Sekira pukul 05.00, udara masih amat dingin. Ni Luh Menek, sepagi itu, sudah bangun dari tidurnya, keluar kamar, lalu mengambil sapu di sudut rumah. Ujung runcing sapu pun kemudian beradu-padu dengan lantai di halaman rumah. Suaranya rapi seperti ketukan simbal yang unik. Beberapa kali ada jeda yang seakan sengaja dibuat agar nyanyian burung di rimbun pohon terdengar lebih jelas menyambut pagi.
Begitulah ritual pagi Ni Luh Menek di rumahnya di Desa Tejakula, Buleleng, Bali, yang sekaligus menjadi sanggar tempat ia mengajar anak-anak menari. Sebelum benar-benar pagi, ia membersihkan daun-daun yang berguguran sepanjang malam dari pohon-pohon besar yang berjejer di kebun rambutan di sekeliling rumah. Sampah daun-daun itu dikumpulkan dalam keranjang, lalu ditimbun di luar rumah, mungkin dibiarkan begitu saja di bawah pohon untuk kemudian menjadi pupuk alami.
Usai ritual menyapu, kaki Ni Luh Menek yang tua namun kuat itu dilangkahkan ke dapur untuk sekadar memasak air atau terkadang masak besar. Sesekali ia mencuci. Sesekali juga ia tampak menggotong tempat jemuran ke halaman yang lebih lapang agar cucian mendapatkan angin dan cahaya lebih leluasa. Setelah beres seluruh kerja rumah tangga, barulah ia mulai menata langkah untuk mempersiapkan kegiatan rutin siang hingga malam hari, semisal ikut upacara adat di desa adat atau upacara agama, dan tentu saja kegiatan mengajar anak-anak menari.
“Saya sakit kalau tak bergerak. Saya harus terus bergerak. Semua pekerjaan, apalagi yang ringan-ringan, hanya menyapu atau mencuci, saya kerjakan sendiri,” kata Ni Luh Menek suatu hari di rumahnya.
Apa yang dilakukan maestro tari Ni Luh Menek saban pagi itu barangkali hal amat jamak, sesuatu yang juga dilakoni banyak perempuan di Bali maupun di Indonesia. Namun bagi Ayu Nurjanah, laku Ni Luh Menek benar-benar menyentuh hatinya, menggedor cara berpikirnya, sekaligus menjewer kebiasaan-kebiasaan tidak baik yang selama ini sudah biasa dijalaninya dan sudah ia anggap tak begitu bermasalah, juga tak begitu mengganggu kehidupan.
Ayu Nurjanah adalah siswa SMK Pelita Bunga Bangsa, Aryasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia adalah satu dari 15 siswa SMA atau setingkat SMA dari berbagai wilayah di Indonesia yang menjadi peserta program Belajar Bersama Maestro (BBM) dan mendapat kesempatan untuk tinggal di rumah maestro Ni Luh Menek. Program itu berlangsung 14 hari mulai 1 Juli hingga 14 Juli 2019.
Termasuk Ayu Nurjanah, 15 peserta BBM di rumah atau sanggar tari Ni Luh Menek itu adalah Reza Ade Putra dari SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Sumatera Utara; Silvia Yuwandra Maharani dari SMA Negeri 1 Kendal, Jawa Tengah; Reynaldi Rizkianto dari SMK Multistudi High School Batam, Kepulauan Riau; Petra Willem Rodnels Melatunan dari SMA Negeri Unggulan Saumlaki, Maluku; Atori Firdaus dari SMA Negeri 1 Kuala Tungkal, Jambi; Amanda Friska Utami dari SMA Negeri 1 Indralaya, Sumatera Selatan; Maretha Suri Handayani Hasan dari SMA Negeri 1 Manggala, Tulangbawang, Lampung; Dhipa Prishanti dari SMA Negeri 2 Katingan Hilir, Kalimantan Tengah; Herlina Putri dari MAN Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah; Hanif Raihan dari SMA Negeri 4 Banda Aceh, Aceh; Tedy Eka Abinawa dari SMK Negeri 8 Surakarta, Jawa Tengah; Selfi Velfekti Triatmi dari SMA Kartika 1-5 Padang, Sumatera Barat; Zacky Faushandra dari SMA Negeri 1 Kecamatan Suliki, Sumatera Barat; dan Renaldi dari SMA Negeri 1 Wonomulyo, Sulawesi Barat.
Di rumah maestro itu, kelimabelas peserta BBM itu belajar menari juga belajar tentang hidup sederhana yang sehari-hari “dipentaskan” sang maestro di rumahnya. Ayu Nurjanah mengaku mendapat pelajaran jauh lebih banyak dari apa yang ia idam-idamkan. “Oma menyapu sepagi itu, pada saat saya masih tidur. Itu contoh yang diberikan Oma tanpa banyak bicara,” kata Ayu Nurjanah, saat senja, usai latihan menari di rumah Ni Luh Menek.
Bagi Ayu Nurjanah, peristiwa pagi hari di rumah sang maestro itu adalah salah satu pelajaran penting yang tak pernah ia bayangkan. Ia beberapa kali melihat sendiri bagaimana Luh Menek melakukan aktivitas ketika hari belum benar-benar pagi. Menurutnya, itulah contoh hidup amat penting, bahwa sebagai seorang seniman, betapa pun ia memiliki nama besar, haruslah tetap disiplin dan mandiri, dimana pekerjaan sehari-hari sebagai seorang ibu tetap dilakukan tanpa kesah tanpa keluh.
