Pada pertengahan tahun 2020, saya beruntung dapat melakukan penelitian tentang identitas tempat kawasan Desa Ubud. Penelitian ini menyoal tentang pengaruh pariwisata terhadap kondisi fisik di sana, mulai dari kondisi fisik yang menyangkut keadaan di desa hingga bagian terkecil seperti kondisi di dalam rumah. Untuk mengetahui kondisi lapangan, saya beresempatan untuk singgah beberapa kali ke rumah-rumah warga, melihat sejauh manakah perubahan terjadi.
Apa saja yang berubah dari rumah yang pada awalnya memakai konsep Asta Kosala-Kosali, dengan segenap bale-balenya, mulai dari Merajan, Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh, Bale Delod, Jineng, Paon, dan lain sebagainya, dengan rumah Bali di Ubud versi hari ini?
Dari proses pencarian data di lapangan, setelah memasuki beberapa rumah warga, terlihat kebanyakan masih tetap mempertahankan keadaan fisik rumahnya. Hanya saja beberapa bale seperti Bale Dauh dan Bale Delod sudah lebih modern dalam segi bentuk. Sementara Bale Daja dan Bale Dangin masih tetap dipertahankan kearifan tradisinya. Mungkin karena keduanya merupakan bale yang penting dalam kehidupan adat beragama penghuninya.
Bale Dangin digunakan sebagai upacara Manusia Yadnya dan Bale Daja dijadikan sebagai kamar bagi kepala keluarga. Jika kedua bale ini dirubah menggunakan konsep bentuk arsitektur barat misalnya, tentu akan jadi aneh kelihatannya. Ketika upacara pawiwahan misalnya, tukang banten tentu akan kebingungan dimana mesti meletakan banten.
Namun hal ini tidak berlaku dengan Bale Dauh dan Bale Delod. Adanya kebutuhan akan ruang membuat banyak perubahan yang terjadi pada kedua Bale ini. Kebanyakan dikarenakan jumlah keluarga yang semakin berkembang dalam satu rumah. Faktor lain, karena adanya alih fungsi beberapa bagian rumah menjadi ruko. Dua faktor ini yang kebanyakan menjadi alasan mengapa kedua bale tersebut berubah. Keluarga yang semakin membesar dengan kebutuhan ruang yang meningkat sedang luas tanah tetap, akhirnya mengubah kebanyakan bentuk Bale Dauh dan Bale Delod mereka menjadi bangunan yang lebih modern. Bahkan beberapa rumah ada yang membuatnya menjadi tingkat dua atau tiga.
Bagi rumah yang menambahkan fungsinya sebagai ruko, hal ini tak bisa dipisahkan dari konteks pariwisata yang semakin meluas terjadi di Ubud. Banyak pemodal yang siap untuk membayar sewa sepetak tanah untuk dijadikan ruko. Merespon hal tersebut, bagian Bale Dauh dan Bale Delod adalah salah satu yang paling memungkinan untuk disewakan. Masyarakat biasanya akan memundurkan bangunan Bale Dauh dan Bale Delod agar ruko dan bale tidak menjadi satu. Ada juga yang merenovasi rumah menjadi lantai dua. Bagian lantai dua inilah yang kemudian dipakai sebagai ruang privat keluarga.
Pada beberapa kasus, bukan hanya Bale Dauh dan Bale Delod saja yang rupanya menjadi ‘korban’ alih fungsi ruko. Pada kasus tertentu, merajan atau sanggah juga tak luput dari perubahan. Ini biasa terjadi khususnya pada rumah yang terletak di bagian utara atau timur jalan, dimana merajan rumah semestinya berada langsung di sisi jalan. Tentu ini adalah posisi yang sulit. Para pemilik rumah harus memilih, apakah bagian depan rumah tetap digunakan sebagai merajan atau digunakan sebagai ruko?
Karena tidak mungkin mereka memindahkan posisi merajan sedikit mundur hanya untuk sebuah ruko, pada titik tertentu ada proses tawar menawar yang terjadi. Pemilik rumah yang tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menaikkan pendapatan keluarga, di saat yang bersamaan tetap ingin mempertahankan adat dan kepercayaan, akhirnya mengatasinya membuat merajan dipindahkan secara vertikal. Ruko tetap dibangun tetapi bagian atasnya atau lantai duanya adalah merajan.
