19 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mengening | Membaca Dinamika Siklus Kehidupan

I Made KridalaksanabyI Made Kridalaksana
February 20, 2021
inUlasan
Mengening | Membaca Dinamika Siklus Kehidupan
  • Judul Buku : Mengening
  • Penulis : Winar Ramelan
  • Penerbit : Teras Budaya
  • Tahun terbit : 2020
  • Cetakan ke- : Pertama
  • ISBN : 978-602-5780-81-3
  • Tebal buku : viii + 80 halaman

Winar Ramelan adalah nama pena dari Sunarti Ramelan, penulis buku antologi puisi “Mengening”. Sebagaimana tercantum pada kover belakang buku ini, ia lahir di Malang pada tanggal 5 Juni (tanpa disebutkan tahunnya) dan kini menetap di Denpasar. Ini merupakan buku kumpulan puisi tunggalnya yang kedua setelah sebelumnya ia menebitkan buku kumpulan puisi tunggal bertajuk “Narasi Sepasang Kaos Kaki”. Mengening merupakan kumpulan puisi-puisinya yang sempat “mengembara” dari tahun 2017-2020 baik yang pernah menghiasi beranda media sosialnya, media cetak maupun buku-buku antologi puisi bersama yang dilewatinya melalui proses kurasi yang ketat.

Antologi puisi Mengening ini memuat 69 puisi yang dipadukan dengan kover depan berupa lukisan karya Winar Ramelan sendiri berupa seorang perempuan yang mengepakkan sayap dengan salah satu tangan mengembangkan jari-jarinya ke angkasa. Perpaduan semacam ini layak diapreasiasi sebab tidak semua penulis puisi sanggup melakukan aksi one man show seperti ini.

Mengening, sebagaimana diungkapkan pada pengantar buku ini, adalah pantai yang sunyi dengan gelombang yang tak henti menampar karang. Meskipun tamparan-tamparan gelombang ini pada awalnya menimbulkan gemuruh namun pada akhirnya akan menciptakan kesunyian. Kegemuruhan sekaligus kesunyian inilah yang menyebabkan Winar Ramelan takjub dengan pantai ini sehingga menuangkannya pada sebuah puisi berjudul Mengening yang sekaligus dijadikan judul buku antologi puisinya ini. Rasa takjub menurut Jan Hendrik Rapar (1995) menyebabkan pertanyaan-pertanyaan terhadap segala hal, baik yang ada di luar maupun di dalam diri manusia. Bagi Winar Ramelan, rahasia di balik ketegaran Pantai Mengening menghadapi hantaman keriuhan dan kegaduhan gelombang sehingga mampu kesunyian adalah bentuk pertanyaan terhadap hal yang ada di luar dirinya. Sementara itu, pertanyaan terhadap hal di dalam diri sekaligus perenungan dirinya adalah bagaimana menghadapi keriuhan serta kegaduhan yang terjadi dalam siklus kehidupan ini sehingga akhirnya mampu merasakan kesunyian serta keheningan sebagai bekal menuju keheningan abadi saat menghadap Sang Pencipta kelak.

Puisi berjudul Mengening (hal. 45) merupakan representasi pertanyaan-pertanyaan Winar Ramelan terkait rahasia yang mampu menegarkan sekaligus menenangkan karang meski dalam hantaman debur gelombang yang pada akhirnya mampu menciptakan keheningan serta kesunyian sehingga membuat para pengunjung, termasuk dirinya, merasa takjub. //Ada arsiran yang ingin kumengerti/Telah berapa lama gelombang menampar tubuh purbamu/…//Mantra dan sesaji apa gerangan/Yang membuat wajahmu sangat menawan/Dalam heningmu yang kian kental/Para pejalan tak bosan untuk singgah pada tubuhmu yang karang//. Larik-larik puisi ini semakin menyiratkan pesan untuk lebih bercermin ke dalam diri untuk menghadapi rahasia-rahasia pada tiap siklus kehidupan dengan berbagai dinamikanya sehingga pada saatnya kita mampu merasakan kesunyian serta keheningan.

Kehadiran puisi yang memotret tiap-tiap siklus kehidupan adalah nilai lebih lain yang dimiliki buku ini. Sebagaimana disebutkan Budi Darma (2009) pada buku “Pengantar Teori Sastra” terdapat empat siklus dalam kehidupan manusia, yakni: pertama, kelahiran sebagai manusia muda; kedua, manusia dalam masa kematangan serta puncak kekuatan atau semangat; ketiga, manusia menjadi tua dan mengalami kemunduran; serta yang keempat adalah kematian manusia. Menariknya, keempat siklus kehidupan tersebut diejawantahkan pada antologi Mengening ini.