Selain pelajaran menari, kata Ayu, disiplin dan kemandirian yang dipertunjukkan Ni Luh Menek adalah pelajaran amat penting bagi dirinya selama tinggal di rumah sang maestro itu. Sebagaimana ia mengajarkan tarian dengan menunjukkan contoh-contoh gerak sembari bibirnya menirukan suara gamelan, Ni Luh Menek juga mengajarkan bagaimana menyikapi hidup sehari-hari, juga dengan sungguh-sungguh memberi contoh dengan tingkah laku sesungguh-sungguhnya. Dan contoh ajar itu begitu kuat, sehingga anak yang terbiasa bangun siang menjadi belajar sekuat niat untuk bangun lebih pagi. Bahkan, yang unik, sampai-sampai ada salah satu anak peserta BBM yang berhenti minum kopi, hanya karena Ni Luh Menek tidak minum kopi.
“Melihat Oma yang begitu disiplin dan mandiri, dan selalu bangun paling pagi, saya pun jadi malu jika hanya diam-diam saja, apalagi sampai bangun kesiangan,” ujar Ayu Nurjanah.
***
Oma adalah panggilan sayang 15 anak-anak peserta BBM untuk Ni Luh Menek. Dan perempuan yang telah menekuni tari sejak usia dini itu memang menunjukkan diri sebagai seorang Oma. Rasa sayang kepada anak-anak peserta BBM seperti sayang dia pada anak sendiri, cucu sendiri atau ponakan sendiri. Cara mendidik pun seperti mendidik anak-anak yang seakan sudah bersama dia sejak berpuluh tahun.
“Oma tak pernah marah. Ia benar-benar seperti Oma kami sendiri. Ia mengajar kami dengan sangat sabar,” kata Atori Firdaus, siswa peserta BBM dari SMA Negeri 1 Kuala Tungkal, Jambi.
Meski usianya mendekati 80 tahun, di sela-sela kegiatan rutinnya mengajar tari, Ni Luh Menek memang masih kuat mengerjakan sendiri hampir semua urusan rumah, dari menyapu, mencuci, memasak, termasuk menata tanam-tanaman di halaman. Ia jarang meminta anak-anak membantunya, namun semua yang dilakukan Ni Luh Menek seperti memberi inspirasi kepada anak-anak untuk tak risi mengerjakan urusan sendiri, seperti mencuci dan memasak sendiri, termasuk ringan tangan juga membantu tuan rumah meski tak diminta.
Di tengah riuh gemuruh pariwisata di Bali yang memberi pengaruh juga pada proses berkesenian para senimannya, Ni Luh Menek memang termasuk salah satu seniman tari tradisional yang masih disiplin dan setia memegang laku hidup sebagaimana seniman-seniman masa lalu, termasuk dalam tata cara meneruskan tradisi menari kepada anak-anak didiknya.
Di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali, ia mengurus tanah kebun seluas sekitar 30 are yang di tengah-tengahnya dibangun rumah seluas 6 are. Di rumah itulah ia membangun Sanggar Tari Teja Manik sekaligus sebagai tempat tinggal bersama suami dan anak-anaknya sejak 30-an tahun lalu. Jangan bayangkan rumahnya berderet-deret dengan rumah lain seperti kebanyakan rumah di desa-desa di Bali. Rumah penari yang sudah lihai membawakan tari keras “Teruna Jaya” sejak usia 15 tahun itu hanya dikelilingi kebun rambutan dengan pohon-pohon besar yang masih menjulang di setiap sudut. Jarak rumah tetangga cukup renggang, disekat kebun dan sejumlah rumpun pisang. Sekitar 200 meter ke utara adalah pantai Laut Bali, ombaknya kadang jelas terdengar sampai ke rumah itu, yang membuat rumah sepi itu terasa makin sunyi.
“Tigapuluh tahun lalu tempat ini masih semak-semak, sangat sepi. Hanya kami yang membangun di sini,” kenang penerima Anugerah Dharma Kusuma dari Pemprov Bali (1993) dan penerima Penghargaan Pengabdi Seni Budaya dari Bentara Budaya Bali (2017) itu tentang tempat tinggalnya.
Setelah dua putri dan seorang putranya berkeluarga dan tinggal di Denpasar, praktis ia hanya tinggal berdua di rumah itu, bersama suaminya, Made Meliun, yang saat itu telah memasuki purnatugas sebagai pegawai negeri sipil. Dan tiga tahun lalu adalah babak baru dalam hidup panjang Ni Luh Menek. Suami tercinta meninggalkan dia selamanya dan sejak itulah ia benar-benar sendiri. Namun ia kuat. “Karena saya selalu bergerak, bekerja, dan tentu saja menari,” kata Ni Luh Menek.
Rumah sepi bukan berarti Ni Luh Menek juga kesepian. Selalu saja ia didatangi anak-anak untuk belajar. Dan selalu juga perempuan itu menyambut anak-anak secara sukarela dan gembira. Lalu dengan letup gairah melebihi usianya, ia mengajar anak-anak itu menari, kadang juga belajar melantunkan tembang-tembang tradisional. Tak penting apakah mereka akan jadi seniman ahli atau seniman biasa-biasa saja atau bahkan bukan jadi seniman sama sekali. Karena yang paling membahagiakan adalah ketika anak-anak merasa senang menggerakkan tubuhnya, bukan hanya gerak tangan, kaki dan mata, melainkan juga menggerakkan bagian diri paling dalam, yakni hati. Begitulah. Sepi di rumah itu nyatanya bukan kesunyian percuma, tapi sunyi yang menebar jiwa dan taksu kesenian Bali.
Rumah dengan gaiah dan sunyi semacam itulah menyambut 15 siswa peserta BBM ketika mereka tiba di rumah itu, pada Selasa 2 Juli 2019, sekitar pukul 03.00 WITA. Mereka berangkat dari Bandara Ngurah Rai sekira pukul 23.00 WITA, lalu dengan naik mobil mereka menembus dingin perbukitan dan jalan tepi danau di daerah wisata Bedugul untuk menuju rumah Ni Luh Menek. Memang perjalanan yang cukup melelahkan. Namun setiba di rumah itu, para siswa tak langsung tidur. Setelah merapikan perlengkapan, mereka justru saling bercerita dan setelah itu mereka memulai kegitan pertama dengan menyaksikan matahari terbit di langit timur dan mengagumi pedang cahaya menembus sela rimbun pepohonan.
