Tiga hari berbaring di tempat tidur membuat kepalaku pusing. Aku masih ingat malam itu cuaca dingin menusuk jari-jemariku hingga bergetar. Aku merasa tidurku akan nyenyak karena udara dingin ini membuat selimut tebalku menjalankan perannya dengan baik. Tapi malam itu bukanlah malam yang aku impikan. Malam itu berubah mencekam saat panas tiba-tiba merasuki diriku yang terbalut selimut tebal. Tak seperti biasanya aku merasakan anomali semacam ini. Leherku terasa tercekik dan keringat mengucur dari dahiku. Badanku terasa kaku dan bibirku kelu tak bersua. Mataku terasa menangkap sesuatu. Aku tak bisa membuka mata dalam ketakutan. Tapi aku tahu, ada sesuatu; makhluk berdiri tepat di hadapanku.
***
Pagi itu, aku dibangunkan oleh panggilan seorang wanita paruh baya yang datang ke rumahku, suara yang kukenal namun tak ingin kudengar, “Men Putu, keluar sebentar, aku mau pinjam seratus ribu pakai beli banten. Anakku otonan besok,” begitulah kalimat yang sekiranya aku dengar.
Aku yang masih setengah sadar tidak menghiraukan hal itu, tapi aku mendengar suara langkah kaki menuju pintu. Pasti ibuku yang menghampiri wanita paruh baya itu.
“Mih, Mbok Kadek, pagi-pagi gini di mana aku dapet uang? Ke pasar aja belum, lagi pula aku harus bayar spp-nya Putu, Mbok. Maaf, ya,” kata ibuku yang jelas kutahu.
Dengan memelas, wanita paruh baya yang dipanggil “Mbok” alias kakak perempuan itu membalas kata-kata ibu, “Mih, lihat dong, segini susah saudaramu, apa ngga bisa ditunda dulu bayar spp-nya Putu? Jugaan lagi lama Putu ujian.” Seketika mataku terbuka lebar saat namaku disebut oleh wanita paruh baya yang biasa kupanggil “Men Kadek”.
Ibuku memasuki rumah dan memberikan uang kepada Men Kadek. Embel-embel “nyama” alias saudara membuat ibu tidak tega membiarkan kakak sepupunya, yang merupakan janda beranak empat itu kebingungan mencari pinjaman uang.
Anak-anak Men Kadek masih kecil, yang sulung baru berumur 10 tahun dan adik-adiknya masing-masing berumur 7 tahun, 5 tahun, dan si bungsu baru 2 tahun. Suami Men Kadek, Pan Gede meninggal setahun lalu karena sirosis hati. Pan Gede seorang pemabuk keras yang suka keluyuran. Keluarga mereka tidak harmonis. Masalah selalu dapat celah untuk menghampiri mereka.
Dulu, hampir setiap malam aku mendengar mereka bertengkar, kebetulan rumah kami bersebelahan. Anak-anaknya sering menangis. Bapak dan ibuku sering mendatangi mereka untuk melerai pertengkaran atau paling tidak mengajak anak-anak Men Kadek untuk tinggal sementara di rumahku.
Sementara itu, Bapak lebih sering keluar kota karena pekerjaannya. Aku dan ibu hanya tinggal berdua. Ibuku tidak bekerja, hanya mengandalkan kiriman uang dari bapak. Sebenarnya jumlah uang kiriman bapak cukup banyak, namun begitulah, setiap kali ibu ada uang yang lebih dari cukup, Men Kadek selalu saja datang tiba-tiba membawa alasan untuk meminjam uang, dan hal yang sama selalu terulang, lalu ibu harus minta uang lagi ke bapak. Aku beberapa kali marah dan melarang ibu membantu Men Kadek, hanya saja ibu selalu mengatakan hal yang sama berkali-kali.
“Meme dari kecil tak punya orang tua, diasuh sama bapaknya Men Kadek. Sudah seharusnya sekarang Meme membantu Men Kadek. Hitung-hitung balas budi.”
Aku mengerti ibu ingin membalas budi atas apa yang diberikan Bapak dari Men Kadek, hanya saja aku melihat jelas bahwa Men Kadek benar-benar memanfaatkan ibu untuk menanggung semua masalahnya. Bahkan utang yang dia bayar pun hampir selalu kurang dari yang seharusnya. Ibu lagi-lagi harus bersabar dan mengikhlaskan sisanya. Aku sempat mengadu kepada bapak dan bapak geram. Tapi, tetap saja ibu tidak tega melihat janda beranak empat itu hidup tak berkecukupan.
