Sekitar pertengahan Desember 2020 Kulidan Kitchen menyediakan tempat untuk mengadakan pameran seni bertema Membentang Ruang. Pameran kali ini bersifat tunggal yaitu semua karya seni yang ditampilkan adalah buatan I Made Surya Subratha dan dibuka oleh Bapak Popo Danes pada tanggal 18 Desember 2020 dan diulas oleh I Gede Jaya Putra dan Vincent Chandra melalui tulisan mereka berdua. Pameran itu berlangsung hingga 8 Januari 2021. Dari beberapa karyanya ada satu yang menarik. Lukisan itu berjudul All being are connected.
Karya tersebut berukuran 475 cm dengan lebar 54 cm. Dari pengakuan sang seniman, I Made Surya Subrata, objek dalam karya seninya berupa manusia, hewan dan tumbuhan. Menggunakan tinta akrilik dan cat semprot di atas kanvas dengan warna hitam, merah, putih dan abu abu. Objek berwarna putih dilukis di atas bidang berwarna hitam. Seniman membuat lukisan ini sebagai bentuk ekspresi bahwa semua mahluk hidup saling terkait satu sama lain dan juga terkait dengan lingkungan dimana mereka berpijak. Bidang yang berwarna hitam dapat ditafsirkan sebagai tanah berhumus karena dalam konteks ekologi, tanah tersebut selalu berwarna gelap. Dalam objek berwarna putih terdapat warna merah darah dan abu abu yang boleh ditafsirkan sebagai dampak buruk yang dihadapi mahluk hidup akibat keterputusan dengan satu sama lain dan lingkungan alamnya. Warna merah darah melambangkan kondisi terluka. Sedangkan warna abu abu menunjukkan kesuraman yang dihadapinya.
Akibat Diskoneksi
Di balik pencemaran air, polusi udara dan tandusnya lahan hingga disebabkan oleh masalah yang sama yaitu diskoneksi. Tiga fenomena pertama terjadi karena lembaga yang ada hanya mementingkan satu faktor yaitu mendapatkan uang tanpa memikirkan efek terhadap lingkungan sehingga air, tanah dan udara hanya dianggap sebagai sumber daya yang dieksploitasi. Industri yang membuang limbah merupakan contoh dari gejala ini karena merasa dirinya terpisah dari sungai dan hanya menganggap sungai itu sesuatu yang terpisah sehingga dianggap kecil dampaknya.
Masalah keterputusan di alam ini adalah akar dari bencana ekologi. Keterputusan ini membuat manusia tidak peka dengan keberadaan dirinya yang saling terkait dengan mahluk hidup dan siklus alam seperti siklus hidrologi, siklus nitrogen, dan siklus karbon. Ketika tiga siklus tersebut rusak maka ancaman bermunculan bahkan peradaban manusia saat ini terancam akan hancur karena tiga siklus itu telah rusak di hampir semua tempat di bumi, bukan seperti dulu dimana hanya terjadi pada wilayah tertentu.
Kemudian muncul isu yang jadi perhatian akibat dari diskoneksi yaitu pandemi Covid 19. Pandemi ini terjadi karena perusakan lingkungan yang membuat kelelawar dan satwa hutan bermigrasi ke pemukiman manusia dan memperbesar peluang penularan virus. Lalu virus itu menular dari manusia ke manusia. Penebangan hutan merupakan gejala diskoneksi manusia dengan alam yang hanya memikirkan keuntungan jangka pendek dan mengabaikan efek buruk jangka panjang.
Keterputusan ini dimulai dari sistem pengetahuan yang bersifat reduksionis dimana alam dipandang sebagai bagian yang terpisah pisah dan diangap serupa dengan mesin yang dimanipulasi sesuai keinginan manusia. Perubahan ekosistem alami jadi monokultur untuk mendapatkan produk industri seperti sawit yang memberikan pendapatan jangka pendek dengan mengorbankan integritas lingkungan seperti kejernihan air dan biota biota lain di situ adalah dampak dari penerapan ini dimana lahan adalah mesin pencetak komoditas bukan sebagai penopang habitat untuk keragaman hayati yang tidak dijumpai di tempat lain di bumi, menjalankan siklus air , sumber makanan dan bagian dari kearifan komunitas. Tanah, mikroba pada humus, hewan, sungai, tanaman dan komunitas yang tinggal di situ adalah suatu kesatuan yang saling terhubung.