Pada saat menjalani siklus kelahiran sebagai manusia yang masih muda kita masih dalam kondisi kurang matang atau kurang dewasa. Kekurangmatangan tersebut terjadi baik pada aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Ekspresi kekurangmatangan ini dapat disimak pada puisi “Siapa Diri Ini” (hal. 74). //Siapakah diri ini yang bernaung di bawah langitmu/Yang berpijak dan membuat jejak di atas bumimu/Menyeret langkah agar sampai pada tanggamu//…//Siapa diri ini/Yang telanjang tanpa label ajaran/…//. Larik-larik puisi ini mengajak kita lebih mengenal jati diri serta menyadari kekurangmatangan diri untuk kemudian melakukan sesuatu agar bisa menjadi manusia yang lebih matang atau lebih dewasa.

Proses ‘kenaikan kelas’ dari manusia muda ke arah yang lebih matang atau dewasa tentu tidak terjadi secara serta-merta. Pada konteks ini, ada proses pematangan berupa penempaan diri seperti dapat disimak pada puisi “Aku Dalam Kisah Malam” (hal. 1). //Jika malam adalah kepompong/Biar aku menjadi ulat//Menggeliat dalam selubungnya/Jeda dari terang dunia//Esok aku menjadi kupu-kupu/Menemanimu mendongeng/Tentang sayap yang tak pernah patah/Mengepak dalam seribu kisah//. ‘Menggeliat dalam selubung’ dapat dimaknai sebagi proses pematangan diri baik secara sungguh-sungguh dengan cara menekuni ilmu pengetahuan, keterampilan, dan budi pekerti luhur maupun ilmu-ilmu tentang kebijaksanaan baik di sekolah, di rumah maupun di tempat-tempat lainnya.

Setelah mencapai puncak kematangan manusia akan mengalami masa tua atau kemunduran. Kemunduran bukan saja pada kondisi fisik tetapi juga pikiran. Hal ini ditandai melemahnya kekuatan tubuh serta berkurangnya fungsi indera-indera serta berkurangnya daya ingat, dan sebagainya. Gambaran tentang kemunduran ini bisa dibaca pada puisi “Kisah Daun” (hal. 42). //Ada yang sedang dikisahkan daun/Bagaimana angin memainkannya/Dan hujan menerpa dengan semena/Lembar daun seperti rindu yang menganga/Akan gugurnya yang tiba-tiba//Larik-larik ini semakin mengisyaratkan bahwa puncak kematangan yang kita pernah pegang pun mau tidak mau akan melemah seiring bertambahnya usia. Ini adalah proses alamiah yang tidak dapat dihindarkan.

Dalam kurun waktu dari siklus kelahiran sampai dengan kematian tersebut sesungguhnya terdapat empat hal yang tidak dapat kita hindarkan. Keempat hal tersebut dalam agama Hindu disebut catur bekel dumadi—empat jenis bekal kelahiran yang tidak dapat dihindarkan—yakni: suka (suka), dukha (duka), lara (penderitaan), dan pati (mati). Antologi puisi Mengening ini menghadirkan keempat jenis bekal kelahiran tersebut. Suka. misalnya. Bekal hidup suka ini pernah dialami oleh siapa saja. Ungkapan rasa suka tersebut bisa disimak pada puisi ‘Perempuan Pelukis Bunga’ (hal. 61). //Menjadilah kanak-kanak dengan kebebasan”, keceriaan dan kegembiraan/Melepas mimpi-mimpi tentang dunia/…//Kurangkai bunga seperti berbunga-bunganya kepalaku/Ketika menggoreskan warna warna menjadi rangkaian yang wangi/Seperti ketika aku melangkah di altarNya dengan bunga dan dupa//. Pada larik-larik ini si aku lirik mengajak kita selalu gembira tanpa terlalu dipusingkan dengan urusan keduniawian layaknya kebebasan seorang pelukis yang dalam keadaan pikiran yang berbunga-bunga menggoreskan kuas dengan aneka warna di atas kanvasnya.

Dukha atau rasa duka pun tidak bisa ditolak dalam kehidupan. Kita merasa berduka tatkala kehilangan anggota keluarga, saudara sahabat serta orang-orang di sekitar kita. Kematian akibat pembunuhan, wabah Covid-19, peristiwa jatuhnya pesawat, banjir maupun gempa yang melanda sebagian wilayah di tanah air beberapa waktu belakangan ini adalah beberapa contoh peristiwa yang melahirkan rasa duka. Perasaan duka dapat kita simak pada  puisi ‘Duka dari Seberang’ (hal. 19). //Senin yang gelisah/Udara kian kering/Sedang dada telah basah/Oleh rembesan air duka dari celah mata//. Begitulah kalau kita sudah dilanda duka, selain kedatangannya yang tidak dapat diprediksi durasi serta kadar rasa dukanya pun adalah misteri tersendiri dalam kehidupan manusia.

