— Catatan Akhir Tahun Śaka 1942
Pernahkah berpikir kenapa dalam sejarah panjang kedatangannya Hindu ke Nusantara tidak ada jejak benturan dengan suku-suku yang telah memiliki sistem religi kuno Nusantara?
Pernahkah bertanya kenapa Hindu (Sanatana Dharma) yang menyebar ke Nusantara tidak pernah berambisi menghapus nama atau istilah Sanghyang atau Hyang, atau nama-nama dalam bahasa Nusantara lainnya?
Kenapa tidak pernah pembawa ajaran Sanatana Dharma menyalahkan dan menganggap sesat kepercayaan pada leluhur yang telah mengakar di religi Nusantara?
Kenapa bahkan setelah suku-suku Nusantara menerima Hindu mereka tetap memelihara istilah kedewataan masing-masing suku, dan tumbuh bersama mengembangkan berbagai ritual yang telah ada, dipertahankan dan diterima sebagai bagian dari Hinduisme?
1.
Hinduisme yang berkembang dan menyebar di Nusantara adalah Hindu inklusif yang berpaham ADVAITA VEDANTA.
Berdasarkan bukti arkeologis, terhitung setidaknya semenjak tahun 300 Sebelum Masehi di sisi barat Sumatera, awal abad masehi di pulau Jawa, dan sekitar tahun 500 Sebelum Masehi ditemukan peninggalan pengaruh dagang Arikamedu (pusat perdagangan kuno India Selatan) di pesisir Bali Utara (tepatnya Julah-Sembiran), telah terjadi relasi damai India Kuno dan Nusantara.
Baik paham Saiwa (paham Siwa) dan Waisnawa (paham Wisnu dan awataranya) kuno yang berkembang di Nusantara berpaham ADVAITA VEDANTA. Apa itu advaita vedanta? Apa hubungannya dengan semangat inklusivisme Hindu Nusantara?
Secara umum bisa dijelaskan sbb:
Advaita sering diterjemahkan sebagai “non-dualitas,” tetapi terjemahan yang lebih memadai adalah “non-secondness.” Artinya, tidak ada realitas lain selain Yang Tertinggi (Brahman), bahwa “Realitas tidak dibentuk oleh bagian-bagian,” atau “Realitas tidak terbelah-belah”, maksudnya bahwa tidak ada dualitas antara Esensi, atau Wujud, dari Atman dan Brahman.
Kata Vedānta adalah komposisi dari dua kata Sansekerta: “Weda” mengacu pada ‘seluruh korpus teks Weda’ atau semua ajaran Weda tertulis dan lisan, dan kata “anta” berarti ‘akhir’. Arti dari “Vedānta” bisa disederhanakan sebagai ‘kulminasi dari veda’ atau “pengetahuan tertinggi dari veda”. Vedānta dalam filsafat Hindu merupakan salah satu dari enam aliran filsafat Hindu ortodoks.
Pandangan mendasar dari paham ADVAITA VEDANTA yang berkembang di Nusantara adalah apa pun yang disembah atau dipercaya oleh suku-suku di Nusantara, di balik nama-nama pujaan aau dewata yang disembah oleh suku-suku itu “ada landasan realitas terdalam yang hakiki” yang tidak lain dalam istilah Sanatana Dharma dikenal dengan nama Brahman.
ADVAITA VEDANTA — yang menjiwai Saiva Siddhanta yang teks dan ajarannya berkembang di Nusantara — adalah ajaran, sikap dan cara pandangan yang melihat bahwa suku-suku Nusantara dan bangsa lain di luar Bharata Warsa (India Kuno), apa pun nama dan kepercayaan kedewataan yang mengakui Yang Maha Mulia itu juga mendapat berkah, karunia atau anugraha dari Brahman. Brahman hadir memenuhi jagat raya dan semua di balik yang tampak dan yang tidak tampak, dan anugraha Brahman bekerja juga di kalangan mereka yang mungkin belum mengenal istilah Brahman.
Tidak masalah apakah seseorang tidak mengenal istilah Brahman, sepanjang ia mengenal dan memahami esensi yang dirujuk atau yang dimaksud dalam istilah Brahman, seseorang berpotensi bisa mencapai manunggal dengan Brahman. Bisa saja ia menyebut Sanghyang, kalau yang dirujuk adalah “esensi dan hakikat” yang sama dengan Brahman, ia telah memahami esensi dari Sanatana Dharma.