Alam tidak bekerja seperti mesin dimana bila seseorang ingin mesinnya bekerja lebih berat dan lebih cepat, harus dimodifikasi bentuk dan ukurannnya. dan diperbesar kapasitasnya. Di lingkungan alam , sebagai contoh bila ekosistem bakau diubah jadi tambak dan pemukiman pesisir berskala besar, akan terjadi efek yang tidak diinginkan seperti pengikisan air laut ke daratan (abrasi)dan penyusupan air laut ke dalam tanah (intrusi). Kemudian, tambak dan pemukiman yang tidak memiliki fasilitas penyaluran dan pengolahan limbah yang memadai akan mencemari laut. Lalu ada efek sosial dimana rakyat yang hidup dari bakau secara langsung maupun tidak langsung kehilangan mata pencahariannya. Perubahan ekosistem hutan bakau di atas terjadi karena manusia memandang lingkungan hidup dari satu dimensi yaitu uang sehingga mengabaikan efek beruntun yang terjadi berikutnya.
Dalam masyarakat , prinsip interkonektivitas seperti alam dengan efek beruntun juga berlaku. Contohnya , kasus jembatan roboh akibat buruknya kontruksi menyebabkan kecelakaan yang menguras harta benda bahkan nyawa. Selain itu koneksi antar wilayah jadi terhambat yang mengakibatkan penyaluran barang dan jasa tidak tercapai. Ini menyebabkan perekonomian terganggu. Kemudian harus mengeluarkan biaya tambahan untuk perbaiki atau bangun jembatan yang sama. Ini salah satu pemborosan akibat kelalaian dalam proses pengerjaan, rancangan yang kurang tepat, hingga korupsi anggaran pembangunan yang mana kualitas materialnya dipilih yang lebih rendah. Kasus jembatan roboh disebabkan diskoneksi antar manusia dimana si pekerja, kontraktor, arsitek dan pembuat kebijakan terdiskoneksi dengan sesama manusia sehingga hanya peduli dengan dirinya sendiri tidak pertimbangkan dampak yang terjadi pada orang banyak.
Koneksi Tak Terpisahkan dari Tiga Elemen
Jika kita berada di taman dekat danau yang jernih menikmati bunga yang banyak warna dan memancarkan keharuman sambil menyantap kopi dan teh serta memakan hidangan sore, akan terungkap bahwa semua itu terbentuk berkat kombinasi tiga elemen yang tak terpisahkan di planet bumi. Koneksi tiga elemen ini yang membuat kehidupan di bumi terus berlangsung dan menjadi dasar dari peradaban manusia. Tiga hal yang saling terkoneksi yaitu tanah yang hidup, air dan sinar matahari. Dari tanah yang kaya dengan materi organik dan mikroorganisme , rumput untuk makanan ternak, bunga dengan kecantikannya herba untuk obat-obatan dan sayuran, dan pohon untuk diambil buah serta kayunya sebagai bahan bangunan menjadi tempat berpijak baginya. Ia menjadi tempat untuk mendapatkan nutrisi seperti manusia memperoleh makanan.
Air merupakan elemen vital bagi semua mahluk hidup dan menentukan kelangsungan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan organisme di tanah. Air merupakan elemen untuk mengolah nutrisi menjadi zat zat yang berguna. Lebih dari 50% tubuh mahluk hidup tersusun atas air dan setiap hari tubuh tersebut mengeluarkan air melalui organ ekskresi dan kulit agar suhu tubuh terjaga sehingga air merupakan unsur utama penyambung kehidupan. Air yang ada di daratan dan kita gunakan sehari hari dibentuk dari siklus hidrologi. Hujan adalah hasil koneksi antara air tawar, air laut dan sinar matahari yang membentuk siklus hidrologi. Bagi semua mahluk hidup di darat siklus hidrologi merupakan penghasil air tawar yang digunakan tiap hari. Air sebagai elemen paling penting bagi kehidupan diperoleh dari kombinasi siklus alam yaitu penguapan dari laut yang membentuk awan. Lalu awan tersebut bergerak ke daratan mengembun. Embun ini yang membentuk hujan dan membasahi daratan. Kemudian tanah yang kaya humus, materi organik dan keragaman tanaman di suatu tempat menjaga cadangan air yang jatuh dari langit atau mengalir menuruni pegunungan membuat sungai mengalir sepanjang tahun dan air tanah diperbaharui. Yang tidak mengalir terkumpul dalam suatu cekungan dan membentuk danau.
