2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sembahyang di Pura, “Makemit” di Penginapan | Pengamatan atas Fenomena Baru “Matirta Yatra” di Nusa Penida

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
May 31, 2021
inOpini
Sembahyang di Pura, “Makemit” di Penginapan | Pengamatan atas Fenomena Baru “Matirta Yatra” di Nusa Penida

Areal Pura Dalem Ped, titik makemit I paling favorit. Foto: sailingstonetravel.com

Sebelum bisnis penginapan merebak di Nusa Penida (NP), para patirta yatra (pamedek) yang datang ke NP melakukan aktivitas sembahyang di pura dan sekaligus “menghabiskan malam” (makemit I) di salah satu titik pura yang ditetapkan. Namun, belakangan ada tren pergeseran “menghabiskan malam” (makemit II) oleh pamedek dari pura ke penginapan. Sembahyangnya di pura, tetapi makemit-nya (baca: menghabiskan malam) di penginapan.

Fenomena tren “menghabiskan malam” alias makemit II (saya sebut makna sampingan-lah) ini tampak signifikan setidaknya dari 3 tahun yang lalu. Kemudian, tampak lebih menggejala justru ketika pariwisata NP tersendat oleh pandemi Covid-19. Para pengusaha yang nihil dari kunjungan tamu mancanegara, berlomba-lomba menjaring pamedek untuk makemit II di penginapan miliknya.

Strategi penjaringan pamedek tersebut tampaknya tidak luput dari upaya pebisnis penginapan untuk tetap bertahan. Bertahan di tengah situasi yang sangat sulit seperti sekarang. Karena itu, mereka pun bersaing menawarkan harga penginapan yang sesuai dengan kondisi ekonomi pamedek plus berbau corona. Bayangkan, cukup Rp 200-an ribu per malam, pamedek dapat menikmati penginapan bagus bahkan sudah termasuk fasilitas kolam. Wah, Anda pasti tertarik, bukan?

“Ya, daripada kosong melompong. Lebih baik berisi, walaupun harga tidak rasional,” mungkin teori keadaan inilah yang menyebabkan para pebisnis penginapan berlomba-lomba banting harga demi mendapatkan pemasukan. Setidaknya, mungkin untuk menutupi biaya operasional penginapan.

Kondisi ini jelas menguntungkan para pamedek yang menginap di NP. Tidak hanya membuat nyaman, praktis, tetapi sekaligus solusi bagi pamedek agar terhindar dari kerumunan jika makemit di satu titik pura. Jadi, penginapan memisahkan potensi kerumunan antara rombongan pamedek satu dengan yang lainnya di satu titik pura.

Karena itu, tren makemit II kian mendulang dukungan sekarang. Para pamedek di NP kian dimanjakan dengan tawaran paket tirta yatra oleh travel, komplit dengan transportasi, konsumsi dan akomodasi penginapan—tentu dengan harga yang sangat terjangkau.

Yang tidak memilih paketan, bisa memilih pengusaha transportasi secara freeland baik individual maupun kelompok lewat jejaring sosial. Bahkan, ada juga yang memilih  datang langsung ke NP. Karena di pelabuhan NP, mereka pasti akan disambut oleh para pengusaha transportasi—yang siap mengantarkan ke beberapa titik pura dan sekaligus siap mencarikan penginapan.

Situasi ini tentu berbeda dengan zaman sebelumnya yakni tahun 2015 ke bawah. Zaman ketika pariwisata belum menggeliat di NP. Tidak ada bisnis penginapan. Para pamedek yang datang ke NP harus makemit di salah satu titik pura.

Mereka memanfaatkan areal pura (wantilan, bale gong, bale pawaregan, dan lain-lainnya) sebagai tempat menghabiskan malam seadanya—dengan cara duduk-duduk, rebahan dan tidur-tiduran beralaskan tikar atau karpet. Sesekali diganggu nyamuk dan desiran angin malam—yang tentu saja tak senyaman di penginapan.

Prediksi Makemit II

Ayo, mau pilih mana? Makemit I atau makemit II? Hampir pasti opsi kedua-lah. Jangankan kalangan milenial, para orang tua pun akan lebih cenderung memilih makemit di penginapan. Inilah mungkin yang disebut dinamika realita. Fasilitas penginapan ada. Ekonomi pamedek juga mendukung. Ya, muncullah tren makemit II.

Saya berkeyakinan bahwa tren makemit II ini akan semakin eksis karena menguntungkan pamedek dan terutama para pebisnis di NP. Pamedek mendapatkan kenyamanan dan sekaligus menciptakan efek “pelebaran perburuan uang” di NP. 

