12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dua Kota Dua Ingatan | Memaknai Oposisi Biner pada Puisi “Orang-orang Gila”

I Made KridalaksanabyI Made Kridalaksana
March 3, 2021
inUlasan
Dua Kota Dua Ingatan | Memaknai Oposisi Biner pada Puisi “Orang-orang Gila”
  • Judul : Dua Kota Dua Ingatan
  • Penulis : Angga Wijaya
  • Penerbit : Basabasi
  • Tahun terbit : 2019
  • Cetakan ke- : Pertama
  • ISBN : 9786237290001
  • Tebal buku : xii + 106 halaman
  • Dimensi buku : 14 x 20 cm

I Ketut Angga Wijaya—nama lengkap penulis kumpulan puisi Dua Kota Dua Ingatan—lahir di Negara, Bali pada 14 Februari 1984. Ia termasuk penulis yang produktif.  Terbukti, pada tahun 2019 saja, selain Dua Kota Dua Ingatan ini, ia menghasilkan tiga buku tunggal lainnya yakni sebuah kumpulan esai Masa Depan itu Nisbi dan dua kumpulan puisi yakni Taman Bermain dan Notes Going Home. Dibandingkan Taman Bermain yang sudah lebih banyak menghadirkan puisi-puisi “orang normal”, pada kumpulan puisi Dua Kota Dua Ingatan ini masih ada beberapa “sisa” puisi dengan tema seputar “orang gila”—Orang dalam Skizofrenia (ODS)— yang belum sempat masuk pada bukunya yang pertamanya, Catatan Pulang.

Pada Dua Kota Dua Ingatan ini Angga Wijaya menuangkan 63 puisi ciptaannya seputar tahun 2018. Tema-temanya berkisar pada pengalaman pribadi, lingkungan sekitar, renungan, serta kegelisannya tentang hal-hal yang terjadi di luar dirinya serta cinta. Membaca kumpulan puisi ini, kita akan menikmati pusi langsung dari “narasumber” sekaligus “praktisi” skizofrenia. Sebagaimana diunggah media sosialnya, Angga Wijaya kerap diundang sebagai “bintang tamu” pada acara-acara berkenaan dengan skizofrenia. Ia juga mantan penyintas skizofrenia, penyakit yang masih distigma masyarakat sebagai kena kutukan, kurang iman, masalah karma, salahang bhatara, dan karena disantet atau diguna-guna, dan sejenisnya, sebagaimana ia tulis pada Masa Depan itu Nisbi (2019: 8). Terdapat juga puisi on the spot—puisi yang ditulisnya saat dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa akibat menyintas penyakit tersebut.

Sebagaimana dikutip dari alodokter.com skizofrenia atau schizophrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Akibatnya, penderita mengalami halusinasi maupun waham (delusi). Halusinasi adalah perasaan mengalami sesuatu yang terasa nyata, namun sebenarnya perasaan itu hanya ada di pikiran penderitanya, misalnya, merasa mendengar sesuatu, padahal orang lain tidak mendengar apapun. Sementara, waham atau delusi adalah meyakini sesuatu yang bertolak belakang dengan kenyataan. Gejalanya beragam, mulai dari merasa diawasi, diikuti, atau merasa dirinya paling hebat atau paling kuat (megalomania). Berdasarkan pengertian ini saya mencoba menerka-nerka keberadaan puisi-puisi “orang gila”—yang bertemakan skizofrenia—pada kumpulan puisi ini. Kemungkinan puisi-puisi tersebut adalah “Insomnia 2”, “Karcis No. 213”, “Lorong”, “Asylum”, “Suara”, “Buku-Buku Tidak Bisa Menolongmu”, dan beberapa lagi yang lainnya—termasuk puisi “Dua Kota Dua Ingatan”.

Puisi yang kentara unsur halusinasinya adalah “Suara” (hal.62-63). Puisi ini berkisah tentang si aku lirik yang merasa mendengar suara orang-orang sekitar yang membicarakan dirinya—dalam konteks negatif—seperti menggosipkan, menghina, merundung serta perlakuan verbal yang kurang terpuji lainnya. Padahal sejatinya, tidak demikian. Mari kita simak puisinya.

//Kututup pintu, agar suara-suara tak terdengar/Menghina dan merendahkan, berasal dari tetangga yang berbincang di kamar sebelah//.…//Suara-suara itu tetap kudengar/Masuk lewat lubang angin/Aku mencoba tak peduli/Kutelan obat redakan itu/Berharap semua tak nyata/…/Seperti dikatakan psikiater/”Skizofrenia paranoid,”ujarnya/Tak ada yang membicarakanmu/tak ada yang peduli padamu//.

