Saat kecil, tanpa sengaja ia menelan permen karet yang tengah dikunyahnya. Ia panik dan berpikir kematian akan segera menghampirinya. Namun ia menyembunyikan semuanya dari siapapun.
Dengan kepanikan yang luar biasa, ia meminum banyak air sembari berharap permen karet itu segera hanyut dari kerongkongannya, jatuh ke dalam perut dan keluar saat buang hajat. Ia merasa permen karet itu terus saja menempel dan tak mau pergi dari kerongkongannya. Kadang dimasukkannya jarinya ke dalam kerongkongan untuk menjangkau permen itu. Siapa tahu, jarinya bisa menggapainya, menariknya keluar dan ia tak jadi mati oleh permen karet itu. Semua usahanya sia-sia, dan pikirannya selalu saja mengajaknya untuk bertualang ke alam kematian.
Berhari-hari, perasaan cemas akibat permen karet yang masih menempel di kerongkongan terus mengganggunya. Dan selama itu juga, ia tak mau mengadukannya dengan siapapun hanya karena alasan ia takut orang lain tahu. Ia pun mencari sebuah pelarian agar setidaknya bisa melupakan pikiran buruk itu sejenak.
Ia mulai menggambar dan terus saja menggambar, dan kemudian oleh gurunya disuruh mewakili sekolah untuk ikut lomba menggambar. Memang tak dapat juara, tapi hal itu memberinya sedikit obat dan ketenangan.
Juga mulai belajar menari. Karena memiliki teman yang bandel, dirinya pun sering diolok-olok saat belajar menari dengan serius. Dan pada akhirnya ia pun merambah ke dunia tulis menulis, dan pilihan jatuh pada sastra Bali modern meskipun ia berkuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
Saya baru tahu jika penulis sastra Bali modern asal Tabanan, I Gede Putra Ariawan memiliki trauma masa kecil hanya gara-gara menelan permen karet. Bagi saya untuk saat ini, itu sesuatu yang cukup lucu. Tapi mungkin bagi anak-anak pada masanya, itu adalah hal menakutkan. Apalagi ada olok-olok jika menelan permen karet akan membuat kita mati. Saya pun pernah mendengar olok-olok itu dan syukurnya tak pernah menelan permen karet sewaktu kecil.
Namun, dari kejadian itu kita bisa berpikir, seandainya seorang Putra Ariawan tidak pernah menelan permen karet, apakah ia akan menggambar, belajar menari dan sekarang menulis sastra Bali modern? Apalagi dalam pengakuannya, beberapa karya yang terkumpul dalam buku Ngurug Pasih (2014) mengangkat hal-hal yang ia alami selama masa trauma itu. Dan baginya itu adalah obat.
Karya ini cukup moncer, karena begitu terbit sebagai buku perdananya, langsung diganjar Hadiah Sastera Rancage, sebuah penghargaan yang bergengsi bagi sastra daerah termasuk sastra Bali modern yang diberikan Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung asuhan Ajip Rosidi, pada tahun 2015. Ia yang awalnya tak pernah naik pesawat terbang, akhirnya bisa merasakan berada pada ketinggian ribuan kaki. Tak lama setelah menerima hadiah, pria kelahiran 16 Juni 1988 ini meminang gadis pujaannya, dimana cincin kawinnya dibeli dari uang hadiah tersebut. Putra pun berseloroh, bahwa dengan berkarya dalam dunia sastra Bali modern, ia bisa memberi makna pada kehidupannya.
Trauma kedua kemudian datang. Putra kehilangan anak pertamanya dan ia melarikan diri lebih jauh ke dalam cerpen-cerpen yang penuh kesedihan, juga doa-doa lewat tulisan. Bahkan ia membiarkan keliaran menguasai dirinya saat menulis. Dari trauma kedua, lahirlah Rare Kumara (2016). Rare Kumara mengobati kesedihan dan kehilangannya.
Selain menjadi buku, ada hal lain yang lebih besar yang lahir dari trauma ini. Dalam kumpulan cerpen ini, terselip satu cerita berjudul Kepuh Kembar yang berkisah tentang seorang istri yang selalu ditinggal suaminya ke kapal pesiar hanya gara-gara tak memiliki anak laki-laki. Sang istri kemudian berdoa pada sebuah tempat keramat dengan dua pohon kepuh kembar dan menyampaikan kaul yang pada ending cerita sangat mengejutkan pembaca walaupun kaul itu terkabul dengan kelahiran anak kembar laki-laki.
Meskipun secara keseluruhan cerita tak sama persis, namun ada satu kesamaan yang Putra alami dalam kehidupannya, dimana beberapa tahun setelah lahirnya buku ini, Putra Ariawan memiliki anak kembar, kembar buncing. Entah kebetulan, atau ada ikatan emosional dengan tulisan yang dibuatnya, namun Putra mengatakan bahwa ia juga berdoa lewat tulisan.
Itu hanya sebagian kecil dari perjalanan Putra Ariawan termasuk menulis karya sastra Bali modern yang ia kemukakan ke publik. Di dalam dirinya, mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari itu yang entah akan ia utarakan atau tetap ia pendam dan nikmati sendiri. [T]
Catatan: Ini adalah rangkuman singkat dari obrolan dalam acara Usaha Membunuh Malam Minggu #1 yang digelar Suara Saking Bali pada Sabtu, 22 Mei 2021 malam bersama penulis I Gede Putra Ariawan.