Selain pelancong mancanegara dan domestik, pamedek juga ikut meramaikan pergerakan perekonomian masyarakat NP. Jika sebelumnya pamedek hanya menggairahkan sektor transportasi laut, tranportasi darat, dan kuliner—maka sekarang sektor bisnis penginapan juga ikut merasakan sirkulasi keuangan dari pamedek.

Karena menguntungkan banyak pihak, tren makemit II ini kemungkinan akan semakin kukuh di masa depan. Lalu, bagaimana nasib tradisi makemit I oleh pamedek yang datang ke NP? Akankah tradisi makemit I menjadi pudar?

Semuanya sangat tergantung dari para pamedek itu sendiri. Kalau semua pamedek memilih tren makemit II, maka tamatlah riwayat tradisi makemit I. Para pamedek yang “memuja” kenyamanan, instanisasi dan kepraktisan akan klop memilih makemit II.

Jika lebih terlena, maka bisa jadi ke depan para pamedek datang ke NP dengan tangan kosong. Mungkin tidak perlu repot-repot membawa sesaji (banten aturan/ persembahan), pejati dan canang sari karena sudah disediakan oleh travel atau pamedek bisa membeli di dekat lokasi pura. Ke depan lagi, para pamedek mungkin saja tidak perlu membawa setelan pakaian sembahyang. Karena bisa saja, suatu saat nanti ada jasa yang menyewakan paketan pakaian sembahyang di NP. Jadi, para pamedek cukup membawa uang saja. Praktis, bukan?

Kemudian, jangan tanya lagi tradisi makemit I. Kemungkinan tak populer dan dianggap tidak penting lagi. Yang penting sudah melakukan persembahyangan dan berkesempatan berfoto ria untuk diunggah di medsos sebagai status pembuktian diri.

Ketika makemit I semakin terabaikan, maka totalitas spiritual pamedek menjadi berbeda (terasa sedikit hambar). Pura akan dianggap sebagai semacam persinggahan. Persinggahan untuk menggelar ritual persembahyangan biasa. Kurang ada ikatan batin, rasa memiliki, dan penghormatan terhadap aspek historis atau mitologi dari pura yang dikunjungi.

Kurangnya ikatan batin, rasa memiliki dan penghormatan aspek historis dari pamedek ini setidaknya berpengaruh terhadap kedalaman rasa bakti, rasa hormat dan kekhusyukan sang pamedek. Lewat makemit I, rasa-rasa itu mungkin bisa diejawantahkan. Karena lewat aktivitas makemit I, kedekatan fisik itu nyata. Di tambah waktu kontemplasi (merenung) juga cukup panjang.

Jika dioptimalkan, bisa jadi waktu makemit I ini akan menjadi semacam media berkomunikasi batin dengan lingkungan sekitar pura dan Ida yang melinggih di pura. Pada beberapa orang, mungkin mereka mendapatkan pengalaman spiritual yang berharga ini, tetapi sulit dijelaskan dengan ilmiah.

Karena itu, saya berkeyakinan bahwa kelompok pendukung makemit I masih ada. Hanya saja jumlahnya tak sebanyak pendukung makemit II. Tidak masalah. Sedikit atau banyak, pilih opsi satu atau kedua—semua tergantung mindset dan keyakinan kita. Kita tidak bermaksud mencari menang atau kalah. Yang terpenting, kedua realitas tersebut mesti dihargai.

Jadi, memang sangat berisiko ketika daerah tujuan spiritual terdampak pariwisata. Sektor pariwisata ikut-ikutan memengaruhi aktivitas spiritual baik secara langsung maupun tak langsung. Saya tidak tahu apakah situasi ini yang disebut pariwisata spiritual. Berwisata sambil berspiritual atau berspiritual sambil berwisata? Semuanya tergantung kita. Saya pikir belum ada regulasi yang mengatur persoalan ini.

Soal bobot wisata dan spiritual sangat tergantung selera personal atau kelompok tertentu. Apakah lebih ditonjolkan aspek wisatanya? Aspek spiritualnya? Atau bisa jadi berimbang. Tidak masalah.

Begitu juga dengan pilihan makemit I atau makemit II. Semua tergantung personal atau kelompok tertentu. Namun, yang jelas pahala (hasil) pengalaman spiritualnya akan dirasakan secara individual dan subjektif. [T]

Tags: Nusa PenidaPariwisataSpiritualtirtayatra
Previous Post

Wayan Sumahardika | PR Untuk Sastra Bali Modern yang Berada di Persimpangan

Next Post

Kopi Kultura, Hortikultur, dan Sebuah Taman di Halaman Belakang

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Kopi Kultura, Hortikultur, dan Sebuah Taman di Halaman Belakang

Kopi Kultura, Hortikultur, dan Sebuah Taman di Halaman Belakang

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co