Puisi ini barangkali mengingatkan kita yang mengaku “normal” jangan-jangan kita juga sudah terpapar gejala halusinasi. Sebab istilah halusinasi ini kerap kita dengar diucapkan berbagai kalangan baik di televisi, media sosial termasuk media daring.

Wahab atau delusi dapat kita lihat pada Puisi “Buku-Buku Tak Bisa Menolongmu” (hal. 74). Puisi berlatar skizofrenia ini sejatinya juga adalah gambaran fenomena dalam keseharian kita. Kerap kali kita merasa sudah menjadi apa yang kita inginkan padahal kenyataannya justru sebaliknya. Sebagaimana dalam puisi ini, digambarkan si aku lirik merasa dirinya adalah penulis hebat yang setara dengan para penulis yang sudah termasyur. Padahal sejatinya, bukan. Mari kita simak puisi tersebut.

//Menuju kamar, tumpukan buku temani harimu/Bertahun-tahun kau kumpulkan, jadi amunisi kala menulis bagi penulis-seniman sepertimu./…//Di kamarmu tak ada buku-buku dan kau bukan penulis. Sewaktu kecil kau ingin jadi penulis/Orang tuamu menjadikanmu pegawai bank/Di bank kau kerap membaca puisi keras-keras/Kau dipecat dan dianggap sakit jiwa./….//.

Puisi ini mengingatkan kita untuk belajar dari kasus gila secara “massal” calon anggota dewan yang gagal melenggang ke gedung dewan pada pemilihan beberapa tahun yang lalu. Melihat massa yang hadir selalu membludak setiap kampanyenya serta dikompori janji bombastis tim sukses menyebabkan mereka sudah menang. Padahal ternyata mereka kalah.

Pada penggalan masing-masing dari kedua puisi di atas, baik yang mengandung halusinasi maupun delusi, sama-sama memperlihatkan satu hal yang bertentangan dengan hal lainnya. Apa yang dirasakan oleh orang yang mengalami gejala halusinasi sebenarnya bertentangan dengan realitasnya. Demikian pula apa yang dirasakan oleh orang yang mengalami gejala delusi juga bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya.

Pertentangan-pertentangan tersebut adalah suatu bentuk pola oposisi biner—yang menurut Levis Strauss merupakan sepasang istilah atau konsep yang maknanya saling berlawanan. Lebih lanjut, sebagaimana saya kutip dari Dian Susilastri (2019) dalam makalahnya tentang Oposisi Biner dalam Interaksionisme Simbolik pada Cerita Pendek ‘Tentang Perempuan Tua’ (TPT) Karya Benny Arnas, oposisi biner dikatakan sebagai produk penandaan di mana hanya ada dua kata atau tanda yang memiliki arti apabila masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain.

Bagi saya, kover depan buku ini sudah merepresentasikan Dua Dunia Dua Ingatan yang memiliki kesan oposisi biner—satu hal bertolak belakang dengan hal lainnya. Obyek-obyek dalam gambar tersebut melambangkan realitas kehidupan di dunia (disimbulkan dengan bulatan meja putih yang besar) yang terdiri dari lembar-lembar kehidupan (yang disimbulkan dengan halaman-halaman buku) yang tidak dapat terlepas dari oposisi biner atau dua hal yang saling bertentangan, yakni: hal-hal yang ‘lembut’, ‘halus’, baik serta menyenangkan (disimbulkan garpu) serta sebaliknya—hal-hal yang ‘keras’. ‘kasar’, kurang baik atau kurang menyenangkan (disimbulkan dengan pisau). Sekali lagi ini pemaknaan saya pribadi.

Pada puisi “Dua Kota Dua Ingatan” (hal. 30-31), puisi yang sekaligus menjadi judul buku kumpulan puisi ini, Angga Wijaya sudah “memilah” puisi panjang tersebut ke dalam dua ‘bagian’—istilah yang saya pakai untuk menyebut pengganti ‘bait’—untuk mewakili kedua hal yang saling bertentangan tersebut. Bagian pertama atau /1/ yang bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan seperti keindahan, kenikmatan, kebahagiaan, kekayaan, kesuksesan, dan sejenisnya. Sementara, bagian kedua atau /2/ berhubungan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan seperti kesedihan, penderitaan, kegagalan, penyesalan, kemiskinan, dan sejenisnya.

