Jika saya menderita sakit panas (waktu kecil), orang tua saya tidak pernah terlalu cemas. Tidak seperti orang tua zaman sekarang. Sungguh. Kedua ortu saya tak pernah panik mencarikan obat penurun panas apalagi mengantar saya ke medis. Mereka cukup mengajak saya masambetan (pengobatan tradisional) ke balian. Sorenya masambetan, tengah malam atau pagi harinya, panas langsung ambyar (turun). Saya pun dapat beraktivitas seperti semula.
Bukan sulap, bukan sihir. Anak-anak kampung di Nusa Penida, dekade 90-an ke bawah pasti merasakan jasa tukang sambet (balian) tersebut. Pasti pernah menggunakan jasa tukang sambet untuk menurunkan sakit panasnya—dan merasakan betapa dahsyatnya efek masambetan dalam menurunkan sakit panas.
Padahal, metode pengobatannya sangat sederhana. Cukup menggunakan sarana suna (bawang putih) dan jangu, yang dibawa oleh keluarga pasien. Kemudian, suna jangu dikunyah oleh sang balian sampai halus. Hasil kunyahan ini disimbuhkan (disemburkan) di atas kepala si pasien. Persisnya di atas ubun-ubun dan sekitarnya.
Selanjutnya, sang balian memegang kepala sang pasien sedikit kuat sambil memejamkan mata seperti berkonsentrasi penuh. Sementara, bibirnya berkomat-kamit mengucapkan mantra setengah berbisik.
Akhir mantra ditandai dengan gerakan memijat-mijat (oleh kedua tangan sang balian) hampir ke seluruh bagian kepala si pasien. Gerakan memijatnya bervariasi mulai dari tekanan halus/ ringan, sedang hingga berpower (cukup kuat). Prosesi memijat ini berlangsung dalam hitungan menit.
Jadi, tidak ada ritual memasukan sesuatu (obat) ke dalam tubuh si pasien. Misalnya meminum sejenis loloh atau ramuan yang lain. Sama sekali tidak ada. Dari pengalaman dan pengamatan saya, murni menggunakan teknik pengobatan luar yaitu kombinasi simbuh, mantra dan pijatan.
Namun, efeknya tidak diragukan lagi. Dalam hitungan beberapa jam, sakit panas langsung turun. “Ya, paling karena faktor sugestilah.” Awalnya, saya juga berpikir demikian. Lama-kelamaan, saya malah berpikir lain. Saya meyakini bahwa ada korelasi ilmiah (rasionalitas) antara metode mesambetan dalam menyembuhkan sakit panas.
Sayangnya, sampai sekarang saya belum menemukan korelasi ilmiah tersebut. Saya malah berpikir bahwa kasus ini cocoknya dikaji (PR) oleh kaum peneliti terutama dari kalangan pakar usadha, ahli saint, dan agama. Mereka pasti dapat menemukan titik temu antara kandungan suna jangu, energi mantra dan efek pemijatan di kepala dalam menurunkan sakit panas.
Jika dilihat dari tekniknya, tradisi masambetan ini sangat aman karena tidak ada ritual atau prosesi yang aneh-aneh kepada pasien. Tidak ada prosesi memasukan sesuatu ke dalam tubuh si pasien. Tidak ada rangkaian proses yang mengancam atau membahayakan si pasien. Pun praktik dalam mengeksekusi pasien bersifat terbuka.
Biasanya, sang balian mengobati pasiennya di amben atau halaman rumah secara terbuka. Semua keluarga pasien yang hadir dapat menyaksikan secara penuh. Karena itulah, prosesi mesambetan biasanya pada sore hingga malam hari. Namun, ada juga beberapa keluarga pasien mendatangi sang balian pada pagi hari.
Di tempat saya, pekerjaan tukang sambet murni “mapitulung”. Sang balian sama sekali tidak mendapatkan penghasilan dari jasanya. Bayangkan, semua keluarga pasien yang datang berobat hanya membawa sarana simbuh saja. Tidak ada yang membawa canang sari apalagi sesari.
Meskipun murni pelayan sosial, keberadaannya cukup banyak. Hampir di setiap kompleks perumahan atau perkampungan di NP, ada saja orang yang bisa “nyambetin”. Mereka biasanya dari kalangan yang tahu sastra (baca-tulis), umumnya jero mangku. Namun, ada pula dari kalangan masyarakat biasa, bahkan dari kalangan orang yang sama sekali tidak mengenal sastra (di kampung saya disebut balian petengan).
