Sabtu 3 Juli 2021, tidak ada perayaan Hari Nasional tertentu. Untuk wilayah Jawa dan Bali, hari itu adalah hari pertama penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang akan dilaksanakan sampai tanggal 20 Juli mendatang. Seharusnya itu adalah hari yang khusus bukan? Setidaknya itulah yang saya pikirkan.
Hari itu saya ada janji dengan 2 orang pasien di Apotik MM, satu pasien kontrol dan satu pasien baru yang dijadwalkan pada jam 3 dan 4 sore. Sebelum itu, ada sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Denpasar yang perlu saya ikuti. Sebelum itu lagi, saya menghadiri sebuah diskusi online bersama 4 orang calon dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar (UNIZAR) yang sedang menjalani stase di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali tempat saya bekerja.
Kemarinnya saya sempat khawatir, apakah PPKM ini akan menghambat saya untuk pergi ke apotik? Rumah saya ada di sebuah desa di Kabupaten Karangasem, Bali, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Sanur, lokasi Apotik MM. Ada 4 wilayah kabupaten yang saya lewati bersama istri untuk mencapai Sanur, sebuah desa wisata yang merupakan kampung halaman bagi istri saya. Keempat kabupaten tersebut adalah, Karangasem, Klungkung, Gianyar, dan Denpasar itu sendiri. Jalur yang kami lewati termasuk jalur yang sehari-hari cukup padat, karena merupakan jalur provinsi yang dilewati oleh berbagai kendaraan. Truk, bus, minibus, sepeda motor, kendaraan umum maupun pribadi, juga Ambulance. Pemandangan touring motor besar atau beberapa penghobi sepeda di masa pandemi bukan hal yang aneh juga.
Hari ini jalanan tampak agak sepi, sesuai ekspektasi. Ini hari Sabtu, malam minggu, yang identik dengan harinya mencari hiburan di luar rumah, atau pulang kampung, atau jalan-jalan ke kota. Biasanya jalanan lebih padat daripada hari-hari biasanya dan Indomaret juga biasanya ramai pengunjung. Wates, Yehmalet sebuah ikon baru wisatawan lokal, biasanya juga lumayan ramai oleh kunjungan orang yang ingin menikmati kuliner di tepi laut. Tentu saja di area sekitar Pura Goa Lawah, dengan suasana magis dan kuliner makanan laut yang sudah terkenal, juga biasanya ramai. Hari ini, nampak seperti bukan hari sabtu, jika dibandingkan dengan sabtu-sabtu bulan lalu.
Ya, jalan lebih sepi kendaraan, perjalanan kami jadi lebih lancar. Saya ingat suasana di bulan April 2020, ketika pandemi baru berusia satu bulan, lengang. Saya begitu takjub terhadap suasana sepi jalanan, seolah jalanan jadi milik berdua, bareng istri. Di satu sisi ada rasa santai dan menyenangkan ketika tidak harus berkonsentrasi penuh pada kendaraan di sekitar. (Adalah cukup menegangkan ketika konsentrasi berkendara harus dibagi dengan mendengarkan celotehan istri, bukan?) Di sisi lain, saat itu ada rasa gelisah yang tak tergambarkan, bahwa suasana lengang itu adalah tidak normal. Hari ini tidak selengang itu.
Memang Bapak Presiden pernah mencanangkan suatu New Normal, dan Bali khususnya sempat direncanakan akan dibuka kembali untuk pariwisata, pada tanggal 1 Juli 2021, dua hari yang lalu. Ya, Bali sudah mulai membangkitkan diri di masa pandemi, termasuk dalam melaksanakan upacara keagamaan. Beberapa hari kemarin, Pura Goa Lawah, sebuah pura besar di wilayah Kabupaten Klungkung, nampak diramaikan umat Hindu. Sebagian besar, atau bahkan mungkin semua, melaksanakan suatu upacara persembahyangan yang merupakan rangkaian upacara Ngaben, yaitu Nyegara Gunung. Ngaben massal banyak dijalani di Bali, karena sangat sesuai prinsip gotong-royong. Di desa saya, ada sebuah klan yang sudah bersiap Ngaben massal, dengan peserta sekitar 30 kepala keluarga.
Pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali, menurut saya cukup fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan zaman, contohnya ya Ngaben massal ini. Nyegara Gunung adalah salah satu proses yang lazimnya dijalani di 2 Pura besar di Bali, yaitu Pura Goa Lawah yang mewakili laut (segara) dan Pura Besakih yang mewakili gunung. Pada beberapa hari kemarin, Pura Goa Lawah tampak cukup ramai pengunjung, namun Hari ini, itu tidak terjadi. Saya berpikir mungkin karena sudah dilakukan penyesuaian terkait hari khusus ini. Check, saya pikir ini bukti bahwa kami umat Hindu di Bali mampu beradaptasi.
Ternyata jalanan yang lebih sepi juga terlihat saat memasuki jalur bypass menuju Kota Denpasar, baik di wilayah Klungkung, Gianyar maupun Kota Denpasar sendiri. Sangat-sangat lancar, damai, namun pikiran saya agak gelisah, sambil memandang kiri kanan, melirik warung, toko, minimarket, apakah mereka buka seperti biasa. Saya merasa agak lapar, dan juga ingat titipan oleh-oleh untuk anak-anak. Melirik titik yang biasanya dihuni pedagang kakilima, lalu mata tertumbuk pada beberapa orang yang mengais rezeki di lampu merah. Ya, di lampu merah di daerah Padanggalak, KFC Sanur, dan lampu merah setelahnya ada seorang anak menjajakan tissue, seorang bapak menjajakan gantungan kunci, dan ada pula seorang anak yang menadahkan tangan.
Saya berpikir, apakah saya perlu bertanya kepada mereka, apakah adik/bapak sudah divaksinasi? Apakah bapak/adik berbekal hand sanitizer? Tentu saja mereka sudah memakai masker, dan itu bagus. Apakah saya seharusnya menelisik, apakah mereka sudah menerapkan protokol kesehatan dengan ketat? Ataukah saya seharusnya berpikir juga, bahwa setiap orang pun harus introspeksi tentang protokol kesehatan ketat. Termasuk saya, istri saya, anda, siapapun. Dari semua kalangan, tanpa kecuali, tanpa alasan. Tanpa harus memikirkan soal sanksi dan hukuman. Atau konspirasi.
Sebelum ke Apotik, saya sempatkan singgah di sebuah toko buku. Istri saya berjanji membeli novel misteri karya penulis Indonesia untuk anak saya yang berusia 12 tahun. Toko buku ini punya kenangan tersendiri, ketika mengingat masa kuliah dulu, 2001 sampai 2007. Sebuah toko buku alternatif, yang lokasinya bukan di Mall. Toko ini sudah menyediakan tempat untuk cuci tangan di dekat pintu masuknya, pengunjungnya pun tidak banyak, walau tidak ada tulisan di depan, bahwa kunjungan ke toko ini dibatasi. Kami berkunjung hanya sekitar 20 menit, cukup untuk memilih 6 buah buku.
Semoga 2 minggu ini cukup. [T]