Hal-hal yang menyenangkan digambarkan sebagai kunjungan ke kota S yang nota bene bukan tempat kelahiran si aku lirik. Kota itu hanyalah semacam persinggahan sementara di mana ia pernah tinggal ‘menumpang’ di rumah bibinya. Di sini si aku lirik mendapatkan kenangan manis seperti jejak-jejaknya menyusuri jalan-jalan kota, bangunan-bangunan yang masih asli, kenangan akan sekolah dengan kisah-kasihnya yang berbunga-bunga, rumah bibi didatangi burung sriti yang memberi rejeki, makanan yang enak, dan sebagainya. Mari kita simak bagian /1/ puisi “Dua Kota Dua Ingatan” (hal. 30).

//Berkunjung ke kota S, kulihat jejakku di jalan-jalan kota. Sekolah masih seperti dulu, bangunan tua yang terjaga keasliannya/Teringat dulu mengucap cinta di tangga pada gadis kurus berkacamata, pada lipatan surat di buku yang terbaca dengan hati yang berbunga/Terkenang bibi yang menampungku selama di kota itu/Pagi hari ke pasar membeli sayur dan ikan, bibi memasak makanan terlezat yang pernah kumakan/…/Walet mendatangkan rejeki yang tidak sedikit, bibi tak perlu berjualan bunga dan rajutan, hingga usia tua dan kematian menjemputnya//.

Penggalan-penggalan puisi ini menyiratkan bahwa jika dikaitkan dengan tubuh manusia, aksesori atau hal-hal menyenangkan ini adalah “penghias” tubuh bagian luar seperti pakaian yang bagus, kulit yang dapat dipermak dengan cara operasi plastik, seperti mobil bagus, kedudukan yang istimewa, rumah megah, dan lain-lain.

Sebaliknya, hal-hal yang kurang menyenangkan, digambarkan sebagai kunjungan si aku lirik ke kota N. Di kota yang sekaligus adalah rumah tempat ia lahir serta pernah dibesarkan yang didapatkan justru mendapatkan suasana rumah yang sepi serta tidak terawat, ibunya yang sepuh, kamar yang tak terurus, buku-buku tidak terbaca, kuliah terbengkalai, tak ada mata pencaharian, rasa frustrasi bahkan nyaris bunuh diri. Mari kita simak bagian /2/ puisi Dua Kota Dua Ingatan tersebut (hal. 31).

//Berkunjung ke kota N, kota di mana aku lahir dan besar, kujumpai ibu yang kian renta di usia senja/Rumah sepi, hanya ibu yang ditemani kakakku./Kamarku berdebu, juga buku-buku teronggok di lemari, tak tersentuh tangan manusia./Buku-buku itu sewaktu kuliah, kuliah yang tak rampung karena skizofrenia menyerang sepuluh tahun lalu./Aku terpaksa pulang, tak ada masa depan bagi pengidap gangguan jiwa sepertiku./Kulalui hari-hariku dengan diam, langit terasa mau runtuh, mimpi dan harapan sirna, tidak ada yang peduli./Tak punya pekerjaan, merasa tak berguna, terkadang ingin mengakhiri hidup agar tidak lagi menderita./…//.

Jika diibaratkan tubuh manusia, penggalan-penggalan puisi ini menandakan tubuh yang kotor atau masih diselimuti dosa, hati yang belum bersih, pikiran yang belum matang, jiwa belum stabil, otak yang masih “kosong”, dan sebagainya.

Kedua bagian puisi di atas /1/ dan /2/ mengajak kita menyeimbangkan keadaan “dalam” dengan “luar” tubuh. ‘Aksesori’ luar tubuh seperti pakaian bagus, penampilan fisik keren, jabatan yang tinggi, mobil yang bagus, makan yang lezat, dan hal-hal positif lainnya mesti diimbangi dengan ‘isi’ dalam tubuh seperti sikap, perasaan, etika, pengetahuan, spiritual, dan hal-hal positif lainnya sebagainya.

“Puisi “Saraswati” (hal. 2) adalah yang mengekspresikan renungan Angga Wijaya sebagaimana fenomena yang ia potret di sekitarnya. Puisi ini menyiratkan keikhlasan, kerelaan, dan kepasrahan. Kita mesti merelakan jika sesuatu yang berharga suatu saat “diminta” oleh yang lebih “membutuhkan”. Mari kita simak puisinya.