Lalu tersadarlah mereka, selama dua minggu ke depannya, mereka bakal tinggal di sebuah rumah alami, dipenuhi udara segar, pohon-pohon di sekelilingnya, tentu juga tanpa riuh suara kendaraan. Jika mereka sebelumnya berpikir akan tinggal di sebuah tempat di Bali semacam tempat wisata Ubud atau Kuta, mereka pasti salah besar. Mereka jauh dari hiruk-pikuk pariwisata, jauh dari pasar oleh-oleh, jauh juga dari lalu-lalang turis.
Pada pagi pertama, Selasa 2 Juli 2019 itu, menu istimewa dari acara makan bersama adalah limpahan beragam cerita dari Ni Luh Menek, dari cerita serius soal sejarah kesenian hingga kisah-kisah lucu tentang pengalamannya menari sejak puluhan tahun lalu. Bercerita kepada siapa pun, Ni Luh Menek memang tampak bersemangat, suaranya selalu melengking, kadang disertai tawa lepas. Dia orang tua yang santai, terkesan cuek, namun tak pernah sekali pun tampak kehilangan daya. Itulah kesan pertama yang didapat siswa peserta BBM sehingga mereka langsung merasa dekat, akrab, kadang juga manja. Keakaraban, kedekatan dan rasa manja itu kemudian jadi modal utama sehingga proses pengajaran dalam program BBM di kediaman Ni Luh Menek jadi mengalir dan lancar.
“Sebelumnya saya tak punya bayangan tentang Oma, saya hanya tahu Oma itu penari hebat. Tapi begitu pertama kali mendengar dia bercerita, dan sesekali memperagakan gerakan menari, saya langsung kagum. Oma perempuan yang kuat, kami para peserta BBM kalah jauh,” kata Silvia Yuwandra Maharani, siswa SMA Negeri 1 Kendal, Jawa Tengah.
Silvia termasuk salah satu peserta BBM yang paling antusias memperhatikan hal-hal detil dari pengajaran yang diberikan Ni Luh Menek, baik lewat cerita, ujaran,arahan, maupun lewat contoh gerak. Siswa yang sudah biasa menari Gambyong dan tarian tradisional lain di daerahnya di Jawa Tengah itu tampak punya minat besar untuk mengetahui dan menekuni tari Bali secara amat serius.
“Di Jawa Tengah saya beberapa kali belajar menari Bali, namun saya ingin tahu bagaimana rasanya diajarkan oleh penari Bali yang sudah berpengalaman. Dan sejak di hari pertama saya sangat suka cara dan gaya Oma mengajarkan kami menari,” kata Silvia.
***
Proses penyaluran pengetahuan seni tari sekaligus seni kehidupan dari Ni Luh Menek kepada anak-anak peserta BBM di Sanggar Teja Manik, Tejakula, sesungguhnya berlangsung amat sederhana, sesederhana komposisi rumah dan kebun rambutan sang maestro, tanpa eksperimen aneh-aneh, tanpa program latihan yang ketat bin gawat. Tiga hari sejak para siswa yang ceria itu tiba, Selasa 2 Juli hingga Kamis 4 Juli 2019, selain dikenalkan pada lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan sang maestro yang sederhana namun mengejutkan, mereka lebih banyak dikenalkan pada gerakan-gerakan tubuh yang amat mendasar dari tari tradisional Bali seperti agem, tandang, ngeleog, dan nyeledet.
Ni Luh Menek mengenalkan gerakan-gerakan dasar itu dengan memberi contoh langsung, diselingi guyonan-guyonan khas antara dia dan peserta atau antara peserta dan peserta. Pembelajaran berlangsung gembira. Dari semua gerakan tubuh itu tampaknya gerakan nyeledet (melirik alias memainkan gerakan mata) yang paling susah diikuti, padahal hampir semua tarian di Bali menonjolkan gerakan mata. Hampir semua peserta bersusah-payah mencoba-coba hingga terkadang gerakan mereka menjadi lucu dan pada saat itulah mereka saling mengkritik sekaligus saling memberitahu. Proses yang amat guyub dan cair.
Silvia Yuwandra Maharani mengakui gerakan mata termasuk gerakan paling sulit saat ia menyerap pelajaran dari Ni Luh Menek. Sebagai remaja yang sudah terbiasa menarikan tari tradisional di daerahnya di Jawa Tengah, ia tahu bahwa tari tradisional di daerahnya juga tak luput dari permainan mata. Namun gerakan mata pada tarian Bali jauh berbeda. “Jika tarian Jawa biasanya gerakan mata mengikuti gerakan tangan, namun gerakan mata pada tarian Bali dimainkan tersendiri yang berbeda dengan arah gerakan tangan atau gerakan tubuh lainnya,” kata Silvia.
Namun, Silvia mengaku sangat senang karena pada akhirnya ia mampu menguasai teknik gerakan mata meski jauh dari sempurna sebagaimana jika dilakukan Ni Luh Menek atau penari Bali lain yang sudah profesional. “Saya berusaha terus belajar, dan Oma Luh Menek dalam hal ini sangat membantu dalam proses pembelajaran ini,” katanya.
Menurut Silvia, cara Ni Luh Menek mengajar memang efektif sehingga anak-anak peserta BBM cepat paham dan cepat bisa mengikutinya. Selain sabar dan mengajar dengan penuh canda, pada tahap-tahap awal Ni Luh Menek tak mau mengajar dengan menggunakan iringan gamelan, baik dari tape rekaman maupun gamelan langsung. Ni Luh Menek memberi contoh langsung pada setiap gerakan dengan diiringi tiruan gamelan dari mulutnya. Dengan begitu, ia bisa konsentrasi dan dengan sangat rinci bisa memperhatikan setiap gerakan dari seluruh anak-anak didiknya. “Oma memang melatih kami dengan selalu memberi contoh-contoh dengan menirukan suara gamelan dari bibirnya, sehingga kami secara perlahan bisa menirukannya,” kata Silvia.
