- Judul Buku : Mengening
- Penulis : Winar Ramelan
- Penerbit : Teras Budaya
- Tahun terbit : 2020
- Cetakan ke- : Pertama
- ISBN : 978-602-5780-81-3
- Tebal buku : viii + 80 halaman
Winar Ramelan adalah nama pena dari Sunarti Ramelan, penulis buku antologi puisi “Mengening”. Sebagaimana tercantum pada kover belakang buku ini, ia lahir di Malang pada tanggal 5 Juni (tanpa disebutkan tahunnya) dan kini menetap di Denpasar. Ini merupakan buku kumpulan puisi tunggalnya yang kedua setelah sebelumnya ia menebitkan buku kumpulan puisi tunggal bertajuk “Narasi Sepasang Kaos Kaki”. Mengening merupakan kumpulan puisi-puisinya yang sempat “mengembara” dari tahun 2017-2020 baik yang pernah menghiasi beranda media sosialnya, media cetak maupun buku-buku antologi puisi bersama yang dilewatinya melalui proses kurasi yang ketat.
Antologi puisi Mengening ini memuat 69 puisi yang dipadukan dengan kover depan berupa lukisan karya Winar Ramelan sendiri berupa seorang perempuan yang mengepakkan sayap dengan salah satu tangan mengembangkan jari-jarinya ke angkasa. Perpaduan semacam ini layak diapreasiasi sebab tidak semua penulis puisi sanggup melakukan aksi one man show seperti ini.
Mengening, sebagaimana diungkapkan pada pengantar buku ini, adalah pantai yang sunyi dengan gelombang yang tak henti menampar karang. Meskipun tamparan-tamparan gelombang ini pada awalnya menimbulkan gemuruh namun pada akhirnya akan menciptakan kesunyian. Kegemuruhan sekaligus kesunyian inilah yang menyebabkan Winar Ramelan takjub dengan pantai ini sehingga menuangkannya pada sebuah puisi berjudul Mengening yang sekaligus dijadikan judul buku antologi puisinya ini. Rasa takjub menurut Jan Hendrik Rapar (1995) menyebabkan pertanyaan-pertanyaan terhadap segala hal, baik yang ada di luar maupun di dalam diri manusia. Bagi Winar Ramelan, rahasia di balik ketegaran Pantai Mengening menghadapi hantaman keriuhan dan kegaduhan gelombang sehingga mampu kesunyian adalah bentuk pertanyaan terhadap hal yang ada di luar dirinya. Sementara itu, pertanyaan terhadap hal di dalam diri sekaligus perenungan dirinya adalah bagaimana menghadapi keriuhan serta kegaduhan yang terjadi dalam siklus kehidupan ini sehingga akhirnya mampu merasakan kesunyian serta keheningan sebagai bekal menuju keheningan abadi saat menghadap Sang Pencipta kelak.
Puisi berjudul Mengening (hal. 45) merupakan representasi pertanyaan-pertanyaan Winar Ramelan terkait rahasia yang mampu menegarkan sekaligus menenangkan karang meski dalam hantaman debur gelombang yang pada akhirnya mampu menciptakan keheningan serta kesunyian sehingga membuat para pengunjung, termasuk dirinya, merasa takjub. //Ada arsiran yang ingin kumengerti/Telah berapa lama gelombang menampar tubuh purbamu/…//Mantra dan sesaji apa gerangan/Yang membuat wajahmu sangat menawan/Dalam heningmu yang kian kental/Para pejalan tak bosan untuk singgah pada tubuhmu yang karang//. Larik-larik puisi ini semakin menyiratkan pesan untuk lebih bercermin ke dalam diri untuk menghadapi rahasia-rahasia pada tiap siklus kehidupan dengan berbagai dinamikanya sehingga pada saatnya kita mampu merasakan kesunyian serta keheningan.