//Dulu, ayahku punya sebuah lukisan Dewi cantik nan anggun wibawa/Pemberian tamu saat mengantar turis pergi ke Ubud, membeli lukisan di banyak galeri//Lukisan itu menghiasi ruang tamu/Rumah kami begitu indah kulihat/Kini tak ada lagi, ayah menjualnya/Sewaktu berhenti menjadi sopir/Belasan tahun silam terkenang//.

Puisi ini juga mengajak kita lebih bijak mengelola apa yang sudah kita miliki serta bisa membedakan kebutuhan dan keinginan. Sebagai perbandingan, sebelum pandemi Covid-19 mewabah, orang-orang sangat menikmati eforia dunia kepariwisataan di Bali. Turis banyak datang sehingga mencari uang pun relatif lebih gampang. Bagi orang-orang yang bisa menyisihkan penghasilannya saat itu barangkali masih bernafas meski orang lain kini sangat bergantung pada bantuan pemerintah untuk sekadar bisa makan tiga kali sehari.

Jangan terlena dengan romantisme masa lalu. Zaman terus berubah. Begitu kira-kira pesan yang ingin diungkapkan Angga Wijaya pada puisi “Tanah Lot” (hal. 10). Kita diajak tidak menyerah dengan situasi yang terjadi di era digital ini. Puisi ini mengajak kita untuk terus mengikuti perkembangan zaman, belajar hal-hal baru, melakukan inovasi, memperbaiki mutu produk, meningkatkan layanan, dan sebagainya. Kedengarannya klise. Tapi, mau tidak mau, itulah yang terjadi sekarang. Mari kita simak puisinya.

/Pantai dan pura ramai turis/Berfoto di antara karang laut//Ibu penjual kartu pos gontai/Tidak ada turis yang membeli//Kenangan tak lagi ditulis rapi/Kini diabadikan dalam ponsel//Banyak yang berubah sekarang/Selfie dan wefie gantikan semua//.

Angga Wijaya juga mengungkapkan kegelisahan terhadap ketidakadilan yang menimpa masyarakat lemah. Contohnya kaum buruh. Meski mereka sudah dengan sepenuh hati mengabdikan diri pada perusahaan tempat bernaung, jika terjadi permasalahan menyangkut nasib, tidak gampang bagi mereka memperjuangkannya. Mari simak puisi berjudul “Sanur” (hal. 32).

//…/Ayah baru saja dapat tamu/Kabar gembira bagi ibu dan kakakku di kampung/Kami jadi bisa bayar SPP/Setelah lama menunggak//Namun, ada kabar sedih. Ayah akan di-PHK/Perusahaan kolaps/Ayah dan kawan-kawan berdemo tuntut keadilan/Nasib kami di tangan korporasi, kaum buruh selalu kalah dan mengalah//.

Puisi ini adalah “pembelaan’ kepada kaum lemah sekaligus “permintaan” kepada pengusaha dan pemerintah untuk lebih bijak dalam memperhatikan hak-hak buruh sebab para buruh juga aset perusahaan dan bangsa.

Kegelisahan Angga Wijaya akan ketidakadilan yang dialami rakyat kecil juga bisa disimak pada puisi “Kuningan” (hal. 13). Pada puisi ini kita melihat ketidakadilan bagaimana para pedagang kecil yang mengharapkan rejeki dengan berjualan canang—sarana persembahyangan berbahan daun kelapa ditaburi beraneka bunga yang diperlukan di hari raya Kuningan tersebut—justru berbuah air mata. Lapak-lapak beserta barang dagangan mereka diangkut oleh petugas.

//…/Pagi hari, kau/Haturkan sesaji/Dupa dan kidung/Hening membenam/…//Di Wangaya,/ Pedagang menangis/Petugas membawa Lapak canang, katanya Melanggar aturan dan ketertiban./Senator Marah,mereka akan dipanggil usai hari raya/Diskriminasi terasa//…./Apa salah kami/Penguasa bisu/Tak bersuara/Suara kami/Dihargai/Hanya saat/Kampanye/Setelah itu/Sepi…//.

Puisi ini bisa jadi adalah kritikan kepada pemegang otoritas yang hanya ‘tegas’ jika berhadapan dengan rakyat kecil. “Wong cilik” dianggap “raja” hanya saat perhelatan pemilihan tiba. Setelah pemilihan, bak penyintas skizofrenia tak ada yang mendengar suara “halusinasi” mereka. Sebab, dengan perisai aturan serta undang-undang, para pemegang otoritas dengan mudah mengubur “delusi’ mereka.

