Awal Juli sangat dinantikan sebagian besar masyarakat Bali, karena pada bulan ini dijanjikan bahwa pintu pariwisata akan dibuka kembali. Kita sudah berharap dan mempunyai mimpi keadaan Bali akan jauh lebih aman dan nyaman dari pandemi; kita bisa bebas bekerja dan memikirkan berbagai peluang yang ada dari dibukanya kembali pariwisata Bali.
Banyak di antara kita berharap bisa kembali hidup persis sama seperti 1,5 tahun lalu, saat sebelum pandemi terjadi; anak-anak bersekolah dengan baik, tamu atau para wisatawan datang, dan semua yang kita sajikan akan terbeli, ekonomi akan pulih dan meningkat lagi. Dan, tentu saja pikiran was-was tentang hal-hal buruk akan pergi.
Tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaan banyak orang, keadaan justru memburuk. Bisa dikatakan, saat ini adalah gelombang kedua Covid-19 di Indonesia. Bahkan per 1 Juli 2021 adalah rekor angka kejadian tertinggi di Indonesia dan juga rekor tertinggi kasus aktif tertinggi di hampir semua provinsi di Pulau Jawa; DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta.
Bali yang berdampingan dengan Pulau Jawa tentu saja potensial untuk ikut mengalami lonjakan, dan benar itu sudah terjadi walaupun bukanlah kejadian tertinggi, dalam artian kita pernah lebih buruk dari apa yang dialami sekarang ini.
Apakah kita kecewa? Tentu saja, karena harapan yang ditunggu oleh semua masyarakat Bali di awal Juli kita bisa membuka kembali pariwisata. Tetapi kenyataannya tidak. Inilah sangat penting me-manage antara harapan dan kenyataan. Bagaimana mengadaptasi harapan yang sesuai kenyataan, dan menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, yang ditakutkan adalah timbulnya masalah-masalah kesehatan jiwa, misalnya depresi, angka keinginan bunuh diri yang meningkat, gangguan cemas dan psikosomatis yang juga mulai meninggi.
Penting sekali untuk mencegah hal-hal tersebut. Langkah awal untuk menyelaraskan harapan dan kenyataan adalah sikap menerima. Menerima bahwa kejadian ini musti terjadi. Jika tidak menerima kejadian ini, menyangkal kejadian ini dan tetap menerima wisatawan domestik dari Pulau Jawa, walaupun dengan pemeriksaan yang ternyata entah karena kurang akuratnya pemeriksaan, atau karena petugas yang ‘tergiur’ memberikan keleluasan tanpa pemeriksaan yang cukup, apa pun itu, tentu adalah “bunuh diri” bagi pariwisata Bali.
Menerima wisatawan yang dari daerah yang positivity rate-nya diatas 35 hingga 40% tentu adalah sebuah “bunuh diri” bagi Bali. Tentu saja, mau tidak mau, kita harus menerimanya. Bagi penulis pribadi, kejadian ini juga merupakan hal yang sulit. Banyak orang berpikir, tenaga kesehatan tidak terkait dengan pariwisata. Namun, teman-teman bisa mengecek, berapa banyak klinik-klinik swasta yang bergantung pada sektor pariwisata, yang mungkin beberapa bulan mendatang akan bangkrut permanen bila ternyata pariwisata tidak dibuka kembali.
Bisa dibilang, keputusan ini bagi masyarakat Bali bukan lagi pahit tetapi puaahittt. Namun, menyalahkan hal ini tidak juga akan membuat keadaan lebih baik. Untuk sementara, mungkin akan membuat kita lega; menyalahkan pembuat kebijakan, menyalahkan pemutus kewenangan, menyalahkan siapa pun yang bisa kita salahkan mungkin akan membuat kelegaan dalam waktu singkat, tetapi tidak untuk selamanya.
Alangkah baiknya kita segera menerima, dan lagi-lagi berfokus pada hal-hal yang ada dalam kendali kita. Keputusan pemerintah terkait pandemi berada di luar kendali kita; bagaimana orang lain menanggapi pandemi itu di luar kendali kita; kapan pintu pariwisata Bali benar-benar dibuka kembali di luar kendali kita; yang ada dalam kendali kita adalah bagaimana respon kita menghadapi pandemi ini.
Betul, kita kini berada dalam keadaan yang sulit. Tetapi, bisa teman-teman bayangkan, keadaan sulit ini juga dialami oleh kawan-kawan penyandang disabilitas, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), kaum terpinggirkan seperti LGBTQ, penyandang disabilitas fisik dan sebagainya yang bahkan ketika sebelum pandemi terjadi, sudah setiap hari mengalami kondisi yang kita alami sekarang.
Sejauh ini mereka bisa bertahan, dan tentu saja kita musti optimis, bahwa kita tidak saja bertahan tetapi juga berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Ibarat minum kopi, rasa pahit kita rasakan dan terima, sekaligus juga manfaatnya kita akan terima nantinya.
Bila teman-teman mempunyai keluarga, sahabat dan kerabat yang mengalami perubahan perilaku, perubahan pola tidur, perubahan perasaan dan aktivitas karena keinginan dan motivasi yang down atau menurun, atau bahkan ada keinginan bunuh diri, silakan menghubungi L.I.S.A Helpline pada nomor: 0811385 5472. L.I.S.A singkatan dari Love Inside Suicide Awarness, hotline kesehatan mental 24 Jam yang akan dihubungkan dengan nomor layanan darurat Pemerintah Kota Denpasar 112 untuk memberikan pertolongan pertama bagi orang yang memiliki pikiran untuk bunuh diri. Ada sukarelawan yang akan menerima dan mendengarkan cerita serta keluhan yang teman-teman rasakan dan alami. Layanan ini tak berbayar alias gratis. [T]
___