Pengkaderannya juga tergolong cukup stabil. Artinya, tidak pernah sampai putus regenerasi. Ada saja generasi-generasi tumbuh sebagai penerus balian sambet ini. Saya tidak tahu persis bagaimana generasi balian sambet ini bertumbuh. Apakah ada kaitannya dengan faktor keturunan, perguruan, pawisik, otodidak atau kombinasi lebih dari satu faktor.
Yang jelas eksistensinya kuat di tengah masyarakat. Penggunaan jasanya oleh masyarakat sangat tinggi. Puncaknya sekitar akhir tahun 90-an. Padahal, praktik bidan, mantri/ perawat dan dokter sudah ada di NP—tetapi eksistensinya masih terbatas.
Tradisi Masambetan Kian Meredup
Memasuki tahun 2000-an, tradisi masambetan mulai meredup. Penggunaan jasa balian sambetan ini, semakin berkurang. Ego modernitas masyarakat NP mulai menggeliat. Metode tradisional mesambetan kian ditinggalkan pendukungnya. Mungkin dianggap kuno, kolot, premitif, syirik, klenik, kurang higienis, kurang praktis dan sejenisnya.
Karena itu, ketertarikan masyarakat terhadap tradisi mesambetan kian memudar. Ketika sakit panas, masyarakat lebih memilih pergi ke puskesmas, praktik mantri atau praktik dokter. Atau membeli obat penurun panas di warung-warung obat terdekat. Dari sinilah, awal mulanya praktik mesambetan semakin tak populer.
Redupnya pamor tradisi masambetan bertambah parah ketika puskesmas-puskesmas di NP terus mengalami revitalisasi dari pemerintah. Pemerintah terus mendorong pemodernan fasilitas medis, SDM, pelayanan, termasuk sistem dan lain sebagainya.
Revitalisasi dan pemodernan ini kian menggeser mindset masyarakat ke pengobatan modern. Segala jenis penyakit termasuk sakit panas di bawa ke medis. Masyarakat seolah-olah meragukan metode mesambetan. Sebaliknya, metode pengobatan medis semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Dominasi kepercayaan masyarakat ini terus mengalami progres positif seiring dengan stimulus revitalisasi puskesmas di NP. Belakangan, kian dipertajam lagi dengan keberadaan Rumah Sakit Pratama Gema Santi di NP. Rumah sakit yang berdiri pada penghujung tahun 2017 ini mendapat sambutan baik dari masyarakat NP.
Sebagai kecamatan kepulauan, keberadaan rumah sakit sudah lama menjadi impian masyarakat NP. Karena itu, eksistensi rumah sakit Pratama Gema Santi dianggap cukup representatif. Apalagi, kini rumah sakit Pratama sudah naik kasta menjadi RSUD Gema Santi Nusa Penida. Ke depan, tentu pencapaian ini akan menstimulus pemda Klungkung, Dinas Kesehatan dan pihak rumah sakit untuk menggapai tipe yang diidealkan.
Keberadaan puskesmas dan rumah sakit yang representatif tersebut setidaknya lebih menguatkan eksistensi pengobatan modern (medis) dan sekaligus kian memodernkan “pola pikir berobat” masyarakat NP.
Karena itu, tradisi mesambetan nyaris hilang dan dilupakan oleh pendukungnya. Walaupun beberapa generasi tua hingga sekarang masih menggunakan jasa masambetan, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Ilmu pengobatan warisan leluhur ini tinggal menunggu waktu lenyap dari permukaan.
Tentu tidak lama. Sebab hingga kini, saya belum melihat ada upaya penyelamatan terhadap warisan leluhur ini. Penyelamatan bukan berarti ajeg mempertahankan kemurnian metodenya. Justru mesti ada tindakan pemodernan terhadap metode dan teknik mesambetan tersebut. Tekniknya mesti dikembangkan dan diadaptasikan sehingga dapat diterima oleh masyarakat modern sekarang.
Mungkin tukang sambet, masyarakat dan terutama desa adat di NP sudah memiliki pemikiran ke arah tersebut. Ah, Anda mungkin menganggap pemikiran ini lucu. Tak apalah. Akan tetapi, apa salahnya jika tradisi mesambetan tetap eksis berdampingan dengan metode pengobatan medis. Tentu akan menjadi variatif, bukan?
Masyarakat ditawarkan lebih dari satu opsi atau alternatif pengobatan. Namun, otoritas pilihan tetap ada di tangan masyarakat. Bukankah ini lebih baik? Dibandingkan membiarkan warisan mesambetan ini punah oleh pola pikir masyarakat modern NP yang sesungguhnya liberal. [T]
___