10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Panggung dan Ruang: Sebuah Sebab Memahami Diri

Wayan SumahardikabyWayan Sumahardika
February 10, 2021
inEsai
Siasat Kerja Panggung Digital

Wayan Sumahardika [ilustrasi tatkala.co | Nana Partha]

Apa sesungguhnya panggung itu? Bagaimana bentuknya? Rupanya? Manakah yang dapat disebut panggung? Manakah yang bukan? Jika kita mengamini unsur teater—sebagaimana yang biasa terdefinisikan—yakni, ada panggung, ada aktor, ada penonton, namun pada suatu saat ada ruang yang tak biasa untuk dikategorikan sebagai panggung, bisakah kerja yang kita lakukan pada ruang-ruang ini disebut panggung teater? Dalam konteks kerja di ruang digital misalnya, bagaimana panggung mesti didefinisikan kemudian? Mesti disikapi kemudian?

Pertanyaan semacam ini jadi semakin sering berkelindan di kepala saya pada tahun belakangan. Terutama ketika kerja teater dipaksa untuk beradaptasi pada situasi pandemi. Semakin dicari kemungkinannya, semakin beragam pula kenyataan yang bisa ditemukan, khususnya pada persoalan panggung. Panggung hari ini tak lagi hanya sebatas tempat di mana kita berpijak, di mana kita mempertontonkan ekspresi, gesture dan segala piranti keaktoran lainnya, di mana set dan properti ditata sedemikian rupa, atau cahaya lampu dijatuhkan. Panggung bukanlah ruang hampa yang menunggu sutradara dan aktor datang, mengisi kekosongan ruang di dalamnya. Panggung adalah entitas hidup yang terus menerus bergerak, membangun sejarah dirinya, bahkan hidup kita sendiri.

Dalam konteks ini, saya ingin menangguhkan terlebih dahulu proyeksi panggung teater di masa depan. Justru sebaliknya, situasi yang memungkinkan panggung dibaca sebagai sesuatu yang tak terbayangkan, membuat diri kembali merenungi kerja teater yang selama ini dilakukan bersama kawan-kawan dalam menyikapi ruang, yang justru tak bisa disebut panggung pada umumnya. Karena keterbatasan yang kami miliki, kebanyakan pertunjukan biasa diselenggarakan pada ruang alternatif. Situasi ini bukan malah membuat kami menyerah dengan keadaan, melainkan jadi sebab buat menemukan hal-hal yang barangkali tak bisa ditemukan pada panggung konvensional. Bahwa panggung dan ruang memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain.

Hal ini saya sadari ketika berproses semasa kuliah di Singaraja. Tahun 2011, saat menggelar pementasan drama kuliah ‘Upacara Tengah Malam’ karya Oka Rusmini, saya dan kawan-kawan kebingungan di mana mesti menggelar pentas. Kampus Bawah yang biasa digunakan pentas kala itu, sedang masa pembangunan ulang. Sementara Sasana Budaya dan Gedung RRI Singaraja pun tengah dipergunakan untuk acara. Hanya tinggal Gede Manik-lah satu-satunya gedung yang tersisa sebagai pilihan. Ruang yang teramat besar, yang lebih banyak digunakan untuk konser band, tentu akan tampak seperti baju kedodoran bagi sebuah pertunjukan teater.

Kami menyiasatinya dengan membagi panggung dalam tiga bagian, yakni panggung atas, tengah, dan panggung penonton, sementara penonton sendiri ditempatkan pada bagian samping. Pada detik pertama pentas, hal ini tampak mengejutkan karena perspektif pertunjukan terbagi dalam dua kubu. Bagian samping kiri dan samping kanan. Namun gaung ruang, vokal pemain yang tenggelam, koreografi yang melempem, serta lampu yang tak begitu terang menjadikan penonton kehilangan fokus permainan. Alhasil pentas malam itu menuai kegagalan.

Mungkin karena kegagalan itu jugalah, secara tak sadar membuat saya mencari kemungkinan lain pada panggung-panggung lainnya. Hampir di setiap pentas, khususnya dalam kerja bersama kawan-kawan Teater Tebu Tuh kala itu, ruang-ruang alternatif kami cari dan gali kemungkinan-kemungkinannya. Mulai dari lapangan, basement, toilet, tangga dan lain sebagainya. Dari hal ini, temuan-temuan yang didapatkan dalam panggung lebih banyak pada tataran eksplorasi ruang yakni bagaimana cara untuk mendekatkan jarak panggung dan penonton, mencari bentuk pentas, komposisi blocking, koreografi, dinamika pentas, penggunaan ornamen panggung, dan hal-hal lain yang memungkinkan panggung untuk diisi dengan berbagai artistik permainan.

Di antara pentas yang dilakukan, ada satu pengalaman unik pada 201. Pada waktu itu bersama kawan-kawan Komunitas Cemara Angin, saya berkesempatan untuk membuat pertunjukan ‘Orang Asing’ karya Rupert Brooke terjemahan D.Djajakusumadi tengah basement kampus bawah Undiksha. Pada suatu adegan, pemain berteriak begitu kencangnya, diikuti musik yang berasal dari bunyi seng diinjak sedemikian rupa menghasilkan letupan suara yang menggema karena ruang yang cenderung semi terbuka-tertutup. Peristiwa ini begitu menghantui pikiran saya saat itu. Beberapa tahun kemudian, merupakan cikal bakal saya memaknai ruang sebagai sesuatu yang mesti ‘disingkap’ keberadaannya.