Saat kita perhatikan vitalnya hujan dalam membasahi daratan sehingga berwarna hijau dan di masa ketika mayoritas penduduk adalah bertani momen seperti ini yang paling ditunggu. Koneksi antara air dan tanah dibuktikan dengan kondisi air tawar yang ada. Tanah yang kaya humus dan banyak airnya lengket dan berwarna gelap. Sedangkan di tanah yang tandus air tawarnya cenderung menipis dan tidak diperbaharui. Ketika hutan gundul atau berubah jadi monokultur dengan satu jenis tanaman, air terkuras karena tanaman itu hanya mengonsumsinya saja. Lalu tanah tersebut jadi seperti debu dan mudah tererosi.
Tanah yang jadi tempat berpijak dan air sebagai pemberi kehidupan, berikutnya adalah sinar matahari dimana elemen tersebut berperan sama pentingnya dengan dua elemen di atas. Tanaman di darat dan plankton di laut berfotosintesis memanfaatkan cahaya matahari menghasilkan nutrisi bagi mahluk lain. Tidak ada cahaya matahari membuat tanaman tidak dapat hidup. Kombinasi dari tiga element ini menentukan kelangsungan hidup. Jika tidak ada air maka semua organisme akan mati. Jika matahari berhenti bersinar tidak ada nutrisi dan oksigen bahkan hampir tidak dapat bernafas karena makanan dan oksigen dihasilkan oleh tumbuhan dan plankton. Jika tanah itu rusak parah, hanya segelintir organisme yang hidup layak. Itulah sebabnya konektivitas tanah , air dan sinar matahari adalah sesuatu yang paling berharga bagi semua orang apapun keyakinan dan pemikiran yang dianutnya.
Membangun Kontektivitas Manusia dengan Alam dan Sesamanya
Merupakan hal yang sulit di zaman sekarang untuk mewujudkan itu dimana manusia sudah terasing dari satu sama lain. Kemudian terasing dari alam hingga tidak menyadari hal hal di atas. Teknologi memperparah keterasingan ini dimana manusia lebih dekat kepada yang jauh dan larut dalam dunia tidak penting seperti hiburan dan fiksi hingga mengabaikan hal hal yang nyata dan vital bagi masyarakat dan planet bumi. Lingkungan modern dimana kita hidup cenderung mengecilkan kesadaran diri manusia terhadap elemen vital seperti tanah dan air tawar. Perhatikan degradasi tanah dan menipisnya air yang tidak disadari karena dipikir makanan dan air tersedia terus saat membayar.
Di Indonesia, ekosistem hutan, sawah, sungai, gunung, laut dan kota saling terkait satu sama lain. Kita yang tinggal di kota memakan ikan sarden dan tongkol yang berasal dari lautan. Beras dan jerami diperoleh dengan mengairi lahan dengan menggunakan air dari tanah, hujan dan sungai. Bahan baku kursi dan meja adalah tanaman hutan. Hutan di pegunungan menjadi sumber mata air penting jutaan penduduk di bawahnya bahkan di perkotaan. Inilah bukti bahwa hidup kita tidak terlepas dari ekosistem alam.
Membangun konektivitas dimulai dari pergeseran paradigma yang bersifat terpisah pisah dimana telah dianut selama lima abad yang menyebabkan berbagai kerusakan ini karena hanya mengejar segelintir tujuan dengan mengabaikan efek yang terjadi berikutnya seperti kasus kebun sawit dengan paradigma holistik yang mana faktor faktor sosial, ekonomi, tanah, air, keragaman hayati dan komunitas menjadi pertimbangan dalam mendirikan suatu proyek.
Kedua, menyadari bahwa ekonomi yang paling esensial dari manusia dan mahluk hidup adalah ekonomi yang berbasis pada kombinasi matahari, tanah yang hidup dan air. Maksudnya sebagai berikut ini:
“Segala kehidupan di bumi itu ditopang oleh tanah, air dan matahari. Perekonomian manusia yang utama yaitu pangan , sandang dan papan bahkan rekreasi , pendidikan dan kesehatan berasal dari kombinasi tiga faktor itu secara langsung maupun tidak langsung. Padi dan ikan sarden yang menghasilkan beras, protein hewani, dan produk turunan seperti jerami yang digunakan untuk bahan kerajinan hidup berkat sinar matahari, air dan tanah. Padi memperoleh kehidupan dari kombinasi unsur hara tanah, pengairan dan sinar matahari. Dalam kasus ikan sarden, dia mendapat makanan dari plankton yang memanfaatkan nutrient dari dasar laut yang muncul ke permukaan dan mengolahnya dengan sinar matahari seperti tanaman padi.
