AKU DAN PERTIWI,
PERCAKAPAN DI DEPAN API
Api menjulur-julur mengkabutkan pandangan
Orang-orang kian menjadi bayangan
Oleh lelehan air mata melepas sebuah kepulangan
Jika pun bukan dia
Di pembaringan api itu, katamu
Aku harus menyaksikan tarian api yang sama
Memulangkanmu pada tanah, pada angin,
Pada air dan ruang tak berbentuk
Lewat penyucian api.
Tapi hari ini, meski tanpa air mata
Ingatan masih mengiris setajam belati
Terkadang menyulut ketidakpahaman
Seperti kabut, mengaburkan langkah yang mulai pasti
Menuju arah, entah secerah atau segerah apa
Jangan mengubah diri,
jadi kemayu,
jadi bisu, gagu,
Memaknai peristiwa perjalanan.
Kau hanya terpilih,
Bersaksi, mengantar yang hendak pulang.
Saksikanlah wajah-wajah liar saat ini
Tanpa warna, berpayung kemegahan semu
Yang kau lihat hanya warna lumpur,
dan debu kehidupan
Dibalurkan hujan dan kemarau.
Jalan setapak menuju rumah kenangan,
Takkan mudah, tak mungkin tanpa resah
Suara-suara bangkit dari mantram yang tertanam
di empat sudut rumah,
dari balik pintu yang tak rapat tertutup,
dari helai daun dan bunga kesayangan
yang kau ajak becakap tentang kesepian
dan kala suntuk.
Atau lolong satwa menjelang malam,
Memberi isyarat ada yang mengintai
Dari lubang gerbang.
Mungkin juga dari kedalaman batin
Orang-orang yang diganggu rasa bersalah
Mimpi hari ini membuatmu bergairah
Hari-hari dialiri pertanda,
Bermula dan berakhir dengan tanya
Ayat ayat, lturun dari langit
Melingkar, berpusar di langit-langit rumah
Seperti kupu-kupu yang tiba-tiba mendekat
Tak teduga kedatanganya, dan
Dibaca dukun petanda baik
Jangan terkesima pada kata dan pertanda
Tak selalu menjaga kehidupan, bersih dari
hiruk pikuk keinginan
Limbahnya terserak di mana-mana.
Jalanan kian riuh dengan lalu lalang
Orang-orang bicara agama,
Di pelataran terang, atau bawah pohon tanpa cahaya.
Di ujung hari mereka pulang
tanpa penerangan.
Membawa belati tersembunyi di dadanya
Degan mata nyalang
dituntun dendam.
8jan2021
PEREMPUAN SEKUNTUM
Apa agama pemberi luka, apa
agama penyembuh?
Perempuan perindu menghutankan kesepiannya
jadi belantara pekat.
Tanpa cahaya menyelinap di rimbunnya.
Jika kau tersesat di lingkupnya,
Pastikan tak mematahkan
kuntumnya yang lunglai
Karena kau membawa dengung
membangkitkan hangat percintaan.
Ia pemuja mimpi.
Di hari tak terduga,
Badai datang di cuaca benderang.
Menghalau mimpi tanpa janji.
Ia mengintai celah jeruji perunggu
Terpaku pada fatamorgana.
Dari bilik berpintu emas,
Membayangkan yang enggan datang.
Di mimpinya ia jadi perempuan
bermahkota bunga
Menari bersama lelaki bersuara lirih
Bersama memetik saripati kehidupan
Di sela ilalang beraroma tanah basah
usai hujan semalam
Hari akan selalu pekat,
mengelam oleh pikiran murung
seperti tanpa bulan.
Mendung memahkotai langit.
Awan menyembul tipis
Dari selipan halilintar.
Hati seperti layar , bercahaya temaram
lalu redup.
Pohon-pohon jadi bayangan,
Terguncang-guncang di angin
Seperti suasana hati, seperti air mata
Menunggui hari dengan mata cekung,
Ayat-ayat seperti teraduk-aduk dalam sujud
Sudah lama ia lupa keceriaan sembahyang
Sepi demi sepi sederas dukacita
Tapi kesepian bukan kata mati
Biarkan keheningan meraya.
20 des 2020
TIRAN
Kurungan itu bernama waktu
Membatasi gerak perjalanan , dari
gerbang rahim hingga perhentian mahahening
Dalam perjalanan, menyusuri lorong pencarian
Di dindingnya terbaca tulisan takdir
Mungkin tak terpahami, tapi sejati
Pertemuan, di ujung pencarian.
Ada ribuan mata cahaya berpendar
Di dinding gua yang menggemakan suara
Mengirim pantulannya ke dalam jiwa yang mendengar
Menggemakan yang tak ingin kau ingat,
Meletupkan yang ingin kau senyapkan.
Mengingatkan ke sebuah hubungan
Kekeramatan menara rapuh angan-angan
Rasa sakit, derita zaman,
Orang-orang meneriakkan luka
Di dalam kurungan waktu,
Jiwa terlontar dari kesilaman,
Juga melontarkan semua gumam
Jadi suara kanak-kanak,
menyanyikan keinginan tak terukur.
berputar-putar,
di udara, terserak jadi dingin angin
Saatnya pulang pada hati yang terjaga.