Boleh dikata pemahaman ini adalah kelanjutan dari apa yang saya temukan sebelumnya. Pada bagian pertama, saya maknai sebagai pengalaman ‘mengeksplorasi ruang’. Pada proses eksplorasi ruang, ruang-ruang alternatif yang saya gunakan sebagai panggung lebih banyak disikapi sebagai objek. Tak memiliki suara, tak memiliki narasi. Sebuah ruang netral yang memungkinkan penghuninya untuk menempati dan mengisinya dengan segala laku artistik teater. Sementara pada bagian kedua, saya maknai sebagai pengalaman ‘menyingkapkan ruang’. Jika mengeksplorasi ruang disikapi sebagai objek, menyingkapkan ruang justru disikapi sebagai subjek. Ruang kami posisikan sebagai sesuatu yang hidup, yang mempunyai narasinya sendiri. Maka tugas sutradara, tugas pemain dan tim produksi bukanlah menempati ruang mana suka. Melainkan berdialog dengan ruang tersebut. Membiarkan sang ruang menyingkapkan dirinya pada kita. Menyatakan hal yang ingin dinyatakan pada kita.

Kualitas semacam ini baru saya rasakan ketika pentas bersama Teater Kalangan dalam ‘Daftar Isi dan Kenangan yang Tak Lekang’ berdasar respon buku kumpulan cerpen karya Juli Sastrawan di Rumah Belajar Komunitas Mahima pada 2017 lalu. Pada pentas tersebut, saya mencoba tak melakukan eksplorasi sebagaimana biasa yang terjadi pada pertunjukan sebelumnya. Seperti namanya, Rumah Belajar Komunitas Mahima adalah rumah yang dialihfungsikan menjadi tempat pentas dan diskusi sastra. Struktur bangunan yang cenderung sempit sebagai tempat pentas membuat pergerakan aktor menjadi terbatas. Pada titik inilah, saya melihat kemungkinan lain dalam pentas.

Saya biarkan penonton untuk duduk mana suka, sementara adegan-adegan dibuat seintim dan seminimalis mungkin mulai dari gerak, komposisi, koreografi, ekspresi, dan vokal aktor. Sementara tempat bermain aktor semuanya dirajut dari kebiasaan penghuni rumah menyikapi ruang. Di mana saja mereka melintas, perlakuan mereka terhadap ruang, perubahan yang terjadi pada ruang, serta hal-hal yang melenceng atau yang tak terduga terjadi pada saat latihan para aktor. Semua kemudian dirajut dalam satu kesatuan pentas dengan memposisikan ruang sama halnya dengan aktor. Maka pentas tak hanya menyajikan komposisi aktor semata, penonton juga diberi celah menyadari perubahan ruang ketika aktor bermain di dalamnya.

Lalu, apakah semua itu cukup untuk menguraikan bagaimana definisi ruang dalam panggung pertunjukan? Saya rasa tidak. Hal-hal semacam ini baru merupakan serpihan keterbacaan saya pribadi bersama kawan-kawan dalam memahami ruang dan panggung. Ada juga misalnya pengalaman lain yang kami sebut sebagai provokasi ruang. Di mana sejarah dan sosial sebuah ruang justru dipertanyakan ulang keberadaannya untuk mencederai kemapanan konstruksi ruang di kepala penonton sebagaimana yang hadir dalam pertunjukan ‘Joged Adar, Kekasihmu dan Kesibukan Melupakannya’ bersama Teater Kalangan pada 2018 lalu. Selain itu ada saat di mana ruang dibaca dalam bingkai disiplin lain. Sebab interpretasi akan ruang juga tak bisa dilepaskan dari struktur berbagai lintasan ilmu yang punya agenda dan kepentingan epistemiknya masing-masing.

Tapi lagi-lagi tetaplah itu belum cukup untuk menjelaskan ruang sebagai panggung pertunjukan. Alih-alih semakin terang pembacaan kami atas ruang dan panggung, justru ada saja hal-hal baru yang menantang untuk diulik lebih dalam lagi. Pada akhirnya tulisan ini pun merupakan catatan bersambung yang terbuka untuk diisi kembali dengan uraian kemungkinan pembacaan akan ruang dan panggung lainnya. Sebab bukan diri saja yang berada pada posisi menjelaskan ruang dan panggung, boleh jadi sebaliknya, ruang dan panggunglah yang menguraikan diri kita. Maka perlu juga kiranya membiarkan ruang dan panggung menyingkapkan dirinya kepada kita. [T]

Denpasar, 2021

______

BACA ARTIKEL LAIN DARI WAYAN SUMAHARDIKA

Wayan Sumahardika [ilustrasi tatkala.co | Nana Partha]
Tags: baliIndonesiasastraTeater
Previous Post

Pandemi, Hukum Rta, dan Keimanan Saya

Next Post

Banjir Besar di Bali Tahun 1907-1932

Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

Next Post
Banjir Besar di Bali Tahun 1907-1932

Banjir Besar di Bali Tahun 1907-1932

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co