Namun begitu aku pernah sekali waktu memergoki Men Kadek memperhatikan ibuku dengan wajah yang aneh. Kala itu ibu sedang menyapu halaman depan rumah, aku membuat pekerjaan rumah di teras, dan tak sengaja ekor mataku menangkap seseorang melintasi lalu berdiri di dekat gerbang dan aku yakin, orang itu berusaha bersembunyi. Aku pura-pura tidak melihatnya, perlahan aku menjadi yakin orang itu adalah Men Kadek. Ibuku yang sedang asik menyapu tak memperhatikannya sedikit pun, tapi aku bisa melihat gelagatnya yang aneh. Dia berdiri di dekat gerbang yang agak tertutup tanaman. Matanya fokus tertuju pada ibu. Beberapa kali dia melirik ke arahku dengan bola matanya yang mirip mata kucing. Ia sepertinya menyadari bahwa aku memperhatikan gelagatnya. Melihat mata itu, nyaliku menciut, kubiarkan ia tetap di sana tanpa berkata apa-apa pada ibu. Ibu mendekat ke gerbang, dan wanita itu sepertinya bersiap-siap menyapa atau disapa ibu. Benar saja, Ibu menyapa wanita itu, yang tetap saja berdiri di depan gerbang.
“Eh Mbok Kadek, aku ngga lihat kamu di sini. Ada apa, Mbok?”
“Eh…ee.. tidak, tidak apa-apa, Luh. Ee… Aku cuma lewat, hmm.. oh iya, tadi mau ke warung Bli Wayan beli kopi tapi kopinya habis. Aku balik dulu, Luh,” katanya seperti menyembunyikan sesuatu dan sial, mata itu menatapku lagi, walau hanya sekejap, lagi-lagi membuat nyaliku mengecil.
“Ah masa sih, Mbok? Kayaknya baru kemarin dia nyetok kopi, katanya baru datang dari Banyuatis. Cepet sekali habis, ya?”
“Ya aku ngga tau juga, ee… balik dulu ya!”
“Iya, Mbok”.
Aku menaruh curiga dan akhirnya memutuskan untuk mendatangi warung yang ada di sebelah rumahku itu. Warung Pak Yan, warung yang paling lengkap, setidaknya itu yang kutahu, Pak Yan aku pikir tak pernah kehabisan dagangan, sebab dia selalu memperhatikan barang-barangnya yang menyusut dan warung ini merupakan satu-satunya warung di banjarku.
“Me, aku mau beli jajan di warung Pak Yan dulu ya, tugasku banyak dan aku capek ngerjain.”
Aku pergi ke warung Pak Yan berbekal curiga dan diam-diam melihat stok kopi yang rupanya seperti dugaanku, masih banyak. Sepertinya, sebanjar pun belanja ketika itu masih cukup, kopi kulihat berjejer di rak kayu yang kehitaman. Di atas kayu itu kulihat berbagai ukuran seperti kopi bungkus kiloan, setengah kilo, dan kopi sachet masih tergantung di depan warung. Kuputuskan segera pulang setelah membeli es krim dan sebungkus kacang. Bukan kepalang, sesampainya di rumah hatiku semakin tidak tenang. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyambarku.
Suatu hari aku berkunjung ke rumah tetangga yang mengadakan upacara adat. Sebagaimana kebiasaan di kampung, aku sebaiknya berkumpul bersama para tetangga agar tak dikata kuper, bisu, atau cap-cap lain yang tak mengenakkan. Ibu-ibu berkumpul menyiapkan banten dan berbagai persiapan upacara. Mereka duduk bersila di teras rumah yang cukup luas untuk menampung belasan orang. Entah mengapa, mereka pun sibuk membicarakan Men Kadek sebagaimana pikiranku yang selalu terbayang mata yang menatapku dari balik pagar. Dan betul saja, ibuku banyak mendapat nasehat dari tetangga yang sudah tahu kebiasaan Men Kadek, yang sering meminjam uang ke ibuku, yang mengembalikan sekenanya. Ibu hanya mengiyakan dan aku tahu, setelah obrolan itu selesai, ibu akan tetap seperti sebelumnya, meminjamkan uang ke Men Kadek, dan kelak menjadi obrolan lagi, dan begitu terus berulang.
