Siapa sebenarnya yang memberi label pada orang lain; sebagai kaum pemalas, kaum “Yes Man”, atau kaum penganut jam karet, misalnya? Saya sepakat dengan ungkapan “Orang Bali jamnya karet,” tapi dulu. Apabila sekarang masih ada yang menujukan kesimpulan itu pada semua orang, saya akan menyarankannya untuk sekali-sekali main-mainlah ke kampung-kampung, dan sekali saja—diucapkan dengan volume kecil namun nada tinggi—untuk mengikuti persiapan upacara adat.
Jam karet memang berlaku, tapi jangan mengikat semua orang, seluruh sikap, dan setiap hal dalam karet-karetan itu. Masalahnya begini lo, wan-kawan; pada suatu hari hidup seorang putri cantik yang menunggu pangeran ayah saya meminta bantuan pada saudara dan tetangga untuk mempersiapkan sesajen upacara. Karena persiapannya cukup banyak—seperti biasa—jadi kegiatan akan dimulai pagi-pagi buta; pukul empat pagi.
Saya curiga pada diri saya sendiri, sebab bangun jam 4 pagi adalah ilusi bagi saya. Nah, karena itu, saya memutuskan untuk tidak tidur. Itung-itung sambil menjaga sesajen agar tidak diporak-porandakan kucing atau anjing. Hingga jam 3 pagi, saya belum juga tidur, sementara saudara seumuran yang mestinya berjaga sudah lelap.
Tiba-tiba, anjing saya menggonggong, karena khawatir ia mendapati kucing yang akan mencuri makanan dari banten, saya mendekati anjing itu; dan rupanya tak lain dan tak bukan, yang digonggong itu adalah saudara saya yang sudah lengkap dengan pakaian adat: udeng, kamen, dan perkakas.
Segera saya bangunkan saudara yang masih lelap. Mereka langsung meloncat dan pergi ke kamar mandi dan bergegas menggunakan pakaian serupa. Sementara paman, bibi, dan orang tua saya rupanya sudah siap pula. Tidak lama berselang, tetangga dan saudara-saudara yang dimintai bantuan mulai meramaikan rumah. Saya lihat jam, dan jarum jam saya menunjukkan jam empat kurang. Sementara itu, saya berkesimpulan: jam tangan saya rupanya lebih karet dari pada jam-jam saudara saya.
Tak ada jam karet untuk urusan adat. Saya pernah mengalami karet-karetan ini dan rasanya memang memalukan. Ketika itu, saya hendak datang ke rumah tetangga yang sedang melakukan persiapan upacara, saya memakai kaca mata jam karet. Kegiatan itu semestinya dimulai pada pukul 05.00 Wita, saya berpikir menunda tidur beberapa menit, “Palingan ngaret,” pikir saya, dan sialnya, saya terlambat: mata saya masih merah, bekas bantal masih melintang di pipi, dan rambut saya rapikan hanya dengan jari. Sesampai di tempat tetangga, saya merasa bingung harus mengerjakan apa ketika orang-orang sudah mengambil pekerjaannya masing-masing.
Jika kita datang terlambat ke rumah saudara atau tetangga untuk membantu persiapan, memang tidak akan ada yang menegur, tetapi rasanya itu seperti ketinggalan bus untuk tamasya: kebayang ‘kan?
Kita harus bergegas memilih tugas yang bisa diambil sebelum ibu-ibu membawakan sumping atau teh dan kopi. Bila itu terjadi, sama saja kita menerima gaji buta dan menambah rasa tak enak. “Masak saudara dan tetangga kerja dulu baru dapat minuman dan jajan, sementara kita yang posisinya sama, datang-datang langsung nyeruput kopi, misalnya?” Dalam situasi seperti ini, kita akan beruntung bila ada kegiatan yang membutuhkan orang banyak, biasanya manggang sate. Tapi, celakalah kita bila itu sudah selesai.
Nah, ini tips ampuh bagi kawan-kawan yang mengamini dirinya sebagai penganut jam karet, kalau kawan-kawan terlambat, langsung saja jongkok di pinggir api, mainkan saja batok kelapa yang dibakar. Itu pun biasanya hanya diisi anak-anak muda, saya sih tak masalah, tapi untuk orang tua, hal itu akan terkesan aneh, sementara kalau bengong-bengong tanpa mengerjakan sesuatu, sedikit tidak berarti pemalas atau lugu, dan kedua itu berarti sama: memalukan.
Dalam hal ini, waktu memang sangat ketat. Tidak ada waktu karet, tapi justru waktu plastik kepanasan; alias mengetat. Saya ingin mengusulkan satu hal kongkret yang bisa mengubah Dunia anggapan awal itu: de-pang baanga anake ngadanin! Mungkin dalam beberapa hal, kita memang penganut waktu karet, tapi jangan dikaburkan, seolah-olah dalam segala hal, semua orang, berpegangan pada konsep itu.
Saya khawatir; jangan-jangan orang Bali belum bisa menerjemahkan dirinya sendiri, sehingga orang lainlah yang lebih banyak menerjemahkan kebiasaan, sikap, dan kebudayaan kita. Di satu sisi orang bali sangat terbuka, tapi kiranya kita perlu berada di antara: menerima hal yang berasal dari luar dan membaca diri secara teliti dari dalam. Dalam banyak hal, kita sering disodorkan konsep-konsep asing yang menyenangkan; Bali dengan penduduknya yang ramah-ramah, Bali sebagai pulau surga, Bali memiliki budaya adiluhung, Bali memiliki adat yang kuat, Bali itu terbuka alias open-minded, yang semua itu terangkum menjadi: Bali itu indah.
Tapi pertanyaannya, siapa yang menamai Bali demikian? Benarkah seperti itu? Kita tidak perlu betul-betul menutup diri sebab, dari luar kita akan mendapat referensi untuk membaca diri; seperti menatap diri lewat cermin, tapi cermin hanya memberi bayangan, bukan diri kita yang sesungguhnya. Di sisi lain, kita perlu meraba, melihat, mencium, dan mendengar diri sendiri untuk kemudian melabelinya.[T]