Pada puisi lainnya, Angga Wijaya juga membagi kegelisahannya—mungkin sekaligus pengalamannya—bahwa bagi para penyintas skizofrenia tidur merupakan sesuatu yang sangat berharga. Mereka memerlukan “perjuangan ekstra” agar tidak “iri” saat melihat para pengemis yang bisa tidur dengan mudah di emper-emper toko mesti mereka tidak mengkonsumsi obat apa pun. Mari kita simak puisi “Insomnia 2” (hal. 75).

//Aku tak bisa tidur/Otak bekerja terus/Tak henti-berhenti/Subuh kian datang/Mata tak jua pejam//…//Kau tertidur di sisiku/Aku cemburu pulasmu/Berikan aku obat tidur/Sempurnalah istirah!//

Puisi ini sepertinya juga bentuk sindiran kepada para petinggi negeri serta wakil rakyat kita agar tidak mudah “tidur” dalam hal memperjuangkan kepentingan serta kesejahteraan rakyat sebagaimana disuarakan Iwan Fals melalui lagunya, “Wakil Rakyat”.

Puisi “Pasar Sindhu” (hal. 57) mengetengahkan renungan serta kegelisahan seorang Angga Wijaya tentang dilema akibat pergaulan kita dengan masyarakat dunia. Orang-orang asing yang banyak datang dan tinggal di negara kita mengakibatkan banyak perubahan. Tempat yang dulunya sepi dan masyarakatnya bersahaja kini mau tidak mau atau sekadar ikut-ikutan berubah menjadi ramai dan modern. Mari kita simak pada puisinya.

//…/Hidup begitu bersahaja/Di desa yang dulu sepi/Kini ramai oleh turis/Nikmati pantai dan bar/Berjejer sepanjang jalan/…//.

Puisi ini mengingatkan kita untuk melakukan pengaturan baik terkait “keramaian” ini. Kedatangan orang-orang asing termasuk budaya mereka bukan tidak mungkin memengaruhi ‘local genus’ yang sudah kita miliki. Jangan sampai “harta benda” kita seperti sifat ramah, sopan santun, tolong-menolong serta budaya adiluhung lainnya tergerus sebagaimana bisa disimak juga pada puisi “Melodrama” (hal. 60). //O, negeri kaya ramah-tamah/Ke mana budaya leluhurmu/Tergilas laku barbar dan kasar/Tak kujumpai lagi sopan santun/Barang langka hanya kenangan.//. Puisi ini boleh jadi merupakan sebuah otokritik kepada diri kita masing-masing untuk lebih mengenal, menumbuhkan serta mengaplikasikan kembali budaya serta ‘adat’ ketimuran yang pernah kita bangga-banggakan ke seluruh dunia tersebut.

Pada puisi “Kamar Kos dan Demokrasi” (hal. 66) Angga Wijaya merekam pengalaman yang berlatar implementasi prinsip-prinsip demokrasi di lingkungan masyarakat urban. Meski tinggal di atap yang sama tapi pada dasarnya masing-masing pribadi memperjuangkan nasib sendiri-sendiri.

//Aku belajar sesuatu dari hidup dan tinggal di rumah kos; sebuah demokrasi!/Kami hidup sendiri-sendiri, dengan berbagai pekerjaan, perjuangan dan nasib yang dipikul masing-masing penghuni.//…/Hiduplah di rumah kos, kau akan paham arti hidup bersama dan berdampingan./…//.

Puisi ini menyiratkan pesan untuk saling menghargai meski kita berasal dari latar belakang suku, ras, agama, profesi, pendidikan, status sosial maupun pebedaan yang lainnya.

Angga Wijaya juga menulis kegelisahan-kegelisahannya mengenai lingkungan. Salah satunya adalah kenangannya akan sungai yang membelah jantung kota Denpasar yang dulunya tidak elok dan kotor kini berubah menjadi lebih tertata, bersih, dan indah. Tidak heran tempat itu menjadi salah satu surga bagi penghobi swafoto khususnya di malam hari agar dapat menangkap suasana air sungai dengan pantulan cahaya lampunya. Namun kesan indah tersebut menjadi ternoda ketika terjadi hujan lebat yang berpotensi mengirm sampah. Simaklah puisi “Tukad Badung” (hal. 79).