Kehadiran puisi yang memotret tiap-tiap siklus kehidupan adalah nilai lebih lain yang dimiliki buku ini. Sebagaimana disebutkan Budi Darma (2009) pada buku “Pengantar Teori Sastra” terdapat empat siklus dalam kehidupan manusia, yakni: pertama, kelahiran sebagai manusia muda; kedua, manusia dalam masa kematangan serta puncak kekuatan atau semangat; ketiga, manusia menjadi tua dan mengalami kemunduran; serta yang keempat adalah kematian manusia. Menariknya, keempat siklus kehidupan tersebut diejawantahkan pada antologi Mengening ini.
Pada saat menjalani siklus kelahiran sebagai manusia yang masih muda kita masih dalam kondisi kurang matang atau kurang dewasa. Kekurangmatangan tersebut terjadi baik pada aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Ekspresi kekurangmatangan ini dapat disimak pada puisi “Siapa Diri Ini” (hal. 74). //Siapakah diri ini yang bernaung di bawah langitmu/Yang berpijak dan membuat jejak di atas bumimu/Menyeret langkah agar sampai pada tanggamu//…//Siapa diri ini/Yang telanjang tanpa label ajaran/…//. Larik-larik puisi ini mengajak kita lebih mengenal jati diri serta menyadari kekurangmatangan diri untuk kemudian melakukan sesuatu agar bisa menjadi manusia yang lebih matang atau lebih dewasa.
Proses ‘kenaikan kelas’ dari manusia muda ke arah yang lebih matang atau dewasa tentu tidak terjadi secara serta-merta. Pada konteks ini, ada proses pematangan berupa penempaan diri seperti dapat disimak pada puisi “Aku Dalam Kisah Malam” (hal. 1). //Jika malam adalah kepompong/Biar aku menjadi ulat//Menggeliat dalam selubungnya/Jeda dari terang dunia//Esok aku menjadi kupu-kupu/Menemanimu mendongeng/Tentang sayap yang tak pernah patah/Mengepak dalam seribu kisah//. ‘Menggeliat dalam selubung’ dapat dimaknai sebagi proses pematangan diri baik secara sungguh-sungguh dengan cara menekuni ilmu pengetahuan, keterampilan, dan budi pekerti luhur maupun ilmu-ilmu tentang kebijaksanaan baik di sekolah, di rumah maupun di tempat-tempat lainnya.
Setelah mencapai puncak kematangan manusia akan mengalami masa tua atau kemunduran. Kemunduran bukan saja pada kondisi fisik tetapi juga pikiran. Hal ini ditandai melemahnya kekuatan tubuh serta berkurangnya fungsi indera-indera serta berkurangnya daya ingat, dan sebagainya. Gambaran tentang kemunduran ini bisa dibaca pada puisi “Kisah Daun” (hal. 42). //Ada yang sedang dikisahkan daun/Bagaimana angin memainkannya/Dan hujan menerpa dengan semena/Lembar daun seperti rindu yang menganga/Akan gugurnya yang tiba-tiba//Larik-larik ini semakin mengisyaratkan bahwa puncak kematangan yang kita pernah pegang pun mau tidak mau akan melemah seiring bertambahnya usia. Ini adalah proses alamiah yang tidak dapat dihindarkan.
Dalam kurun waktu dari siklus kelahiran sampai dengan kematian tersebut sesungguhnya terdapat empat hal yang tidak dapat kita hindarkan. Keempat hal tersebut dalam agama Hindu disebut catur bekel dumadi—empat jenis bekal kelahiran yang tidak dapat dihindarkan—yakni: suka (suka), dukha (duka), lara (penderitaan), dan pati (mati). Antologi puisi Mengening ini menghadirkan keempat jenis bekal kelahiran tersebut. Suka. misalnya. Bekal hidup suka ini pernah dialami oleh siapa saja. Ungkapan rasa suka tersebut bisa disimak pada puisi ‘Perempuan Pelukis Bunga’ (hal. 61). //Menjadilah kanak-kanak dengan kebebasan”, keceriaan dan kegembiraan/Melepas mimpi-mimpi tentang dunia/…//Kurangkai bunga seperti berbunga-bunganya kepalaku/Ketika menggoreskan warna warna menjadi rangkaian yang wangi/Seperti ketika aku melangkah di altarNya dengan bunga dan dupa//. Pada larik-larik ini si aku lirik mengajak kita selalu gembira tanpa terlalu dipusingkan dengan urusan keduniawian layaknya kebebasan seorang pelukis yang dalam keadaan pikiran yang berbunga-bunga menggoreskan kuas dengan aneka warna di atas kanvasnya.