Kemudian dalam aspek rekreasi dan pendidikan, kita mengamati produk seni rupa, tempat rekreasi, peralatan kesenian dan musik serta bangku dan meja tulis berasal dari kayu pepohonan yang tidak terpisahkan dengan kombinasi surya, tanah dan air. Beberapa spesies tanaman berkayu ini juga dimanfaatkan getah , nira, buah dan daunnya dan mungkin ada lagi manfaat yang muncul di kemudian hari. Lalu, jika kita berlibur ke taman nasional menikmati keindahan terumbu karang, satwa liar yang berukuran besar, bunga yang berwarna warni, dan air yang jernih semuanya ditopang oleh kombinasi tiga faktor utama. Bahkan di masa depan nanti dimana energi surya disemarakkan, seseorang yang merasa dirinya terpisah dari tiga faktor itu akan menyadari bahwa ia tidak akan hidup tanpa sinar matahari. Semua ini merupakan dasar dari perekonomian yang sejati bukan seperti sekarang dimana basisnya adalah uang fiat yang berbasis utang dicetak oleh bank sentral dan disahkan oleh pemerintah dan nilai uang itu dijadikan tolak ukur keberhasilan ekonomi bukan kelestarian konektivitas tiga faktor esensial”.
Ketiga, pengelolaan hutan, ekosistem air tawar, padang penggembalaan, pantai , lautan, perikanan, lahan pertanian, satwa liar , kualitas udara dan masyarakat secara holistik dan partisipatif. Semua hal di atas mulai dari hutan hingga masyarakat saling terhubung. Ketika salah pengelolaan hutan, dapat muncul erosi yang menyebabkan keruhnya sungai dan bibir pantai. Kepunahan satwa liar amat rentan karena habitatnya hilang. Masyarakat menderita banjir, tanah longsor, kekeringan bahkan wabah penyakit. Ingat bahwa semua hal di atas bersifat saling terhubung antar komponennya. Pengelolaan yang salah memicu efek beruntun yang tidak terduga.
Saat ini pembagian ilmu pengetahuan yang semakin terspesialisasi membuat komunikasi menjadi sulit sehingga sering muncul hal hal di atas. Ahli ekonomi menginginkan pertumbuhan PDB yang positif sehingga harus ditebang pohonnya. Lalu pakar kehutanan menginginkan hutan produksi industri dengan tujuan dapat kayu N ton tiap hektar sekali panen. Ahli konservasi dan lingkungan menentangnya karena ingin melestarikan satwa liar dan biota yang mereka sayangi dan kadang kurang peduli dengan kehidupan komunitas lokal karena bukan bidangnya. Komunitas setempat dipandang sebelah mata oleh pakar ekonomi dan kehutanan karena hidupnya bukan berbasis industri serta kurang diajak partisipasi untuk melestarikan satwa hutan karena tidak punya pengetahuan formal. Dalam hal ini masyarakat harus tahu dan sadar akan hal hal di atas. Penguatan kesadaran secara efektif dilakukan dengan partisipasi. Inilah hakekat utama dari demokrasi partisipatif. Jadi pengelolaan yang holistik adalah pengelolaan yang memperhatikan kondisi tanah, air (termasuk laut), keragaman hayati dan sistem sosial. Allan Savory , seorang penggembala ternak dan biolog satwa liar meringkas kontek holistik pengelolaan hal hal di atas sebagai berikut:
“Semua orang ingin keluarga yang stabil, kehidupan yang damai dan layak, rasa aman sambil punya kebebasan untuk menjalankan keyakinan spiritual. Makanan bernutrisi yang berkecukupan dan air bersih. Menikmati pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan hidup seimbang dengan waktu untuk keluarga, teman dan komunitas serta hiburan untuk budaya( kesenian ) dan tujuan lain yang mirip. Semuanya terjamin selama bergenerasi generasi yang akan datang , dengan berdasarkan pada kesuburan tanah dan keragaman hayati di daratan, sungai, danau dan lautan”. [T]