//Sungai ini dulu kotor/Kini rapi dan tertata/Banyak orang ke sini/Duduk di pinggir sungai/Pandangi air mengalir/Berfoto berlatar lampu-lampu warna-warni//Berada di sini seperti melihat Ijo Gading di kampungku/Luas dan deras kala hujan/Kini penuh sampah dan serapah//.

Puisi ini menjadi penyampai pesan—terutama masyarakat yang tinggal di hulu sungai—untuk bersama-sama menjaga kebersihan serta keindahan sungai mungkin dengan cara tidak membuang sampah ke badan sungai, menanam pohon pelindung, maupun secara berkala melakukan gotong-royong pembersihan sungai.

Puisi bertema kegelisahan, cinta sekaligus renungan bisa kita simak pada puisi “Catur Muka” (hal.81). Catur Muka adalah patung dengan empat muka yang mengarah ke empat arah yang terletak di kilometer 0 kota Denpasar. Angga Wijaya melalui si aku liriknya menceritakan ironi tinggal di kota di era digital ini. Kini, orang-orang sudah tidak seramah dulu, bersosialisasi hanya jika ada kepentingan, kurang peduli serta cinta kasih pada sesama, serta lunturnya nilai-nilai budi pekerti luhur di kalangan kita. Mari simak puisinya.

//Bangku taman bisu/Tak ada percakapan/Sepasang kekasih/Kota kehilangan cinta//Kubayangkan merpati/Terbang tinggi seperti Praha atau Paris, di mana orang/Tak hanya hidup/Untuk perut sendiri//.

Puisi ini kembali mengingatkan kita untuk lebih mengenali, menumbuhkan, serta menerapkan budaya kita yang kita kenal dengan ‘adat ketimuran’ tersebut unttuk membangun kehidupan yang harmonis dan damai—sedamai kepakan sayap-sayap merpati.

Demikian sekelumit “pemaknaan” saya terhadap puisi “orang-orang gila”—Dua Kota Dua Ingatan—terutama puisi-puisi yang saya rasa mengandung hal-hal yang bersifat oposisi biner. Tentu masih banyak puisi di dalamnya yang bisa “dibaca” lagi untuk melakukan interpretasi serta pemahaman kumpulan puisi ini secara lebih utuh. Setiap orang boleh memiliki interpretasi masing-masing terhadap puisi-puisi di dalam kumpulan puisi Angga Wijaya ini sebab puisi-puisi tersebut bisa saja bersifat prismatik—suatu peristiwa atau kata atau citra mampu memberikan berbagai macam ‘warna’ atau makna—sebagaimana dikatakan Sapardi Djoko Damono (SDD) pada bukunya Bilang Begini Maksudnya Begitu.

Dua Kota Dua Ingatan ini perlu dibaca oleh siapa saja selain untuk menyelami pengalaman penulisnya juga untuk menumbuhkan kembali nilai-niliai luhur bangsa termasuk kepedulian terhadap sesama anak bangsa yang salah satunya adalah mengurangi stigma negatif yang disematkan kepada penyintas skizofrenia. Selamat menikmati. [T]

Tags: Bukukumpulan puisiPuisiresensi buku
Previous Post

Bagaimana Surat Pertama Ditulis | Cerpen Rudyard Kipling

Next Post

12 Makna | 12 Bulan Covid-19

I Made Kridalaksana

I Made Kridalaksana

Lahir di Bongkasa, Badung, Bali, tahun 1972. Pendidikan terakhir S2 Linguistik di Universitas Udayana Denpasar (2007). Kini, guru di SMA Negeri 2 Mengwi, Badung, Bali. Puisi-puisi penulis terhimpun pada antologi bersama: “Mengunyah Geram, Seratus Puisi Menolak Korupsi” (2017), dan banyak lagi.

Next Post
Hal-hal Lucu Saat Wabah Covid-19

12 Makna | 12 Bulan Covid-19

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

by Sonhaji Abdullah
May 12, 2025
0
Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

DI Sekolah, fenomena bullying (dalam bahasa Indoneisa biasa ditulis membuli) sudah menjadi ancaman besar bagi dunia kanak-kanak, atau remaja yang...

Read more

Pulau dan Kepulauan di Nusantara: Nama, Identitas, dan Pengakuan

by Ahmad Sihabudin
May 12, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

“siapa yang mampu memberi nama,dialah yang menguasai, karena nama adalah identitas,dan sekaligus sebuah harapan.”(Michel Foucoult) WAWASAN Nusantara sebagai filosofi kesatuan...

Read more

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co