Oleh karena itu, masyarakat yang terlahir sebagai bagian dari tradisi suku Batak, Dayak-Kaharingan, Toraja, Kei, Sasak, Bali, Jawa-Sunda, dll, yang telah memeluk Hindu dari jaman lampau, sampai periode menjelang kemerdekaan tidak banyak yang mengenal istilah Brahman. Ini bukan ada masalah sama sekali. Sepanjang telah mengenal istilah dalam bahasa dan ungkapan lokal yang esensinya merujuk pada Yang Mutlak Tertinggi Tunggal Maha Segala-nya itu, maka sudah dengan sendirinya mengerti esensi Brahman yang dimaksud.
Dengan semangat inklusif tersebut para guru suci atau maharsi yang membawa ajaran Sanatana Dharma ke Nusantara tidak menggebu-gebu berambisi melakukan “Indianisasi” peristilahan dan ritual di Nusantara. Tugas utama dari para Rsi terdahulu adalah menemukan “spirit kesadaran Sanatana Dharma” yang tumbuh dalam religi-religi Nusantara, untuk kemudian dirawat dan didampingi, untuk bertumbuh mendewasa bersama dengan Sanatana Dharma.
2.
Para pembawa ajaran Siwaisme kuno, dan juga pembawa ajaran Saiwa-Wesnawa, yang semuanya berpaham ADVAITA VEDANTA, datang pertama kali ke Nusantara menerima dan mengakui keberadaan ruh-ruh dan konsepsi religi Nusantara yang telah ada. Para leluhur pembawa Sanatana Dharma berpaham Advaita Vedanta memahami bahwa ada kerja keilahian dan kemuliaan Brahman di balik semua religi-religi purba Nusantara. Sekalipun tidak menyebut Brahman, tapi menyebut dengan bahasa suku masing-masing, seperti Hyang Tunggal, Hyang Licin, Taya, dstnya, dipahami bahwa di baliknya ada keesaan dan kemanunggalan Brahman yang hakiki.
Aliran perguruan Sanatana Dharma yang berbasis garis silsilah perguruan (parampara) dan keluarga (gotra), seperti Agastya Gotra (parampara/silsilah diksa para pewaris ajaran Rasi Agastya) dan Markandeya Gotra (parampara/silsilah diksa para pewaris ajaran Rsi Markandeya) yang dipercaya sebagai pembawa ajaran Sanatana Dharma ke Nusantara secara prinsip menganut paham ADVAITA VEDANTA. Ajaran Saiwa dan Waisnawa tidak dipertentangkan, ditambah dengan Jina dan Buddhisme, dipertemukan dalam bingkai ADVAITA VEDANTA.
3.
Sementara itu, religi suku-suku Nusantara sebagian besar bersifat panteisme (pantheisme). Yang secara harafiah mengandung arti bahwa “Tuhan adalah Semuanya” dan “Semua adalah Tuhan”. Suku-suku di Nusantara punya kesadaran mendalam bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Maha Pencipta dan di dalamnya Maha Pencipta terus bekerja dalam alam dan diri manusia. Bahwa Alam Semesta, atau alam beserta isinya, termasuk manusia di dalamnya, dan Tuhan adalah “manunggal”.
Pandangan panteisme ini di kalangan suku-suku di Nusantara berbaur dengan pandangan panenteisme, yang meyakini bahwa alam adalah bagian dari Tuhan.
Pertemuan paham ADVAITA VEDANTA dengan religi suku-suku Nusantara — yang berkecenderungan memiliki pandangan panteisme yang berbaur dengan pandangan panenteisme — menyebabkan kedua belah pihak tidak pernah saling berbenturan, malah saling sambut, saling melengkapi. Dari sisi pandangan Siwaisme yang ADVAITA VEDANTA, religi purba Nusantara dilihat memiliki potensi kemuliaan yang mana di balik religi suku-suku ini ada esensi Brahman. Demikian juga dari sudut pandang suku-suku kuno Nusantara, kedatangan ajaran ADVAITA VEDANTA bukan ancaman, tapi melengkapi bahkan “menambahkan perbendaharaan Sungsungan/Sesembahan”. Jika disederhanakan, kalau sekelompok orang menganut paham panteisme diberitahu ada istilah Dewata lain dan konsepsi lain dengan berbagai dewa-dewa lain boleh dipilih sebagai dewata, maka pengetahuan kedewataan baru ini adalah “bonus”. Tambahan informasi yang memperkaya pemahaman yang telah mereka miliki. Bukan ancaman.
