Puisi bisa sangat pendek, sependek surat al-Kautsar. Bahkan bisa lebih pendek lagi. Puisi bisa pula sangat panjang, walaupun tidak sepanjang surat al-Baqarah.
Emha Ainun Nadjib dalam Satu Kekasihku, cuma butuh satu bait dan empat baris kalimat untuk berpuisi.
Mati hidup satu kekasihku // Takkan kubikin ia cemburu // Kurahasiakan dari anak istri // Kulindungi dari politik dan kiyai.
Iqbal, filsuf dan penyair India, bisa berpuisi sangat panjang. Dalam Tulip Dari Sinai dia bersajak sepanjang seratus enam puluh tiga (163) bait.Jumlah barisnya bersisi 163×4 = 652 kalimat. Tentu tidak akan saya tuliskan tubuh utuhnya di sini.
Saya akan mendaras puisi. Semacam balas dendam atas tadarus di bulan Ramadhan kemarin, yang tak cukup khusyu’ karena lebih sibuk menghikmat pandemi, daripada Yang Ilahi.
Seperti kata Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, tadarus tidak mengharuskan hatam berulang-ulang. Tadarus lebih menekankan bobot penghayatan. Sedemikian tadarus Alquran. Ketika sampai pada puisi, saya kira serupa itu. Karena di puisi, setiap rupa kata mengimplisitkan ‘makna’.
Kalau puisi tidak mau didudukkan sebagai igauan kata, aspek maknawi tersebut harus ditarik ke permukaan, melalui kedalaman pencermatan dan penghayatan. Serupa tadarus tadi.
Kata Emha: Ajari Aku Tidur
Kita berhenti di pelataran rumah eksistensi kepenyairan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, bersejenak membaca pelan-pelan salah satu buah karyanya yang ‘puisi’: Ajari Aku Tidur (1986).
(1)
Tuhan sayang ajari aku tidur
Seperti dulu menemuimu di rahim ibu
Sesudah lahir menjadi anak kehidupan
Sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik dan kebodohan
Bisaku cuma tertidur
Tertidur
(2)
Tuhan sayang tak kurang-kurang engkau menghibur
Tapi setiap kali badan terbujur ruhku bangkit memekik-mekik!
Hidupku jadi ngantuk, luar biasa ngantuk
Tanpa pernah bisa sungguh-sungguh tidur
(3)
Di siang dunia berseliweran kecemasan
Orang-orang berburu prasangka
Menumpuk salah paham terhadap kehidupan
Memburu dugaan, bersandar pada bayangan
Mengulum batu-batu akik, aku ngantuk
Sungguh-sungguh ngantuk
(4)
Di malam segala nina bobo yang menenggelamkan
Tak mampu kubaringkan mati kecilku
Ajari mati, ya tuhan sayang, ajari aku mati
Nasib sejarah menggumpal di jantungku
Jantung mengerjat-ngerjat
Tapi tak pingsan
(5)
Telah beribu kali
Jantung meledak tak mati-mati
Tuhan sayang, ya tuhan sayang
Rinduku amat tua
Dan sakit
Angka-angka di sela bait puisi di atas, bukanlah aslinya. Angka itu adalah tambahan dari saya. Supaya lebih nyaman kita mendaras.
Membaca Ajari Aku Tidur, kita semacam diajak bertanya: tidur yang bagaimana yang dimaksudkan Emha? Mengapa pula sehanya tidur saja, butuh minta ajar?
Bait pertama, sekilas sangat kacau: paradoks. “Tuhan sayang ajari aku tidur”, kata Aku-Sajak. Di pembukaan ini, dia mau mengatakan, dia sedang tidak bisa tidur. Minimalnya tak cukup memahami apa itu tidur. Tetapi baru tiga baris berlalu, dia melakukan pembalikan: “bisaku cuma tertidur”. Belum cukup kuat, dia nyatakan lagi: “Tertidur”.
Bait kedua. Paradoksa atau perseberangan maksud dari kata “ajari tidur” dan “bisaku cuma tertidur”, diuraikan di sini. Penulis ini mengatakan: “hidupku jadi ngantuk, luar biasa ngantuk. Tanpa pernah bisa sungguh-sungguh tidur”. Penulis sajak, menjelaskan perbedaan mengantuk dan tidur. Mengantuk adalah kondisi jengah atau lelah membuka mata ‘kesadaran’. Lelah yang meminta untuk ditidurkannya badan. Tetapi ketika badan telah dibaringkan, disiapkan menuju tidur, hasilnya justru tidak bisa tidur lelap.
Bait ketiga. Dijelaskan di sini, penyebab utama rasa kantuk. Aku-sajak yang mengeluhkan ‘mengantuk’, ternyata karena menurutnya orang-orang kebanyakan menumpuk salah paham terhadap kehidupan, ditambah memburu dugaan, bersandar pada bayangan. Artinya ada kesalahan yang dilakukan banyak orang. Kesalahan ini berupa ‘salah memahami orientasi dan makna hidup’. Mereka hidup berdasarkan ‘dugaan-dugaan’ saja tanpa dilandasi pengetahuan yang kokoh.
Sebagai sandingan, keresahan semacam ini, belakangan dilantangkan oleh Aku Sajak-nya Rendra dalam Hai, Ma (1992). Rendra bahkan lebih panjang lagi melantangkan keresahannya. Tetapi yang paling telak berada pada kata “mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita”. Lalu aku sajak, merespon dengan: “aku marah, aku takut, aku gemetar, namun gagal menyusun bahasa”.
Tampaklah—bila dilensa melalui sajak Rendra di atas—yang membuat Aku-Sajak mengantuk dalam Ajari Aku Tidur, ialah nuansa takut, gemetar dan marah yang gagal menemukan pintu pengungkapan atau pelepasan.
Selanjutnya, di bait keempat, kegelisahan ini semakin menjadi. Dikatakan oleh Aku-Sajak bahwa gelisah dan rasa sakit, terus terbawa-bawa setiap akan memejam mata. Di saat lazimnya orang-orang tidur, dia si Aku-Sajak kesakitan mengerjat-ngerjat tanpa henti. Tak kuasa tidur, bahkan setelah membaring-baringkan tubuh.
Di bait penutup, Aku-Sajak masih kesakitan terus menerus. Kesakitan yang telah lama dirasa, dan masih selalu terasa. “Telah beribu-ribu kali, jantung meledak tak mati-mati”.
Sampai di sini, Emha dapat dikatakan mengukuhi jalan puisi yang bukan sebatas untaian kata bersayap, atau semacam bisikan rayuan kekasih kepada terkasihnya. Dia mengajak pembaca sajak dolan ke bilik refleksi ruhani. Sebangun ruang yang di dalamnya berisi (kesadaran) diri yang sunyi, sepi, kadang terasing. Kesunyian si Aku-Sajak, dikikis melalui jalan munajat: meminta ajar kepada Tuhan yang dia tahu Maha Bisa, termasuk bisa menuturkan “ilmu tidur”.
Pengejaan maksud-makna di sini tentu hanyalah sisi pojok saja, dari pembacaan saya. Suara yang mungkin salah, jauh dari tepat, akan tetapi penting. Penting sebagai pembuka suara lain yang mungkin benar, jauh dari menyeleweng. Lain perjumpaan, kita lanjut lagi di ayat-ayat puisi yang lain. []
Bibliografi:
- Muhammad Iqbal. 1985. Pesan dari Timur (terj. Abdul Hadi WM). Bandung: Pustaka.
- Emha Ainun Nadjib. 2004. Cahaya Maha Cahaya: Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Firdaus.