahan alur bergelombang melaras dengan alur urat kayu, berkelok ritmis, nampak membungkus kereta dan kuda penariknya. Geraknya meliuk, menggeliat, berkejaran dengan urat dan galur-galur kayu.
Garis pandang yang menurun memberi efek tekanan. Alur-alur itu bagaikan gelombang air bah menurun deras dari ketinggian, mendorong kereta masuk ke dalam laut. Entah dari mana datangnya. Dari dunia tengahkah atau dunia atas, tempat dewa-dewi. Sepenggal kisah menyebutnya sebagai ‘dewi srengenge’ (matahari). Legenda laut selatan itu menuju pulang.
Seonggok kayu kemungkinan besar akan lapuk, keropos, memulai proses penghancuran diri, melebur ke alam hingga tinggal ‘sari’nya atau terbakar hangus disebabkan laku manusia. Kayu bangkit dari ‘kematian’nya ketika manusia penuh imajinasi menemukannya. [T]
Bedulu, 8-7-2021