Sebagai contoh: Punden Berundak dan Menhir tidak dipertentangkan dengan Percandian dan Lingga. Pengarcaan dewata ajaran Sanatana Dharma tidak pernah dipertentangkan dengan pemuliaan “pratima suci” dari leluhur Nusantara. Keduanya adalah perwujudan luar yang bisa saling menggantikan. Semua ritual dan sebutan pada kedewataan dalam suku-suku Nusantara adalah “perbedaan bahasa” untuk memuliakan Hyang Maha Mulia, hakikat Dewata yang universal sama. Semua tatacara persembahyangan pada Mulajadi na Bolon, Hyang Taya, Hyang Guru, Hyang Maha Mulia, yang ada dalam suku-suku Nusantara diterima sebagai cara memuliakan Brahman.
4.
Nusantara mungkin tidak akan pernah dijiwai Hinduisme jika saja yang dahulu datang adalah Hinduisme ekslusif. Apakah itu Hinduisme ekslusif? Hinduisme ekslusif adalah paham yang akarnya Hinduisme tapi berkembang dan mengarah belakangan mengusung ekslusivisme, menjadi fanatik menganggap satu nama Tuhan atau satu figur saja yang disembah kelompoknya yang “superior” dan yang lain dianggap “inferior” bahkan keliru. Demikian juga dalam pembacaan teks suci atau interpretasi kitab, interpretasi kelompoknya disebut sebagai “superior”, paling dianggap benar, di luar kelompoknya dianggap “inferior”. Jika Hinduisme ekslusif yang datang ke Nusantara di masa lalu, maka tidak bisa dibayangkan Hinduisme bisa diterima di tengah suku-suku kuno di Nusantara. Hinduisme inklusif, bukan ekslusif, yang menorehkan sejarah penting yang penuh kedamaian dalam sejarah religi di Nusantara.
Beberapa suku di Nusantara yang sekarang secara formalnya menganut Hindu, masih cukup kuat memegang konsepsi religi kuno Nusantara, yang secara spirit berpaham panteisme, dan berbaur dengan pandangan panenteisme, hanya bisa nyaman dengan ajaran Hindu berpaham ADVAITA VEDANTA atau paham Hindu inklusif. Jika ada pihak-pihak yang membelokkan ke ajaran yang bersifat ekslusif, yang mengajarkan hanya satu interpretasi kitabnya saja yang paling benar, atau hanya satu nama Tuhan saja paling “superior”, bisa dipastikan akan ditolak dan memunculkan benturan internal umat.
5.
Inklusivisme Hindu di Nusantara telah melalui jalan panjang, berjalan dan bertumbuh bersama dengan religi-religi kuno suku-suku Nusantara, yang telah ada bertumbuh jauh sebelum kedatangan Hinduisme. Hanya dengan memahami dua sisi yang bisa saling berjumpa ini, dalam jiwa insklusivisme Hindu — bukan dengan mengembangkan dan menyebarkan ekslusivisme Hindu — masyarakat kita akan bertumbuh sehat tanpa benturan internal. Munculnya potensi benturan, terjadinya gesekan mengarah benturan, atau penolakan keras, serta kegaduhan internal umat Hindu di Nusantara bisa diinvestigasi dan bisa dimonitor titik sentrumnya terletak pada seberapa agresif penyebaran “Hindu berpaham ekslusif” menyebar dan berkembang, pasang ancang-ancang menguasai institusi dan komunitas Hindu di Indonesia. Ini bisa melebar, bukan akan menimbulkan kejadian benturan internal, tapi akan berkembang ke benturan eksternal dengan agama lain jika paham Hindu ekslusif berkembang menjadi paham mayoritas di kalangan Hindu di Nusantara.