Selain itu, anak-anak peserta BBM beberapa kali latihan bersama dengan anak didik Ni Luh Menek dari sejumlah sekolah di Desa Tejakula yang memang menjadi murid tetap di Sanggar Teja Manik. Latihan bersama sangat membantu karena anak-anak peserta BBM bisa belajar juga dari murid-murid itu, terutama belajar tentang bagaimana mengolah tubuh agar bisa seakan-akan tampak otomatis bergerak sesuai iringan gamelan.
Atori Firdaus mengaku sangat senang belajar bersama anak-anak dari Sanggar Teja Manik karena mereka bisa juga mengajarkan sejumlah gerakan dengan baik. “Awalnya malu juga belajar bersama anak-anak di sanggar ini, karena mereka kecil-kecil sudah jago menari, namun kami senang belajar bersama mereka karena setelah akrab kami tak canggung lagi menanyakan hal-hal yang belum kami pahami,” katanya dengan malu-malu.
Teknik melatih tari dengan contoh-contoh gerakan sembari menirukan suara musik dari mulut sesungguhnya adalah teknik lama yang biasa dilakukan oleh seniman-seniman Bali di masa lalu. Dulu, saat masih belia, Ni Luh Menek, jarang mendengar suara gamelan ketika latihan menari di kampung masa kecilnya di Desa Jagaraga. Gurunya selalu mengajarinya secara perlahan, gerakan demi gerakan, dengan tiruan sura gamelan dari bibir sang guru. Tiruan gamelannya pun tak selalu sama persis dengan nada gamelan asli, namun dengan mudah bisa diingat dan menghubungkan dengan gearakan-gerakan tari yang harus dilakukannya.
“Suara gamelan dari mulut saat awal-awal latihan jauh lebih baik karena dengan mudah diingat ketimbang menggunakan suara gamelan asli atau gamelan dari suara tape rekaman,” aku Ni Luh Menek.
Tidak seperti cara melatih zaman sekarang, tutur Ni Luh Menek, banyak sanggar-sanggar melatih murid menari dalam jumlah yang banyak lalu memutar gamelan dari tape rekaman. Anak-anak yang lebih pintar ditempatkan paling depan, lalu anak-anak yang belum bisa menari ditempatkan pada barisan belakang. “Saya tak mau seperti itu karena saya tak akan bisa konsentrasi memperhatikan dan memberitahu anak satu per satu,” kata Ni Luh Menek.
Tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak-anak, Ni Luh Menek selalu mendiskusikan dengan santai ketika mereka sedang ngobrol di teras rumah, sambil makan, atau ketika sedang jalan-jalan ke luar rumah. Ketika misalnya ia melihat seorang anak sedang mencoba-coba melakukan gerakan tari pada saat sedang bermain-main di kebun, Ni Luh Menek langsung tergerak untuk mendiskusikan jika gerakan anak itu dianggap masih keliru. Saat diskusi, seperti biasa Ni Luh Menek selalu menyelipi dengan cerita-cerita penting antara lain tentang makna-makna gerakan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan kepercayaan masyarakat Bali.
Jika Ni Luh Menek bercerita, seperti biasa, seluruh anak-anak peserta BBM akan mendekat. Selain karena berhubungan dengan dunia kesenian, ceritanya selalu enak didengar. Bahkan ketika di sela-sela proses pelajaran Ni Luh Menek kedatangan wartawan dari sebuah media TV nasional dan wartawan dari media radio di Singaraja, anak-anak selalu ikut mendengar Ni Luh Menek ketika maestro itu sedang diwawancarai. Sepertinya anak-anak itu selalu ingin tahu apa pun yang diujarkan Ni Luh Menek, bahkan kadang ingin mendengar cerita yang tak berkaitan dengan dunia kesenian.
Selain latihan dasar, pada minggu pertama itu anak-anak peserta BBM juga diajak berkenalan dengan sejumlah seniman yang selama ini melakukan proses berkesenian di wilayah Tejakula, baik seniman lokal maupun seniman asing yang tinggal di desa itu. Misalnya pada Jumat, 5 Juli, anak-anak diajak ke kawasan Candi Teja Amerta di Desa Tejakula dan berkenalan dengan Suprapto atau biasa dipanggil Mbah Prapto, seorang penari yang selama ini biasa berproses di kawasan candi itu, dan Diane Butler yang dikenal sebagai penari dan kini menjadi lektor kepala sukarela pada Prodi Doktor (S3) Kajian Budaya di Universitas Udayana Denpasar.
Kebetulan saat itu sedang digelar acara “Merayakan Seni Megalitik/Celebrating Megalithic Art”. Sebelum acara dimulai, anak-anak peserta BBM diajak ikut pemanasan atau semacam latihan olah tubuh yang dipandu oleh Ibed Surgana Yuga, seorang seniman teater asal Jembrana, Bali, yang saat ini menetap di Yogayakarta. Dalam acara itu sejumlah anak-anak peserta BBM juga diberikan kesempatan mempertunjukkan sejumlah gerak tarian, baik tari yang mereka pelajari di daerah asalnya maupun gerakan-gerakan tarian yang sempat diajarkan Ni Luh Menek. Dari acara itu mereka mendapatkan pengetahuan tentang bagaiamana cairnya proses pergaulan seniman tradisional dengan seniman modern dan pergaulan seniman lokal dengan seniman asing di desa itu.
