PEMANGKU [pamangku] dalam konstruksi kehidupan masyarakat Bali menjadi posisi yang tidak hanya penting, tapi juga perlu. Di desa adat, kehadiran pemangku menjadi ujung tombak pelaksanaan acara adat dan agama. Lebih-lebih di desa yang menganut sistem adat Bali Mula seperti di desa saya. Pada komunitas kami, ritual mayoritas dipimpin oleh pemangku, hanya sebagian kecil, bahkan sangat kecil yang dipimpin oleh seorang padanda—dan gelar lainnya yang setara.
Batur sampai saat ini memang masih kuat mempertahankan sejumlah tradisinya. Termasuk dalam hal memposisikan pemangku itu dalam struktur desa adat. Kami memiliki struktur masyarakat bernama Karaman Setimahan. Karaman kata dasarnya adalah rama, artinya ayah, (sesekali ibu), paman, guru, juga berarti tetua (Zoetmulder, 2011). Setimahan artinya 45. Maka, Karaman Setimahan berarti ‘tetua desa yang berjumlah 45’. Tatanan itu terdiri dari 28 jabatan pemangku, 16 jabatan paduluan, dan satu jabatan patinggi atau kepala desa.
Struktur tersebut diakui legalitasnya oleh masyarakat. Pada gerbong 28 jabatan pemangku itu, mereka terbagi lagi menjadi empat jenis. Tingkatan pertama adalah Jero Gede Batur, dijabat oleh dua orang yang bergelar Jero Gede Batur Duuran dan Jero Gede Batur Alitan. Ada pula yang menyebut gelarnya dengan orientasi arah mata angin, yakni Jero Gede Kanginan dan Jero Gede Kawanan. Oleh karenanya, rumah jabatannya yang ada di sebelah Pura Ulun Danu Batur disebut Puri Kanginan dan Puri Kawanan. Keberadaan Jero Gede Batur ini layaknya seorang raja. Menurut sejarah keberadaannya, keduanya merupakan wakil dalem—raja Bali—di Batur. Oleh karena itu, ketika telah melalui ritual madeg ratu, keduanya akan disebut Dalem Sasanglingan. Kata dasarnya kemungkinan sangling yang dapat berarti menggsosok; memoles; mengkilapkan. Namun, sejumlah tetua kami memaknai sangling sebagai perwakilan. Maka, Dalem Sasanglingan adalah wakil Dalem Bali yang berkedudukan di Batur.
Satu tingkat di bawah Jero Gede ada Jero Balian. Balian yang dimaksud bukanlah seorang ahli pengobatan atau dukun selayaknya yang dipahami masyarakat Bali secara umum. Jero Balian adalah seorang pemangku yang menjadi pemimpin segala macam upacara yang dilakoni desa adat. Balian, konon berasal dari kata balean. Namun, dalam proses pengucapannya terjadi pergeseran hingga lebih populis disebut balian. Menurut kata balean itu, maka, Jero Balian adalah tokoh yang berperan sebagai beliau yang berwenang memimpin upacara di bale. Bale yang dimaksud adalah pawedaan, sehingga, tugas Jero Balian ada pemimpin ritual utama.
Layaknya Jero Gede, Jero Balian turut dibedakan ke dalam dua jabatan tengan-kiwa, yakni Jero Balian Desa Kajanan dan Jero Balian Desa Kelodan. Namun, gelar tersebut juga populer disebut Jero Balian Duuran dan Jero Balian Alitan. Keberadaan Jero Balian rada khusus dibandingkan pemangku lainnya, lantaran dijabat oleh seorang perempuan yang pantang menikah selama menjabat.
Pada tingkat ketiga adalah Jero Penyarikan. Jabatan ini juga juga terdiri dari dua jabatan tengen-kiwa, yakni Jero Penyarikan Duuran Batur dan Jero Penyarikan Alitan Batur. Masyarakat ada pula menyebut Jero Penyarikan Kajanan dan Jero Penyarikan Kelodan. Namun, gelar ini memang tidak begitu populis. Hal ini tak perlu diperdebatkan, sebab gelar duuran-alitan, kajanan-kelodan, maupun kanginan-kawanan sejatinya adalah legitimasi dari konsep tengan-kiwa itu sendiri. Intinya keduanya adalah kesatuan yang tidak terpisah.