Lara atau penderitaan adalah bekal hidup yang memberi dampak yang kurang nyaman bagi kita yang mengalaminya. Kekurangnyamanan tersebut dipotret pada penggalan-penggalan puisi ‘ICU’ (hal. 25). //Ketika itu tak terbayang/Apakah udara masih ada/Apalagi memikirkan hujan atau panas/Jika tubuh seperti kapas//. Siapa pun, kalau tergolek di ruang ICU dalam waktu yang lama tidak hanya mengalami penderitaan fisik tetapi juga pikiran. Pikiran akan menjadi kacau sebab memikirkan apakah masih bisa sembuh atau tidak yang bukan tidak mungkin menurunkan berat tubuh secara perlahan-lahan.

Pati atau kematian merupakan bekal kelahiran yang sekaligus menjadi siklus akhir manusia di bumi. Siklus ini diungkap melalui puisi “Rumah Sunyi” (hal. 68) yang diibaratkan berjalan menuju pintu rumah ibu, suatu tempat di mana kita akan mengakhiri keempat bekal kelahiran serta siklus kehidupan di bumi untuk menghadap kepada Sang Maha Kuasa. //Aku akan menuju pintu/Pintu tanpa derit/Yaitu pintu rumah ibu/Tempat aku menghabiskan lelakon ini/Usai membuat catatan segepok di luaran//…//Rumah muasal/Tempat silsilah bermula/Rumah damai tanpa sengketa/Itulah rumah ibu/Rumah paing sunyi//. Si aku lirik pada larik-larik ini mengingatkan selain suka, dukha, maupun lara yang pernah dialami sebagai bekal kelahiran serta siklus kehidupan dari manusia muda sampai mencapai puncak kematangan lalu mengalami kemunduran. Pada akhirnya, kita mesti mempersiapkan diri pada satu hal lagi yang tidak bisa ditolak keberadaannya, yakni: pati, kematian.

Secara keseluruhan diksi-diksi yang dihadirkan pada antologi puisi Mengening ini mudah dipahami karena keberadaannya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Meski ada satu dua majas yang sudah cukup akrab di telinga kita namun penggunaan kebaruan majas metafora, simile, personifikasi serta majas lainnya secara keseluruhan menunjukkan bahwa kesan klise tidak nampak pada larik-larik puisi antologi ini.

Hanya saja, penulis sebaiknya lebih cermat mencari informasi yang tepat tentang tempat yang menjadi obyek puisinya yang dalam hal ini adalah Pantai Mengening. Apa benar pantai ini berada di Kabupaten Tabanan sebagaimana keterangan yang ia tulis di bawah puisinya tersebut. Selebihnya, buku antologi puisi Mengening ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang mendambakan keheningan sebagai ruang permenungan serta media pencerminan diri guna memperbaiki kualitas diri sebelum meninggalkan ‘keriuhan’ serta ‘kegaduhan’ dunia yang fana ini. Selamat membaca. [T]

Tags: Bukuresensi buku
Previous Post

Wasiat Menteri Kebudayaan & Pariwisata I Gede Ardika

Next Post

Gurat Memoar | “Aon” dan Kesemestaan Ida Ketut Bagus Sena

I Made Kridalaksana

I Made Kridalaksana

Lahir di Bongkasa, Badung, Bali, tahun 1972. Pendidikan terakhir S2 Linguistik di Universitas Udayana Denpasar (2007). Kini, guru di SMA Negeri 2 Mengwi, Badung, Bali. Puisi-puisi penulis terhimpun pada antologi bersama: “Mengunyah Geram, Seratus Puisi Menolak Korupsi” (2017), dan banyak lagi.

Next Post
Gurat Memoar | “Aon” dan Kesemestaan Ida Ketut Bagus Sena

Gurat Memoar | “Aon” dan Kesemestaan Ida Ketut Bagus Sena

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

by Made Chandra
May 19, 2025
0
Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

Upaya Membaca yang Dianggap Lalu, untuk Membaca Masa Kini serta Menerka Masa Depan KADANG kala selalu terbersit dalam pikiran, apa...

Read more

Meredefinisi Kebangkitan Nasional di Era Digital

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 19, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

“Bangsa adalah komunitas terbayang, dan seperti komunitas lainnya, bangsa hanya hidup sejauh ia diyakini oleh orang-orang yang menjadi bagiannya.”-- Benedict...

Read more

Film Cina dan Drama Cina, Mana yang Paling Seru?

by Satria Aditya
May 18, 2025
0
Film Cina dan Drama Cina, Mana yang Paling Seru?

ADAKAH yang rindu dengan Wong Fei Hung? Atau sebutan kakak pertama, kedua dan ketiga? Di sini saya mengatakan kejujuran bahwa...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar
Panggung

Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar

AMFLITEATER Mall Living World, Denpasar, ramai dipenuhi pengunjung. Sabtu, 10 Mei 2025 pukul 17.40, Tempat duduk amfliteater yang bertingkat itu...

by Hizkia Adi Wicaksnono
May 16, 2025
Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa 
Kuliner

Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa

ADA beberapa buah tangan yang bisa kalian bawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh saat berkunjung ke Singaraja Bali. Salah satunya adalah...

by I Gede Teddy Setiadi
May 16, 2025
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co