Minggu, 7 Juli, tibalah saat anak-anak peserta BBM mengambil jeda untuk bersenang-senang. Ni Luh Menek mengajak anak-anak keluar agak jauh dari rumahnya. Mereka diajak berwisata ke daerah wisata Tirta Gangga di Kabupaten Karangasem dan Goa Lawah di Kabupaten Klungkung. Anak laki-laki langsung menggunakan udeng (penutup kepala untuk pakaian adat Bali) yang sebelumnya mereka beli di pasar tradisional di Tejakula saat mereka jalan-jalan ke sebuah pancuran umum di desa itu. Dengan udeng itu, mereka seakan ingin menunjukkan bahwa mereka sudah sangat siap menghirup udara Bali, di wilayah mana pun.
Tujuan jalan-jalan ke obyek wisata tentu bukan sekadar bersenang-senang. Di dalam mobil saat perjalanan, suasana begitu akrab dan kekeluargaan seakan-akan mereka memang satu keluarga yang sedang berjalan-jalan diantar nenek mereka. Dalam suasana seperti itu mereka melakukan obrolan-obrolan kecil semacam evaluasi dengan amat santai, penuh canda dan tawa, terutama membicarakan tentang kegiatan BBM yang sudah berjalan selama sekitar seminggu di rumah sang maestro. Evaluasi juga berlanjut saat mereka duduk-duduk dan makan bersama di tempat wisata, selebihnya tentu saja mereka banyak menikmati indahnya alam Bali sembari sibuk berfoto. Salah satu yang muncul dalam obrolan-obrolan santai itu adalah tekad anak-anak peserta BBM untuk bisa menguasai satu saja tarian Bali sebelum mereka pulang ke rumah dan sekolah masing-masing.
“Anak-anak senang sekali,” kata Ni Luh Menek tentang kegiatan wisata itu. “Sebelum memasuki program pelatihan tari dengan jadwal yang lebih ketat, karena mereka ingin menguasai satu saja tarian Bali, mereka saya ajak bersenang-senang dulu.” ujar Ni Luh Menek dengan raut wajah sumringah.
Dalam suasana santai seperti itu sejumlah anak-anak banyak juga yang mencurahkan isi hatinya kepada Ni Luh Menek, bukan hanya soal-soal yang berkaitan dengan pelajaran menari, namun juga soal kisah hidup mereka. Ada anak peserta BBM bahkan bercerita dengan sedih soal kekurangmampuan keluarganya secara ekonomi, dan Ni Luh Menek meladeninya dengan sikap sejuk seorang seniman sekaligus seorang ibu atau nenek. Ia akan bercerita banyak hal yang intinya memberitahu anak itu bahwa di Bali pun tak semua orang kaya raya.
“Banyak orang yang dulu kaya, namun karena malas, suka berjudi, dan tak bisa mengelola uangnya dengan baik, kini hidup dalam kemiskinan. Ada dulunya miskin, kini sukses. Hidup itu bisa berubah-ubah tergantung bagaimana kita mengelola kehidupan kita!” Begitu Ni Luh Menek memberi nasehat.
***
Usai seharian jalan-jalan menikmati keindahan alam Bali, mulai Senin, 8 Juli, anak-anak peserta BBM memulai upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan tekad mereka menguasai satu saja tarian Bali, selain untuk dipentaskan pada akhir program, tarian itu juga akan jadi oleh-oleh paling berharga dari Bali untuk keluarga dan sekolah mereka.
Untuk peserta BBM yang laki-laki, Ni Luh Menek mengajarkan Tari Wirayuda ciptaan I Wayan Dibia tahun 1979. Tarian ini adalah tari khusus laki-laki, biasa disebut tari bebarisan, dengan gerakan-gerakan yang terkesan mudah, namun sesungguhnya cukup sulit. Tari ini tak hanya mengandalkan gerak fisik, tapi lebih menonjolkan kekuatan dari dalam diri untuk memberi taksu pada seluruh gerakan. “Tubuh anak laki-laki yang peserta BBM itu hampir semua bagus, memang tubuh penari, karena mereka memang sering menari di daerahnya. Saya tinggal melatih cara mengeluarkan kekuatan dari dalam agar gerakan tarinya benar-benar kuat, dan mereka pasti bisa mengikutinya,” kata Ni Luh Menek dengan amat yakin.
Yang cukup berat, untuk peserta perempuan, Ni Luh Menek mengajarkan Tari Cendrawasih. Ada dua Tari Cendrawasih di Bali. Satu tarian diciptakan di Bali selatan oleh Swasthi Wijaya Bandem tahun 1987. Satu lagi adalah Tari Cendrawasih khas Bali utara yang diperkirakan diciptakan sebelum tahun 1920 oleh maestro tari dan tabuh Gde Manik. Tari Cendrawasih ciptaan Swasthi Bandem relatif lebih mudah, sementara Tari Cendrawasih ala Buleleng lebih keras dan rumit.
Kenapa Ni Luh Menek mengajarkan Tari Cendrawasih ala Buleleng kepada anak-anak peserta BBM yang seluruhnya bukan orang Bali itu? Penari muda Bali pun tak banyak yang mampu menguasai tarian itu dalam waktu cepat karena kerumitan gerak dan permainan ekspresi wajah yang begitu ketat, apalagi anak-anak yang tak mengenal tarian Bali. Ni Luh Menek tentu menyadari hal itu, namun ia ternyata punya tujuan lain. Justru karena mereka bukan orang Bali dan bukan penari Bali, maka mereka dikenalkan pada perbedaan.
“Di daerahnya mereka mengenal tari daerah sendiri, namun mereka harus mengenal juga tari di daerah lain. Karena mereka bersama saya di Buleleng, maka saya mengenalkan tari tradisional khas Buleleng. Mereka menjadi tahu juga, bahwa di Bali pun gaya tarian itu berbeda-beda. Ada gaya Badung, gaya Gianyar, gaya Buleleng,” ujarnya.
