Apa yang pertama kali Anda pikirkan jika mendengar kata aktivisme?
Perlawanan? Pemberontakan? Kebebasan? Atau perjuangan? Secara umum aktivisme adalah tindakan atas upaya untuk menyampaikan ide/gagasan/keluh kesah terhadap isu-isu sosial; politik; ekonomi yang bertujuan untuk mencapai perubahan sosial. Aktivisme juga merupakan perjuangan, tindakan persuasif yang mampu mendorong publik untuk berpartisipasi dalam mengubah tatanan yang selama ini dianggap terlalu mengekang kebebasan manusia.
Ada bermacam-macam bentuk aktivisme yang bisa dilakukan oleh publik. Terdapat sekitar 198 metode aksi nirkekerasan a la Gene Sharp yang meliputi beragam aksi mulai dari menulis di media massa, turun ke jalan, pemogokan, aksi seni, hingga menyiapkan strategi komunikasi alternatif. Aktivisme adalah bagian dari kesadaran revolusioner sehingga ia akan tetap ada selama manusia memiliki kesadaran atas bentuk ketidakadilan yang saat ini menimpa diri dan lingkungannya.
Sejarah Aktivisme Feminis Dunia Dari Masa ke Masa
Aktivisme bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak terkecuali bagi para kaum feminisme. Sejarah aktivisme feminis di dunia sudah dimulai sejak lama. Gerakan feminis pertama kali ditandai dengan dibentuknya konvensi pertama hak perempuan yang dinamakan Seneca Falls Convention pada tahun 1848. Konvensi ini diinisiasi oleh Lucretia Mott (1793 — 1880), seorang aktivis gerakan perempuan pertama yang lahir dan dibesarkan di Massachusetts, Amerika Serikat. Bersama rekannya, Elizabeth Cady Stanton (1815 — 1902), mereka berhasil melibatkan kurang lebih sebanyak 300 orang dalam Seneca Falls Convention untuk menyurakan pendapat dan menuntut hak sipil, sosial, politik dan agama bagi perempuan. Tuntutan ini kemudian diberi nama Declaration of Right and Sentiment yang dibacakan di New York pada bulan Juli 1848. Salah satu kutipan yang cukup fenomenal dalam deklarasi tersebut adalah “we hold these truth to be self evident; that all men and women are created equal”.
Aktivisme feminis pun terus berlanjut. Sojournet Truth (1797 — 1883), adalah aktivis hak asasi perempuan dari kota New York. Truth merupakan mantan budak yang mengkritik gerakan perempuan yang pada era tersebut cenderung berpihak pada ras dan kelas tertentu. Ucapannya yang paling fenomenal adalah “Ain’t I Women?”, yang disampaikan pada Konvensi Hak Asasi Perempuan di Ohio pada tahun 1851. Truth kemudian melanjutkan perjuangannya membela hak-hak perempuan secara penuh, bertemu dan berdiskusi dengan Presiden Abraham Lincoln, dan dikenal sebagai salah satu pejuang hak asasi manusia. Salah satu kutipannya yang membekas adalah “If the first woman God ever made was strong enough to turn the world upside down all alone, these women together ought to be able to turn it back, and get it right side up again! And now they is asking to do it, the men better let them.”
Tidak hanya berkembang di Amerika Serikat (AS), aktivisme feminis juga merambah ke belahan negara lainnya termasuk Selandia Baru. Pada awal masa kolonialisme Inggris, para perempuan di Selandia Baru tidak diberi kesempatan untuk berpolitik dan terlibat penuh dalam proses partisipasi publik. Kelompok Suffrage kemudian hadir untuk menuntut terbukanya kesempatan bagi perempuan terlibat di ruang publik dan politik. Katherine Wilson Sheppard (1847 — 1934), adalah tokoh dalam gerakan perjuangan hak suara perempuan di Selandia Baru yang menginisiasi adanya petisi besar-besaran dan meminta parlemen untuk memberikan suara kepada perempuan.
Petisi yang diluncurkan pada saat itu berhasil mencapai 32.000 dukungan yang ditandatangai di atas kain sepanjang 270 meter. Upaya bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Pada 19 September 1893, Lord Glasglow berhasil menandatangani undang-undang pemilihan yang baru yang menyatakan bahwa perempuan memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam parlemen. Atas perjuangan Sheppard dan kelompok Suffrage maka perempuan di Selandia Baru kini telah memegang posisi kunci dalam konstitusional negaranya.