Hal lain yang tak kalah unik untuk dicermati adalah ketika melihat perkembangan pola natah pada rumah-rumah di Ubud. Pola Asta Kosala Kosali dengan sikut satak, sekarang sudah berubah dalam beberapa pola yang berbeda. Ada yang Bale Delod-nya bertingkat, ada yang beberapa balenya sudah tidak ada, ada penambahan bale yang baru untuk memenuhi kebutuhan ruang, ada juga yang memiliki ruko pada satu bagian sisi rumah, ada juga penambahan bale untuk homestay, dan masih banyak lainnya. Semua perubahan pada akhirnya mempengaruhi luas natah dan sirkulasi antara ruang di natah Bali. Ini adalah salah satu kenyataan yang tidak dapat dihindari, begitu pikir saya.
Namun pikiran inipun sirna segera, ketika mendatangi sebuah rumah di kawasan sebelah barat Lapangan Ubud, yang menghubungkan Mongkey Forest dengan Catus Pata. Pada rumah yang terletak di sebelah barat jalan itulah kekagetan saya bermula. Bagian depan rumah jika dilihat dari pinggir jalan memang tidak terlalu terlihat hal yang berbeda. Ada sebuah gerbang masuk yang diapit oleh dua buah ruko. Di atas ruko sebelah utara, akan terlihat merajan dengan beberapa pepohonan. Sekilas tak ada yang aneh dari bangunan itu.
Ketika memasuki rumah tersebut, di dalamnya begitu gelap seperti sebuah basement. Melewati jalan yang seperti lorong itu, pada bagian belakang kita akan disambut beberapa homestay, lengkap dengan kolam renang. Lalu, hal yang mengejutkan terjadi setelah ini. Awalnya saya sempat berpikir di manakah bale mereka? Bale tempat tidur mereka? Apakah bale-bale itu juga sudah berubah menjadi kamar atau bangunan modern?
Setelah diajak oleh mpu-nya rumah melihat homestay, saya diajak untuk melihat bagian lantai dua rumah tersebut. Betapa terkejutnya saya ketika melihat lantai dua rumah adalah sepetak natah utuh, lengkap dengan Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh, Bale Delod, Jineng, Paon, Bale tambahan, dan merajan. Ada yang masih berbentuk bale-bale, ada juga yang sudah memiliki lantai tingkat di atasnya. Saya tidak menyangka bahwa keseluruhan natah akan di angkat ke lantai dua. Uniknya, ketika pertama kali menginjakan kaki di lantai dua dari rumah itu, saya merasa seperti ada di lantai dasar sebuah rumah. Tidak ada kesan bahwa saya ada di lantai dua rumah. Persepsi saya seolah dirubah tiba-tiba oleh pola dan desain ruang yang ada.
Mungkin inilah yang namanya pengalaman ruang. Desain, pola dan bentuk ruang mampu masuk saya rasakannya secara langsung dengan tubuh. Mengalaminya dengan semua indra. Karena uniknya situasi dan kondisi yang dialami saat itu, akhirnya sensasi yang hadir itupun tersimpan. Sampai saat ini, pengalaman memasuki ruang itu masih terngiang di kepala. Rumah yang mengejutkan buat saya dan saya rasakan dengan tubuh sendiri. Pada saat itu saya sadar dan merasakan bahwa arsitek memang harus sering jalan-jalan. Banyak melihat bangunan dan merasakannya langsung dengan tubuh sendiri.
Pada akhirnya saya merasa bahwa Arsitektur juga seperti mahluk hidup. Ia juga beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Pola natah yang biasa tertulis dalam buku-buku Arsitektur Bali biasanya berhenti pada sebuah gambar sketsa jaman dahulu yang masih menunjukkan bahwa bale menggunakan atap ilalang, tembok tanah, dan bentuk klasiknya lainnya. Sedang pada realitas di lapangan, hal ini tampak sudah kian ditinggalkan. Masuknya gagasan dan material baru, bertambahnya kebutuhan penghuni, lalu berubahnya kondisi sekitar, membuat terjadi proses tawar menawar yang melahirkan dinamika dalam arsitektur. Rumah-rumah Ubud adalah salah satu pecahan dinamika arsitektur Bali yang sedang melakukan adaptasi dengan berbagai persoalan, antara kearifan lokal masa lalu dan dollar wisata yang masuk berdesakan di tengah natah para penghuninya. [T]
Denpasar, 2021