Jadi, bagi dia, tak penting apakah dalam waktu kurang dari dua minggu anak-anak peserta BBM itu bisa hapal dengan sempurna atau hapal sebisa-bisanya. Karena yang penting adalah pengetahuan tentang perbedaan, bukan hanya perbedaan suku, etnis dan agama, melainkan juga perbedaan jenis tarian hingga ke gerakan-gerakannya yang paling rinci. “Ini bisa dikatakan toleransi juga. Mereka juga harus melatih tubuh untuk mengenal gerakan-gerakan yang berbeda dari tari-tarian daerah lain,” kata Ni Luh Menek, seperti biasa dengan nada bersemangat.
Di luar soal itu, Ni Luh Menek tampaknya punya keteguhan yang amat kuat untuk tetap memertahankan sekaligus memperkenalkan tarian gaya Buleleng kepada dunia yang lebih luas. Keteguhan itu ia pegang sejak ia belajar menari kepada dua gurunya di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, sekitar 30 kilometer di sebelah barat dari desa yang ditinggalinya sekarang. Sejak ia masih belia, dua guru itu, Gde Manik dan Pan Wanres, tak sekadar mengajarinya menari, melainkan juga mengajari dirinya tentang sikap teguh sebagai seniman tari, tentang kesetiaan memegang pakem-pakem tarian, dan dedikasi untuk menyebarkannya kepada generasi seniman berikutnya.
Salah satu karakter tari yang masih kuat melekat dalam diri Ni Luh Menek adalah penguasaannya terhadap gaya tari khas Buleleng dengan menonjolkan gerak-gerak enerjik dan agresif yang dipadu dengan unsur kelembutan. Karakter itulah yang ia serap dari gurunya, Gde Manik, seorang maestro dari Desa Jagaraga yang menciptakan tabuh dan tari Teruna Jaya serta tari-tari berkarakter keras dan enerjik khas Buleleng lainnya. Ni Luh Menek mempertahankan karakter Bali Utara itu dengan begitu kuat di tengah gempuran begitu banyaknya garapan tari baru yang diciptakan dengan gerakan-gerakan sekadar indah dan lebih mengikuti arus komersial pariwisata. Sejak baru belajar menari, karakter itu begitu kuat menempel pada dirinya, dan karena karakter tarian yang dipegang dengan kuat itulah Ni Luh Menek pada masa remajanya pernah menjadi salah satu penari idola Presiden Soekarno.
“Gde Manik selalu mengingatkan saya untuk memegang teguh gaya Buleleng, bahkan secara terus-menerus mengembangkannya. ‘Gaya Buleleng jangan sampai hilang’, begitu selalu kata Gde Manik mengingatkan saya,” tutur Ni Luh Menek.
Ni Luh Menek ingat selalu pesan sang guru. Maka ketika Swasthi Wijaya Bandem di tahun 1987 menciptakan Tari Cendrawasih yang cukup terkenal di Bali, Ni Luh Menek merasa jengah. Pasalnya, dulu, setahu dia, Gde Manik pernah menciptakan Tari Cendrawasih, namun kemudian banyak orang seakan melupakan tarian itu begitu saja. Saking banyak yang lupa, bahkan tidak banyak juga yang tahu kapan tarian ini diciptakan. Namun sejumlah sumber menyebutkan tarian ini pernah ditarikan sekitar tahun 1920 di wilayah Sawan. Setelah pentas di Sawan, tarian itu jarang dipentaskan dan perlahan-lahan dilupakan.
Ni Luh Menek mengaku pernah menarikan Tari Cendrawasih ciptaan sang guru di masa-masa remajanya. Untuk itulah dengan sekuat ingatan yang merekonstruksi kembali tarian klasik itu dengan niat sederhana untuk memperkenalkan bahwa Buleleng pernah memiliki Tari Cendrawasih, tentu gayanya berbeda dengan Tari Cendrawasih yang diciptakan Swasthi Wijaya Bandem di Bali Selatan. “Saya jengah dan bertekad menghidupkan kembali Tari Cendrawasih bukan karena ingin menunjukkan mana yang lebih baik, namun saya ingin menunjukkan bahwa Buleleng punya gaya yang berbeda,” katanya.
Tari Cendrawasih gaya Buleleng yang diciptakan di masa lalu memang punya perbedaan yang amat kentara. Gerakannya dinamis, enerjik, dan tentu saja rumit. Yang ditonjolkan pada tarian itu adalah ekspresi sang penari, bukan gerakan yang sekadar meniru-niru burung cendrawasih sedang kasmaran. Tarian ini bisa dibawakan secara tunggal, atau boleh lebih dari satu orang penari. Namun yang jelas tarian ini bukan tarian berpasangan. “Iringan tabuhnya tentu saja tabuh gaya bulelengan dengan tempo cepat sebagaimana iringan tabuh untuk tarian-tarian khas Buleleng lainnya,” kata Ni Luh Menek.
Dengan dibantu banyak seniman tua di Desa Jagaraga dan teman sesama seniman di Kabupaten Buleleng, Ni Luh Menek berhasil melakukan rekonstruksi sekitar tahun 2013 meski saat itu ia merasa tarian itu belum sepenuhnya berhasil dikembalikan sesuai aslinya. Pada tahun 2013 itu, ia sendiri sukses mementaskan tarian itu pada pembukaan Konferensi dan Festival Internasional Bali Utara di Auditorium Universitas Pendidikan Ganesha. Dan setelah itu Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Buleleng melanjutkan upaya Ni Luh Menek untuk merekonstruksi tarian itu secara lebih serius dan memperkenalkan kembali kepada seniman-seniman muda melalui festival-festival yang dibuat pemerintah seperti Pesta Kesenian Bali.