Sunyi seribu pintu melilit jadi naga waktu
Memanggil awan, mencegah gemintang
mendekat sebagai utusan malam.
Tapi malam tak bisa menunda kedatangannya
menyungkup jiwa yang jumawa.
Di perjalanan,
menuju perhentian,
Apa makna kemegahan,
Kesilaman yang kau bawa
dengan dada membusung.
Kekeramatan silsilah,
Di menara angan-angan
masihkah bermakna?
15 jan2021
CERITA DI UJUNG TAHUN
Saksikanlah perayaan ,
tanpa festival kembang api.
Duduk kita di tepi trotoar, bersisian
Dengan orang-orang berbaju lusuh.
Wajah-wajah tak tertakar oleh kata.
Kita simpan kantung kata,
Yang isinya tak seberapa
untuk menggambarkan kedalaman duka.
Hanya langit semburat merah
Membayangi malam.
Mereka menanti kelahiran tahun
Menitipkan pengharapan di doa-doa,
sarat beban, sarat keinginan.
Kelahiran,
terhubung dengan hakikat,
Penebusan yang dikendalikan takdir
Mengalir dalam perencanaan mahakala.
Menghela orang- orang ke medan perburuan hidup
Menghadang waktu,
Di sana keberanian terhunus
dan terukur.
Aku gentar, terkurung rasa tertikam,
Pilu menolehkan wajah ke sekitar,
Juga ke belakang,
Ke bentangan berlumpur.
Di atasnya berdiri hunian tak utuh,
Rumah rohaniku.
Beratap berlubang di sana sini
Sebagian keropos
dikikis badai musiman.
Musik syahdu mengalun dari seberang jalan
Bergantian dengan irama gerimis
Semakin memperkuat nuansa dingin desember
Orang -orang,
lewat paduan suara menyayat hati
Menangisi lelaki yang darahnya
Membasuh dosa peradaban
Luka demi luka berbalasan dosa demi dosa
Penanda perayaan,
Pohon-pohon buatan dipajang di etalase toko
Berhias lampu warna warni,
Bintang-bintang, salju,
Juga buatan.
Puisi sendu terselip di bawah alas meja perjamuan,
Agar tak mengganggu perayaan
Kerlip lampu kian liar seiring malam,
merambati kota
Cahayanya jatuh di tubuh orang – orang
Yang tenggelam dalam kerumunan
Gelak tawa menjalari kehangatan.
Bayangan gelap pohon menimpa
para penyusur jalanan.
Derai tawa perempuan bersahutan dengan
Gurau nakal petualang tengah malam.
Hilang muncul di gang tanpa papan nama.
Siapa peduli jika pun kau tak bernama
Bahkan gambar wajah memelasmu
Terbuang tanpa catatan waktu
Orang-orang asyik masyuk,
Dan kau terantuk-antuk
menyusuri kesendirian.
Sampai di ujung hari sekali pun.
28 des 2020
DURGA
Kau, bagiku, juga ibu
Jelita, menari di kedalaman kalbu
Bersthana di pikiran dan kata
Menerima yang pulang,
Juga yang datang
membawa permintaan.
Di hari terpilih,
di taman indahmu,Gandamayu
Aku akan bertemumu
Disambut lima perempuan bercadar putih
Kumasuki hamparan jiwa jagatraya
Mahapenerima.
Aku seperti kanak-kanak,
Pulang bermain di ambang sore
Membawa hati riang bercerita
Aku, kau, mempercakapkan segala
Yang kupetik di permainan hidup
Sukacita, dukalara, hingga
Dendam yang membakarku
Juga berjilid-jilid tanya
Yang kutulis sebelum ajal.
Kusimpan wujudmu,
Perempuan perkasa nan jelita
Tangan-tangan terkembang
Selayaknya memayungi semesta
Menjadi shakti , menjaga keseimbangan takdir
Rumah indahmu, tamansari penuh bunga
Dijaga dayang-dayang
Pengabdi penuh cinta.
Siapakah merajah kekeramatan
pada pepohonan, menakik-nakik bongkah kayu
jadi menyeramkan
Berabad lamanya mengukir wajahmu
yang menggetarkan, berkuasa atas makam.
Orang-orang enggan
Melintas di malam-malam,
Engkau menari tanpa bulan.
Rinduku melebur jadi doa,
Saat terbuka gerbang lorong waktu
Inginku membawa semua tanya
Yang lama mengganggu jiwa
Membuatku tak nyaman,
Seperti menjalani kutuk,
Karena aku perempuan.
Angin liar berputar dalam tubuh, menggiringku
Jadi pengigau, pemuram,
berkali-kali kehilangan gairah sujud
Jika aku hadir tak lagi
sepenuhnya manusia
Mungkin sebagian wajahku denawa,
Satwa, atau entah apa
Sesungguhnyalah karena tenung luka,
amarah, jadi sakit menahun tanpa dukun
Menguras sari rasa hidup.
Kubawa di berbagai musim
Mencari penawar racun di antara huruhara
yang selalu mengurung.
22 des 2020