Awal Mula Munculnya Hari Perempuan Internasional
Hari perempuan internasional kini dirayakan pada tanggal 8 maret setiap tahunnya. Ini adalah peringatan terhadap perjuangan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial dan politik. Sejarah perayaan hari perempuan internasional ini pun telah dimulai di banyak negara di dunia. Salah satunya yang terjadi di New York, AS pada tahun 1908. Ada sekitar 15,000 perempuan yang turun ke jalan untuk melakukan aksi menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah kerja yang lebih setara dan hak-hak untuk bersuara.
Semangat para perempuan tersebut kemudian merambat ke berbagai belahan dunia. Maka pada tahun 1910, Clara Zetkin (1857 — 1933), mengusulkan adanya perayaan hari perempuan internasional pada International Conference of Working Women kedua yang diadakan di Copenhagen, Denmark. Zetkin merupakan pemimpin Women’s Office dari Partai Demokrat Sosial Jerman yang merupakan teoritikus Marxis dan perjuang hak-hak perempuan. Perayaan hari perempuan internasional untuk pertama kalinya diadakan pada tanggal 19 Maret 1911 di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss.
Namun, seminggu setelah perayaan tersebut, di kota New York terjadi tragedi yang sangat menyedihkan yang dikenal dengan “Triangle Fire”. Ini adalah tragedi kebakaran hebat yang melanda Triangle Shirtwaist Factory di Manhattan, yang memakan banyak korban jiwa dan merupakan bencana industri tertinggi keempat dalam sejarah AS. Sayangnya sebagian besar pekerja di pabrik tersebut adalah para perempuan muda yang baru saja tiba di Eropa, yang tidak memiliki cukup waktu untuk melarikan diri dari kebakaran tersebut.
Satu dekade berikutnya, sekitar tahun 1920-an, aktivisme feminis mulai berkembang dengan lebih massive di berbagai wilayah di dunia. Ada beberapa peristiwa sejarah yang menandai kebangkitan gerakan perempuan di dunia. Diantaranya adalah perjuangan perempuan di AS dalam meloloskan amandemen hak pilih perempuan pada tahun 1920, perkumpulan para dokter di Mesir yang menolak female genital mutilation (FGM), hingga hadirnya instrumen internasional perempuan pertama yang secara spesifik mengatur penjaminan hak asasi perempuan yang dikenal dengan Committee on The Elimination of Discrimination Againts Women (CEDAW). Aturan ini diterbitkan lima dekade berikutnya, tepatnya pada tahun 1979 dan telah diratifikasi oleh 189 negara.
Tersebarnya berbagai aktivisme feminis mampu menginspirasi perempuan-perempuan lainnya di seluruh dunia. Media massa berperan penting dalam membentuk perilaku perempuan untuk mengakhiri praktik diskriminasi lewat kampanye dan artikel yang ditulis di media massa. Kisah perjuangan para perempuan menuntut kesetaraan telah menginspirasi banyak orang, termasuk dengan kisah Malala Yousafzai, salah satu korban penembakan oleh Taliban karena keberaniannya dalam menyuarakan hak pendidikan bagi perempuan.
Kisah perjuangan dan keberaniannya telah menarik perhatian masyarakat dunia sehingga ia mendapatkan Nobel Perdamaian pada tahun 2014. Gerakan perempuan era modern pun bermunculan. Salah satunya adalah Women’s March yang muncul pertama kali pada awal tahun 2017 di AS yang mampu mendorong berkembangnya gerakan ini di banyak wilayah di dunia termasuk Indonesia. Perempuan kini mempunyai ruang yang lebih banyak untuk menyuarakan pendapatnya dan menuntut kesetaraan dalam berbagai sektor.
Kini dengan semakin berkembangnya teknologi, kampanye terhadap kesetaraan bisa dilakukan secara digital dengan memanfaatkan media sosial. Berbagai tagar seperti #HeforShe #BringBackOurGrils #WomenPower #EmpowerWomen #MeToo menjadi jargon kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan kampanye pemberdayaan perempuan. Media sosial harusnya dapat menjadi safe space bagi para perempuan untuk berbagi kisahnya sekaligus dalam mengutarakan ide-idenya. Solidaritas yang dibangun bersama terhadap isu keperempuanan, akan semakin memperkuat peran perempuan di sektor publik. Perubahan pola pikir baik bagi laki-laki ataupun perempuan menjadi komponen yang penting untuk segera menghentikan praktik ketidaksetaraan. Kepedulian dan solidaritas adalah aspek transformasi sosial yang penting untuk menciptakan keadilan karena berangkat dari dukungan dan rasa sepenanggungan yang sama. Jadi, apakah kita siap untuk beraksi memperjuangkan keadilan? [T]
___
BACA ARTIKEL LAIN DARI CLARA LISTYA DEWI
Maskulinitas Perpolitikan Indonesia:Glass Ceilingbagi Perempuan dalam Ranah Politik