Keteguhan Ni Luh Menek memegang pakem asli Tari Cendrawasih memang tak perlu diragukan. Bahkan ketika tarian itu hendak dipentaskan pada Pesta Kesenian Bali tahun 2019 ini ia mewanti-wanti pembina tari agar tak mengubah sedikit pun stil dan gaya Tari Cendrawasih hasil rekonstruksi, meski apa pun yang terjadi. “Pernah ada yang ingin mengubah kostumnya agar lebih bergaya baru, saya tak setuju. Meski kostumnya dianggap lama dan kuno, tapi itulah yang asli. Kita harus menampilkan yang asli karena yang asli kini sudah langka. Yang baru kan sudah banyak,” katanya.
Untuk melanjutkan upaya-upaya rekonstruksi itulah ia bertekad memperkenalkan Tari Cendrawasih kepada peserta BBM tahun 2019 ini. Dan harus diakui, Ni Luh Menek memang guru alam yang tahu cara mengajar penari pemula, bahkan untuk tarian yang termasuk sulit dipelajari dalam waktu yang cepat. Sehari-dua hari latihan lebih serius, anak-anak peserta BBM sudah mampu menguasai secara kasar dua tarian yang ia ajarkan itu. Yang perempuan sudah mulai menari dengan sendirinya, seakan tubuhnya tak bisa ditahan, meski mereka sedang mencuci, jalan-jalan di sekitar kebun atau di kamar menjelang tidur. Mereka meliuk-liuk di mana pun dengan gerakan seperti burung dengan membayangkan diri mereka adalah burung itu sendiri. Yang laki-laki, ketika sedang berkumpul dengan temannya, seperti selalu ketagihan untuk pasang kuda-kuda sembari mengacungkan tangan seolah-olah sedang memegang tombak untuk menirukan salah satu gerakan Tari Wirayuda.
Mendekati akhir pekan, Kamis 11 Juli malam, peserta laki-laki tampaknya sudah hapal betul Tari Wirayuda dan peserta perempuan sudah menguasai Tari Cendrawasih meski masih perlu penghalusan gerak di sana-sini. Mereka sudah siap untuk pentas dalam acara Gelar Cantrik 2019 di Bentara Budaya Bali, Sabtu 13 Juli malam. Acara itu adalah acara pentas bersama peserta BBM yang tinggal bersama maestro di Bali, yakni Ni Luh Menek, Ayu Laksmi dan Made Sidia.
Menyadari bahwa mereka sudah siap untuk mementaskan hasil pembelajaran mereka selama kurang dari dua minggu itu, mereka senang sekaligus juga sedih. Tentu saja, karena acara Gelar Cantrik di Bentara Budaya Bali adalah ajang untuk menunjukkan kesuksesannya mereka dalam belajar bersama maestro, sekaligus acara itu juga sebagai penanda bahwa kegiatan BBM 2019 itu sudah berakhir dan besoknya, Minggu 14 Juli, mereka sudah harus pulang dan berpisah dengan Ni Luh Menek, berpisah dengan teman sesama peserta BBM, berpisah dengan orang-orang yang dikenalnya secara singkat di sekitar rumah Ni Luh Menek. Silvia pulang ke Jawa Tengah, Ayu Nurjanah pulang ke Jawa Barat, Atori Firdaus ke Jambi, dan peserta lain juga pulang ke daerahnya masing-masing. Menyadari itu, tangis mereka pun pecah. Usai latihan Kamis malam itu, semua dari mereka tak mau tidur seakan tak rela hari berganti. Mereka hanya ngobrol dan menangis sampai pagi.
Pada suasana seperti itu Ni Luh Menek menunjukkan sikap seorang Oma yang sabar dan pengertian. Jumat, 12 Juli, latihan ditiadakan. Pada hari yang galau itu anak-anak peserta BBM diajak jalan-jalan ke tempat wisata alam yang dekat dengan rumah Ni Luh Menek. Paginya ke sebuah air terjun di Desa Les yang bertetangga dengan Desa Tejakula dan siangnya mereka diajak ke Kolam Renang Air Sanih di Desa Kubutambahan. Air Sanih adalah kolam renang yang memiliki mata air sendiri, sehingga airnya berupa air tawar yang sangat segar.
Semua proses wisata itu diurus sendiri oleh Ni Luh Menek. Ia sendiri yang menelepon pemilik mobil sewaaan, ia sendiri yang langsung membayar, ia sendiri yang mengantar anak-anak sekaligus menjadi semacam guide lokal. Pagi harinya, acara jalan-jalan itu hampir saja batal. Pasalnya, Ni Luh Menek sempat kesulitan mendapatkan mobil untuk mengantar anak-anak ke dua obyek wisata alam itu. Sudah telepon ke sana-sini ia tak mendapatkan mobil untuk disewa. Mobil yang biasa ia sewa sudah disewa orang lain untuk keperluan upacara adat. Agar anak-anak tak kecewa, Ni Luh Menek menyewa sebuah mobil pick-up milik temannya yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian. Mobil itu cukup aman karena di sekelilingnya tetap berpagar besi yang kuat. Dengan mobil sederhana seperti itu, anak-anak diantar dengan senang-gembira. Maka sehari itu, mereka pun bisa melupakan kesedihan karena perpisahan yang tak mungkin dihindari. Di air terjun Desa Les mereka menikmari sejuk alam, di kolam Air Sanih mereka berenang hingga menjelang senja sembari ngobrol tentang apa saja. Sesekali terdengar gelak tawa dari canda antarteman di tengah kolam.
Sepulang dari air terjun dan kolam renang, di rumah Ni Luh Menek mereka kembali tampak murung. Selain karena lelah habis berenang, juga karena Jumat malam itu adalah malam terakhir mereka di rumah sang maestro. Besoknya, Sabtu 13 Juli, mereka sudah harus berada di Bentara Budaya Bali, mempersiapkan pentas dan segala sesuatu di acara Gelar Cantrik 2019. Usai pentas, tak mungkinlah mereka balik lagi ke Desa Tejakula karena jarak terlalu jauh dan besoknya mereka sudah harus naik tangga pesawat yang bakal membawa mereka ke masing-masing asal.