Aku bahkan beberapa hari lalu tidak sengaja mendengar ada tetangga yang mengatakan ibuku bisa saja diguna-guna oleh Men Kadek. Jika ibu mendengar itu, tentu saja ibu akan sangat sedih. Banyak tetangga yang curiga bahwa Men Kadek belajar ngeleak: ilmu hitam. Tiba-tiba Men Kadek datang dari pintu gerbang rumah di empunya acara. Langkahnya agak tergesa-gesa, mungkin dia sadar dia terlambat datang ke acara ini. Kamen yang dia gunakan agak melorot. Baju kaosnya pun agak lusuh seperti baru saja habis diremas.
Obrolan ibu-ibu itu berhenti seketika, dari yang tadinya sibuk berbisik dan saling mendekat, menjadi tiba-tiba bubar satu per satu. Beberapa orang nampak mencari kesibukan lain. Ada juga yang tiba-tiba mengaku kebelet pipis atau membantu kesibukan di dapur. Tetangga yang merasa canggung akhirnya menyapa Men Kadek dengan nada yang berpura-pura ramah. Air muka Men Kadek yang awalnya juga canggung perlahan nampak lebih santai. Acara pun berlanjut, aku membantu tetanggaku menyiapkan segala persiapan upacara.
Sesampainya di rumah, sekali lagi aku bertanya pada ibuku “Me, sudah dengar kata tetangga? semua sudah tahu, Meme belum paham juga? Kalo aku jadi Meme aku ngga bakal ngasi Men Kadek minjem uang. Bapak juga udah capek ngeliat tapi kasian sama Meme. Aku tak suka ada orang yang buat Meme susah gini!”
Ibu tak menjawab dan melihat ke arah pintu. Tiba-tiba, di sana berdiri Men Kadek dengan bola mata itu lagi, tapi kali ini lebih lebar seakan merangsek keluar dari kelopaknya. Sorot matanya tajam seperti pisau yang baru diasah. Nafasnya tak teratur. Aku diam membisu. Matanya tepat mengarah padaku yang kaku berdiri di pintu rumah. Dia keluar dari halaman rumahku dengan langkah tergesa-gesa. Dan ibu menjadi pelamun setelah kejadian itu.
Malam itu, hawa kamarku sedikit lebih panas dari biasanya. Aku sudah sangat mengantuk, kelopak mata rasanya begitu berat, tapi aku tidak bisa tidur. Keringat bercucuran membasahi wajahku. Tiba-tiba leherku… leherku serasa tercekik. Aku ingin berteriak tapi entah kenapa sangat sulit bagiku untuk mengeluarkan suara. Aku melihat bayangan makhluk yang sangat menyeramkan. Bayangan itu seakan berada tepat di atas badanku yang terlentang di tempat tidur. Sial, aku tak bisa berteriak. Bayangan itu melebihi ukuran orang dewasa dengan badan yang kekar dan rambutnya terurai acak-acakan, tapi tinggi, melebihi orang dewasa umumnya, dan tak ada orang dewasa memiliki gigi panjang seperti itu.
Bayangan itu meloncat lalu seakan-akan menari di depanku. Geraknya lincah dan beberapa kali aku serasa mendengar tawa dalam tidurku. Aku menggigil. Ingin sekali rasanya aku bangun. Tapi aku bahkan tidak tahu apakah ini mimpi atau tidak. Tak lagi bisa kubedakan, mana mimpi mana kenyataan. Mata itu, mata kucing, mata pisau, mata yang ingin keluar itu, aku mengenalnya. Ya…ya…aku tahu mata itu. Mata itu pernah menatapku!
Dan Sepertinya kasurku sudah basah oleh keringat. Aku berusaha berteriak kencang. Tapi, aku tidak bisa melihat apa pun. Semuanya gelap. Semakin gelap dan setelah itu aku tak ingat apa-apa. Dari ibu, aku baru tahu, aku tak sadar selama tiga hari. Aku tidak mengerti, aku berusaha mengingat, tapi entah mengapa ingatan membawaku pada Men Kadek melihat ke arahku saat aku adu mulut dengan ibu di depan rumah. Pandangannya menyeramkan, seperti haus dan ingin melumatku habis-habis. Sejak itu juga kami tak pernah bertemu lagi dan ibu juga tak menceritakan apa-apa tentang Men Kadek yang tak pernah datang lagi. [T]
- Banten: sarana upacara dalam agama Hindu