Jero Penyarikan [Panyarikan] memiliki tugas-tugas layaknya sekretaris adat. Kata dasarnya carik, yang berarti titik. Titik adalah awal dari aksara. Keduanya bertindak sebagai juru tulis dalam segala keputusan terkait desa adat maupun Pura Ulun Danu Batur. Tulis-menulis yang dimaksud menyangkut sekala-niskala. Dalam hal sekala, keduanya hadir dalam rapat-rapat bersama penghulu desa lainnya, sedangkan dalam ruang niskala, keduanya terkait dengan ritual-ritual yang terkait pembayaran kaul (pamegat) hingga memohon anak.
Tingkatan selanjutnya adalah Jero Mangku yang jumlahnya 22 jabatan. Dalam bahasa adat, Jero Mangku ini disebut sebagai Patanganan Dane. Dane yang dimaksud adalah Dane Sareng Nem, yakni gabungan dari dua Jero Gede, dua Jero Balian, dan dua Jero Penyarikan. Patanganan kata dasarnya tangan yang berarti tangan. Maka, patanganan itu artinya mereka yang berperan sebagai pembantu atau penyokong tugas-tugas dari Dane Sareng Nem. Maka, Jero Mangku ini juga membantu peran Jero Penyarikan, Jero Balian, bahkan Jero Gede. Seiring berjalannya waktu dan kebutuhan krama dan umat yang semakin membengkak, tahun 2010 desa adat menyepakati “penambahan” jumlah pemangku sejumlah 21 orang. Bhatara yang sebelumnya tak memiliki jan banggul dibuatkan untuk mempermudah dan mendinamiskan proses adat dan agama di desa adat. Hak dan kewajibannya pun sama seperti pemangku lainnya yang berjumlah 22.
“Aguron-guron”
Pemangku dalam artian luas yang terdapat dalam konstruksi masyarakat Batur merupakan seorang jan banggul. Artinya, para pemangku tidak saja diangkat menurut kesepakatan sekala oleh masyarakat, namun juga dipilih oleh entitas niskala, yakni para bhatara yang berstana di parahyangan-parahyangan desa.
Jero Gede Batur Duuran sebagai sosok pemimpin, nyungsung atau menstanakan bhatara utama yang dihormati di Desa Batur pada dirinya, yakni Ida Bhatari Dewi Danuh. Jero Gede Batur Alitan nyungsung entitas bhatara yang bergelar Ida Bhatara Madue Gumi, Jero Balian Kajanan dipilih oleh entitas bhatara bergelar Ida Bhatara di Alas, sedangkan Jero Balian Kelodan dipilih oleh entitas bhatara bergelar Ida Bhatara Patani. Sementara itu, Jero Penyarikan Duuran dan Alitan dipilih oleh Ida Bhatara Gede Penyarikan. Demikian pula para jero mangku, semuanya dipilih oleh entitas bhatara dengan berbagai gelar.
Pemilihan para pemangku ini didasarkan pada upacara nyanjan, yang dilakukan secara khusus oleh desa adat. Pada ritual itu, dasaran-dasaran desa yang terpilih diberikan ruang, dimohon untuk menjadi wahana ida bhatara berkomunikasi dengan masyarakat desa. Ketika upacara berhasil, para dasaran itu akan mengalami trans, kemudian menyebut nama seorang anak yang terpilih.
Anak-anak yang terpilih memegang posisi-posisi itu merupakan seorang anak yang belum menikah. Rentang usianya dapat sangat beragam. Pada sebuah kasus nyanjan di tahun 2016, yang terpilih adalah seorang anak usia 4 tahun. Sedangkan, kasus nyanjan 2020, saya yang terpilih sebagai Jero Penyarikan Duuran, kala itu telah berusia 25 tahun.
Jabatan sebagai pemangku itu akan dijabat oleh anak-anak terpilih sepanjang hayat. Pengecualiannya ada pada Jero Balian, ketika misalnya memutuskan untuk menikah. Ketika kasus itu terjadi, maka yang bersangkutan akan diberhentikan dan diganti oleh anak terpilih lainnya.
Setelah terpilih, anak-anak tersebut akan menjalani masa perguruan. Mereka akan diajarkan etika (sasana) kapemangkuan melalui perantara senior mereka yang telah lebih dulu terpilih. Demikianlah. Proses aguron-guron itu berjalan dengan rahasia dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.