Untungnya, murung dan kesedihan mereka kembali terusir karena Ni Luh Menek tiba-tiba meminta mereka menari di halaman. Yang perempuan menari Tari Cendrawasih dan yang laki-laki Tari Wirayuda. Usai menari Ni Luh Menek mengumpulkan mereka lalu memberi mereka semacam kekuatan sekaligus meniupkan semangat untuk tetap melakoni kesenian dengan sikap gembira, teguh, dan memiliki karakter. Ni Luh Menek menekankan bahwa proses berkeseian tetap harus dilakukan dengan semangat dan gembira, di mana pun dan bersama siapa pun.
Ni Luh Menek juga memuji pencapaian mereka, di mana dalam waktu kurang dari seminggu mereka bisa mencapai apa yang mereka inginkan, yakni menguasai satu tarian Bali, bahkan tarian Bali yang cukup rumit. “Penari Bali saja banyak yang tak bisa menguasai tarian itu dalam waktu kurang dari seminggu. Kalian hebat,” kata Ni Luh Menek.
***
Sabtu, 13 Juli 2019, malam. Panggung terbuka Bentara Budaya Bali bercahaya. Kursi penuh penonton. Anak-anak peserta BBM binaan Ni Luh Menek bersiap di belakang panggung. Yang laki-laki betapa gagah menggunakan kostum Tari Wirayuda lengkap dengan tombaknya, sementara yang perempuan betapa cantik berkostum Tari Cendrawasih ala Buleleng. Begitu pembawa acara mempersilakan mereka tampil dan suara gamelan pun menggema, tanpa ragu-ragu dan dengan taksu yang perlahan mengendap di jiwa mereka, mereka pun masuk panggung Gelar Cantrik 2019 dengan gagah berani.
Atori dan kawan-kawan menampilkan Tari Wirayuda disusul Silvia dan kawan-kawan menarikan gerak lincah dan enerjik Tari Cendrawasih. Sepanjang mereka bergerak di atas panggung, penonton hening, sesekali penonton menahan napas seakan cemas kalau-kalau penari di atas panggung melakukan salah gerakan. Karena sebagian besar penonton tahu bahwa mereka bukanlah penari profesional yang hanya menggeluti latihan kurang dari dua minggu. Namun, usai mereka tampil, tepuk tangan menggema. Mereka mendapatkan apresiasi luar biasa. Ni Luh Menek yang berada di deretan kursi penonton paling depan tampak tersenyum, bangga sekaligus haru.
“Meski gerakan mereka tak sehalus penari Bali, namun mereka benar-benar hebat. Mereka hapal seluruh gerakan tanpa ada yang cela,” kata Nyoman Mangsih, seorang penonton dari kalangan umum yang datang khusus ke Bentara Budaya Bali untuk melihat para siswa BBM itu mementaskan hasil belajar mereka di rumah Ni Luh Menek. Belakangan diketahui penonton itu jauh-jauh datang dari Singaraja karena ia memang pengagum berat Ni Luh Menek.
Usai tampil di panggung, tanpa melepas kostum mereka yang gemerlap, anak-anak peserta BBM Ni Luh Menek duduk di kursi penonton menyaksikan penampilan rekan-rekan mereka sesama peserta BBM yang belajar bersama maestro Made Sidia dari Gianyar dan Ayu Laksmi dari Denpasar. Dan, setelah rangkaian acara hampir usai, mereka dipanggil ke atas panggung, bergabung bersama peserta BBM Made Sidia dan peserta BMM Ayu Laksmi. Di atas panggung mereka menyanyi bersama, bergerak bersama. Selain tentu saja berfoto tak henti-henti, mereka juga saling berpelukan tak henti-henti, seakan mereka tak ingin terlepas satu dengan yang lainnya. Tentu saja, tangisan demi tangisan tak bisa ditahan oleh siapa pun di areal Bentara Budaya Bali itu.
Ketika cahaya di panggung sudah meredup, musik dihentikan dan acara ditutup, Ni Luh Menek sepertinya tak bisa dipisahkan dengan anak-anak peserta BBM yang sudah sekitar dua minggu bersama dia. Mereka selalu bersama. Entah sudah berapa kali mereka saling peluk, saling memandang, dan tentu saja saling menitikkan air mata. Namun program BBM tahun 2019 memang sudah berakhir ditandai dengan penampilan anak-anak di atas panggung. Besok paginya, Minggu 14 Juli, mereka sudah harus terbang seperti burung cendrawasih yang indah, ke daerah asal mereka, dan berjuang seperti gagahnya Tari Wirayuda untuk mengembangkan kesenian Nusantara ketika mereka tiba di daerah masing-masing. Ni Luh Menek melepas mereka dengan rasa bangga.
“Kesenian tradisional Nusantara itu ibarat pohon. Kita hanya boleh memetik bunganya atau memetik buahnya yang manis dan matang, tapi jangan sekali-kali mencabut akarnya karena pohon kesenian itu akan mati, tak menghasilkan bunga lagi, tak berbuah lagi sampai kapan pun!”
Itu kata Ni Luh Menek yang diucapkan berkali-kali kepada anak-anak dalam proses pembelajaran di rumahnya di Desa Tejakula. Dan, anak-anak Nusantara itu sudah memetik bunga dan buah manis dari pohon kesenian di Bali utara. Ni Luh Menek akan kembali ke rumahnya di areal kebun rambutan yang asri, merawat pohon-pohon kesenian yang diwarisi para leluhurnya di masa lalu. Dan program BBM ini tentu saja ibarat pupuk yang membantu Ni Luh Menek merawat pohon itu agar lebih subur, lebih banyak bunganya, lebih melimpah buahnya.
- Artikel dibuat serangkaian program Belajar Bersama Maestro 2019 yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI