Nyepi Tahun Caka 1943 di tengah pandemi menjadi momen baik untuk melakukan refleksi terhadap perjalanan manusa Bali. Menengok sejenak ke belakang untuk melihat jejak langkah kita, mana yang lurus dan yang mana keliru.
Salah satu sudut refleksi yang menarik adalah laku manusia Bali terhadap budaya seiring gemerlap industri pariwisata.
Kini, saat pariwisata kita mati suri, waktunya kita berjalan kembali ke masa lalu, di mana budaya Bali belum dijamah industri pariwisata. Kita bisa melihat kembali bagaimana laku tetua dan leluhur memperlakukan budaya.
Pertanyaan yang patut kita ajukan adalah, apakah laku kita terhadap budaya lebih baik dari tetua dan leluhur?
Modifikasi Budaya Sakral
Bali memiliki beragam budaya sakral. Kita lakoni secara turun temurun. Budaya itu diciptakan para tetua. Dicipta dari wujud rasa cinta dan syukur kepada dewata. Sadarkah, bahwa kita yang mewarisi budaya itu dan kita kemudian yang bisa merusaknya?
Peneliti kebudayaan Bali McKein (1974) menyebutkan bahwa seiring perkembangan pariwisata, terjadi pergeseran dalam pertunjukan budaya Bali.
Dari segi penonton, terdapat tiga penonton pertunjukan berbasis budaya Bali. Yaitu, para penonton dari alam nisaka (dewata, betara-betari, leluhur), warga yang memiliki upakara, dan wisatawan.
Sebelum industri pariwisata mengepung Bali, pertunjukan ritual sakral, seperti Calon Arang, Tari Legong, Tari Sang Hyang Dedari pada saat upacara agama (odalan) di pura, penontonnya adalah dari alam dewa-dewa, widiadari-widiadari, dan para leluhur.
Mereka tidak terlihat kasat mata. Kehadirannya dirasakan (orang Bali menggangap mereka sebagai makluk dari surga). Kehadirannya dengan segala manifestasinya, diundang dan diharap-harapkan dan dialami dalam banyak pertunjukan ritual sakral di Bali.
Misalnya saja, ketika upacara yang dilakukan untuk memuliakan makluk halus yang baik serta mengusir yang jahat, mungkin akan terjadi peristiwa kesurupan. Jika ada orang mengalami kesurupan, maka kejadian tersebut dianggap sebagai pertanda bahwa batara telah berkenan turun ke dunia manusia. Guna menyatakan kehadirannya yang biasanya tidak nampak itu, maka roh halus itu, mungkin akan meminta sajian makanan dan minuman atau persembahan khusus.
McKean (1974) menyatakan bahwa alam luhur atau alam gaib itu merupakan motivasi dan rasion d’etre yang sangat menentukan bagi penonton lainnya, maka penonton yang lain pun hadir. Penonton itu merupakan orang-orang desa hadir baik pada setiap odalan maupun pada upacara-upacara lain, memenuhi tempat sekitar pertunjukan (arena). Semakin ramai penonton, semakin tinggi penilaian orang Bali terhadap upacara itu.
Kategori ketiga dari tontotan terjadi pda pertunjukan yang mengikutsertakan orang asing atau wisatawan menjadi penonton. Kehadiran mereka sangat diharapkan, didorong dan disambut, selama mereka masih memperlihatkan cara-cara yang dipandang hormat oleh umum baik dari segi pakaian maupun kata-kata.
Penonton ritual sakral bertambah sejak jaman kolonial, di mana turisme telah berkembang di Bali. Terutama di daerah Badung, Ubud, Sanur, dan Kuta.
Di daerah wisata itu kegiatan pertunjukan disediakan untuk wisatawan di samping kegiatan upacara yang telah umum, seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan, potong gigi, dan melasti menjelang Hari Raya Nyepi yang merupakan semacam tontotan.
Berkembang pula tontonan yang dijadwalkan, seperti pertunjukan tari Barong dan Rangda, Legong, Sanghyang Dedari, hingga yang paling popular tari Kecak atau Mongkey Dance.
Salah satu di antara transaksi-transaksi yang penting bagi orang Bali sudah jelas, yaitu segi ekonomi berapakah penghasilan pada malam pertunjukan itu. Wisatawan membayar untuk diperkenankan memasuki alam mitos orang Bali, menjadi penonton serta mengalami seni budayanya itu. Dalam pertunjukan khusus yang diadakan untuk para tamu asing itu, penonton alam halus dan penonton lokal akan menduduki tempat kedua, meskipun dibuat sesajen-sesajen.
Kehadiran penonton wisatawan dalam pertunjukan yang digelar reguler sebagai bentuk komodifikasi yang dilakukan masyarakat Bali terhadap budaya sakral.
Dalam perkembangannya industri pariwisata yang semakin besar, kegiatan modifikasi semakin membesar dan tak terkontrol. Manusia Bali kini tak sadar bahwa aktivitas itu telah memudarkan kesakralan budaya Bali. Sebuah budaya yang disegani dan dikagumi dunia pun mulai memudar.
Motif pertunjukan semakin mengalami pergeseran. Dari tujuannya utamanya adalah dipersembahkan kepada dewata untuk mendapatkan kemakmuran bergeser disajikan kepada turis untuk mendapatkan dalar.
Kini, pandemi Covid-19 seakan membawa kembali Bali ke masa lalu. Tidak ada lagi wisatawan yang menikmati Bali. Hilir mudik di berbagai objek wisata. Menikmati matahari terbit dan tenggelam. Atau berpesta di kawasan Kuta.
Selama satu tahun, pandemi berlalu, hampir tidak turis mancanegara yang berkunjung ke Bali. Data BPS menyebutkan, jumlah turis yang datang ke Bali sejak April-Desember 2020 hanya sebanyak 808 orang. Bandingkan saja dengan tahun 2019, di tahun yang sama bisa mencapai 5-6 juta turis. Bali pun tidak akan melihat lagi turis ke Bali selama tahun 2021. Bali telah ditutup dari kedatangan turis asing hingga 2022.
Tidak hadirnya turis, maka Bali seolah kembali ke masa dulu ketika belum ada turis. Saat ini, kita mulai merasakan pertunjukan sakral Bali tanpa kehadiran turis mancanegara. Tidak ada lagi turis yang memotret mengabadikan ritual sakral di sepanjang jalan desa.
Sadarkah kita, bahwa kita kembali melakukan ritual yang ditonton oleh para dewata, betara-betari, leluhur, mahluk halus dan warga yang menggelar ritual itu.
Semoga perayaan Nyepi di tengah pandemi ini memberikan kesadaran kepada manusia Bali untuk memperlakukan budayanya seperti tetua dan leluhur. Segala bentuk ritual kembali dipersembahkan secara tulus kepada dewata untuk memohon perlindungan dan keselamatan manusia Bali dari wabah global ini bukan demi gemerincing dolar.
Astungkara! [T]