Wisuda
Seorang pemangku terpilih dinyatakan sah sebagai pemangku ketika sudah dilakukan upacara pamadegan. Pamadegan artinya penobatan. Pada momentum inilah anak-anak yang namanya disebut dan terpilih melalui nyanjan akan disahkan sebagai seorang pemangku. Rambutnya akan dicukur habis, sebagai pertanda memasuki tahap hidup yang baru sebagai pelayan umat. Namanya juga akan resmi berganti, menanggalkan nama lahir yang diberikan oleh orang tuanya ketika berusia tiga bulan.
Pemadegan adalah penobatan. Momen resminya seorang pemangku masuk dalam perguruan tradisi masyarakat penyokong Gunung Batur. Setelah dinobatkan dan melakoni berbagai brata pengekangan, titik akhirnya mereka akan diwisuda oleh nabe niskala, Ida Bhatara Bujangga Luwih yang berstana di Pura Jati.
Bhatara Bhujangga dalam tata adab Batut memang diyakini sebagai nabe niskala manusia Batur. Dari jnana beliaulah Weda dan berbagai pengetahuan hidup diturunkan. Kepada beliaulah krama Batur memohon anugerah kepandaian dan kebijaksanaan guna mengelola hidup dan kehidupan agar berguna bagi masyarakat dan dunia.
Proses memohon anugerah Weda bagi pemangku disebut sebagai mancang karma. Ritual ini dipilih pada waktu yang telah ditentukan, beberapa saat setelah pamadegan. Seorang pemangku yang telah dicukur rambutnya, seperti biksu-biksu saolin yang tergambar di film-film bernuansa kungfu Tiongkok akan berjalan dari Pura Ulun Danu Batur menuju Pura Jati. Dalam perjalanan, para pemangku dibekali setangkai bunga jepun putih yang dipegang dengan sikap tangan amustikarana. Selana berjalan, pemangku tersebut tidak boleh menoleh ke belakang. Pandangan harus lurus ke depan, sebagai tanda berserah kepada entitas nabe niskala, memohon diberikan anugerah Weda, diiringi oleh masyarakat sedesa.
Rangkaian upacara mancang karma itu melalui tiga situs penting dalam struktur peradaban Desa Batur. Pertama adalah Pura Pelisan, situs yang diyakini menjadi campuhan 11 tirta milik Ida Bhatari Danuh. Di pura ini anak-anak terpilih akan malukat di tepi danau. Maknanya membersihkan diri sekala-niskala sebelum menerima sari-sari pengetahuan Weda yang agung dari sang nabe (catatan wawancara Jero Mangku Budarsana, Januari 2020).
Perjalanan dilanjutkan menuju Pura Jati Batur. Di keraton Hyang Maha Muni inilah seorang anak terpilih akan dihadapkan pada banten dan berbagai peralatan kepemangkuan yang nanti akan begitu akrab dengannya. Di sini, seorang pemangku untuk pertama kalinya akan mulai memimpin upacara dengan sarana banten rosan. Untuk pertama kalinya, anak-anak terpilih yang telah melalui beragam proses itu akan merapal sloka-sloka Weda, menyuarakan genta, menyalakan dupa-dipa, ngaskara bija, dan memercikkan tirta. Usai proses tersebut, maka ia diwisuda sebagai seorang pemangku.
Setelah memohon ajaran Weda di hadapan nabe niskala, perjalanan dilanjutkan ke Pura Padang Sila. Padang artinya sinar, sila dapat berarti sikap duduk, prilaku atau juga batu. Dalam proses pengesahan seorang pemangku Pura Padang Sila memiliki pesan agar menstanakan Weda yang telah dianugerahkan di Pura Jati, kemudian menubuhkannya dalam laku sehari-hari. Padang sila dapat diartikan sebagai sikap atau kedudukan yang bersinar.
Setelah semua proses ini terlewati, maka seorang pemangku yang terpilih resmi melakoni segala tugas dan tanggung jawab. Meski tidak memiliki sertifikasi lembaga terakreditasi, tidak pintar dalam merapal Weda-mantra, namun anak-anak ini telah diberi stempel “patut”. Persoalan bisa kemudian merupakan bagian dari proses belajar.
Oleh karena proses yang panjang itu pulalah, di desa saya terpilih sebagai pemangku sangat istimewa. Pakaian serba putih yang dikenakan bukan sekadar aksesoris. Di seberang jalan, masyarakat umum juga tidak akan berani sembarang memakai aksesoris kepemangkuan itu. Ila-ila dahat amada-mada, demikian diajarkan oleh leluhur kami. [T][JPDB]