Dukha atau rasa duka pun tidak bisa ditolak dalam kehidupan. Kita merasa berduka tatkala kehilangan anggota keluarga, saudara sahabat serta orang-orang di sekitar kita. Kematian akibat pembunuhan, wabah Covid-19, peristiwa jatuhnya pesawat, banjir maupun gempa yang melanda sebagian wilayah di tanah air beberapa waktu belakangan ini adalah beberapa contoh peristiwa yang melahirkan rasa duka. Perasaan duka dapat kita simak pada puisi ‘Duka dari Seberang’ (hal. 19). //Senin yang gelisah/Udara kian kering/Sedang dada telah basah/Oleh rembesan air duka dari celah mata//. Begitulah kalau kita sudah dilanda duka, selain kedatangannya yang tidak dapat diprediksi durasi serta kadar rasa dukanya pun adalah misteri tersendiri dalam kehidupan manusia.
Lara atau penderitaan adalah bekal hidup yang memberi dampak yang kurang nyaman bagi kita yang mengalaminya. Kekurangnyamanan tersebut dipotret pada penggalan-penggalan puisi ‘ICU’ (hal. 25). //Ketika itu tak terbayang/Apakah udara masih ada/Apalagi memikirkan hujan atau panas/Jika tubuh seperti kapas//. Siapa pun, kalau tergolek di ruang ICU dalam waktu yang lama tidak hanya mengalami penderitaan fisik tetapi juga pikiran. Pikiran akan menjadi kacau sebab memikirkan apakah masih bisa sembuh atau tidak yang bukan tidak mungkin menurunkan berat tubuh secara perlahan-lahan.
Pati atau kematian merupakan bekal kelahiran yang sekaligus menjadi siklus akhir manusia di bumi. Siklus ini diungkap melalui puisi “Rumah Sunyi” (hal. 68) yang diibaratkan berjalan menuju pintu rumah ibu, suatu tempat di mana kita akan mengakhiri keempat bekal kelahiran serta siklus kehidupan di bumi untuk menghadap kepada Sang Maha Kuasa. //Aku akan menuju pintu/Pintu tanpa derit/Yaitu pintu rumah ibu/Tempat aku menghabiskan lelakon ini/Usai membuat catatan segepok di luaran//…//Rumah muasal/Tempat silsilah bermula/Rumah damai tanpa sengketa/Itulah rumah ibu/Rumah paing sunyi//. Si aku lirik pada larik-larik ini mengingatkan selain suka, dukha, maupun lara yang pernah dialami sebagai bekal kelahiran serta siklus kehidupan dari manusia muda sampai mencapai puncak kematangan lalu mengalami kemunduran. Pada akhirnya, kita mesti mempersiapkan diri pada satu hal lagi yang tidak bisa ditolak keberadaannya, yakni: pati, kematian.
Secara keseluruhan diksi-diksi yang dihadirkan pada antologi puisi Mengening ini mudah dipahami karena keberadaannya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Meski ada satu dua majas yang sudah cukup akrab di telinga kita namun penggunaan kebaruan majas metafora, simile, personifikasi serta majas lainnya secara keseluruhan menunjukkan bahwa kesan klise tidak nampak pada larik-larik puisi antologi ini.
Hanya saja, penulis sebaiknya lebih cermat mencari informasi yang tepat tentang tempat yang menjadi obyek puisinya yang dalam hal ini adalah Pantai Mengening. Apa benar pantai ini berada di Kabupaten Tabanan sebagaimana keterangan yang ia tulis di bawah puisinya tersebut. Selebihnya, buku antologi puisi Mengening ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang mendambakan keheningan sebagai ruang permenungan serta media pencerminan diri guna memperbaiki kualitas diri sebelum meninggalkan ‘keriuhan’ serta ‘kegaduhan’ dunia yang fana ini. Selamat membaca. [T]