“Indah sekali!” Karin berujar dengan aksen kental Indonesia ketika mata kameranya menangkap kilau es puncak gunung Matterhorn.
Seketika seperti ada yang menampar telinga Franz. Ia kemudian menghampiri.
“Mengapa perempuan Indonesia begitu berani jalan-jalan sendiri di Swiss?” Franz bertanya
“Swiss yang ramah tak pernah memerlukan keberanian bagi perempuan yang lebih bahagia menikmati alam ketimbang mengurung diri di kamar.” Karin menjawab dingin seraya merogoh saku dan menawarkan sepotong coklat dengan asumsi bahwa coklat mampu merangsang rasa bahagia.
Percakapan mereka akhirnya tumpah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Karin mengatakan bahwa ia baru pertama kali ke Zenmart. Franz menceritakan kota di atas pegunungan itu dengan rinci mulai dari udara yang sejuk, waktu yang efisien, dan kebersihan yang tak akan ia temui di Indonesia. Dan karena memiliki tujuan yang sama, sore itu, di atas kereta menuju Basel Karin menceritakan perasaan jatuh setiap cinta pada pintu kereta yang terbuka dan tertutup dengan anggun, juga veron yang muncul ajaib di bawah kaki setelah kereta berhenti. Sampai di Basel, tak terasa mereka begitu jauh menceritakan nasib masing-masing.
Franz mengatakan bahwa dia bukan lelaki Swiss tulen. Darahnya, setidaknya, setengah Indonesia dan separuhnya Swisss. Masa kecilnya tak pernah bahagia. Segala sayup kesedihan dalam hidupnya berasal dari sana. Saat usia 10 tahun orang tuanya berpisah. Mereka tak pernah akur semenjak ada lubang rahasia yang terbuka. Ayah Franz menjalin hubungan lain dan dengan niat tebal kemudian menceraikan ibunya dan menikahi perempuan rumah bordir di Surabaya. Karena sakit hati dan agar tak terkenang-kenang akan suaminya, Franz diajak ibunya pulang ke Swiss.
Sejak saat itu, ibunya selalu berusaha memupuk kebencian Franz kepada ayahnya, dan tentu juga, perempuan yang berhasil memikat ayahnya. Sampai sekarang. Sampai usianya 19 tahun, di depan ibunya Franz selalu berusaha membenci ayahnya dan tak sekalipun menyebut namanya. Tapi dalam hati sebenarnya Franz ingin mendapatkan jawaban yang pasti mengapa Franz harus membenci ayahnya. Ia ingin bertanya tentang kebenaran itu. Tapi bagaimana mungkin kebenaran ia dapatkan? Franz tak memiliki alamat dan kerabat yang bisa menjelaskan keberadaan ayahnya.
Franz juga akhirnya sedikit tercengang ketika ia tahu bahwa Karin adalah orang Surabaya. Elmo, ayah angkatnya, menawari untuk kuliah filsafat di Swiss. Mulanya, ibunya tak mengizinkan karena karin adalah perempuan satu-satunya. Ia begitu berarti bagi keluarga. Tapi dengan tegas karin sanggup menyakinkan, bahwa sejak lama ia ingin belajar serius dan pantas di perguruan tinggi. Petatah-petitih tentang pentingnya mengenyam pendidikan tinggi terus ia lontarkan kepada ibunya sampai pada akhirnya ia luluh.
Dalam keras keinginan Karin, ibunya sempat berkata dengan wajah sedih. “hidup begitu sepi seandainya kamu pergi” Karin tertegun dan langsung memeluk ibunya. Sekali lagi, ia memaksa ibunya untuk percaya bahwa ia tak akan lama meninggalkan Surabaya. Setelah selesai kuliah, ia berjanji akan mencari kerja untuk memperbaiki kegagalan kehidupan keluarganya selama ini. Karin benar-benar memaksa ibunya untuk berhenti bersedih dan memberikan pelukan hangat dalam beberpa menit. Franz tak begitu detail mendengarkan cerita Karin. Sambil membayangkan Surabaya, rasanya Franz telah banyak melewatkan cerita pedih dalam hidup Karin.
Di hari-hari berikutnya, kehadiran Karin kemudian membawa keberuntungan. Setiap enam bulan sekali, ia selalu meluangkan waktu pelesir ke Surabaya menemani Karin menikmati libur semester. Franz menyempatkan berkunjung ke rumah-rumah bordir —tempat satu-satunya yang ia bayangkan untuk menemui ayahnya. Franz hanya ingin melihat apakah ayahnya bahagia dengan pilihan itu. Hanya itu. Tak lebih. Tapi tanpa sengaja ia menikmati kebiasaan jalan-jalan mengunjungi rumah bordir satu ke yang lainnya.
Pada mulanya ia hanya menemukan rumah bordir sebagaimana rumah bordir pada umumnya yang memajang perempuan-perempuan dalam aquarium. Mereka seperti ikan hias yang ditawarkan. Meski mereka cantik, Franz telah memendam perasaan benci. Sesekali Franz memang memesan perempuan itu, tapi bukan untuk ditiduri. Franz hanya mengajaknya bersenda gurau di sebuah kafe dan sekadar memancing perempuan-perempuan itu untuk menceritakan hidupnya dan bertanya apakah ia mengetahui Sukarjo, ayahnya. Tapi Franz tak menemukan apa-apa. Barangkali memang kehidupan orang tak selamanya perlu diceritakan.
Dari rumah bordir satu ke lainnya, Franz hampir melakukan hal yang sama. Tapi suatu kali, ia menemukan rumah bordir yang berbeda. Rumah Bordir Kupu-Kupu. Tapi anehnya, ketika Franz memasuki rumah bordir itu, tak satupun ia temukan perempuan muda yang cantik jelita. Hanya rumah kecil yang tembok-tembok sekelilingnya bersih. Tak ada debu yang menempel. Cat temboknya nampak selalu baru. Hanya perempuan tua yang mencoba terlihat muda dengan bedak tipis dan bening gincu di bibir halusnya. Gaun tipis dengan corak pantai membuat hidupnya tampak cerah. Kedua tangannya sibuk menulis sesuatu pada sebuah kertas. Sesekali ia juga memainkan telepon genggamnya. Suaranya tertahan. Batuk dan serak.
Franz mendengar rumor bahwa nama perempuan tua itu adalah adalah Maddam Hana. Entah itu nama asli atau hanya nama samaran dan Franz merasa tak perlu mengetahui terlalu jauh. Melihat Franz berdiri di depan pintu, Maddam langsung menghentikan kesibukannya. Matanya langsung tertuju ke arah Franz.
“Hallo adik manis. Mau pesan yang umur berapa?”
“Apa saya boleh mampir saja dan tidak memesan apa-apa?” tanya Franz kepada Maddam.
“Sudah lama tak ada anak muda yang tertarik mengunjungi tempat ini. Duduklah barang sebentar. Jika tak terburu-buru, akan Maddam buatkan teh.”
Franz mengangguk. Perempuan tua tersenyum. Dengan saksama Franz memerhatikan wajahnya, kulit tuanya nampak menimbulkan gurat keriput. Ia membayangkan betapa cantiknya perempuan tua ini beberapa tahun silam.
“Meski tempatnya kecil, ini adalah rumah bordir terbesar di Surabaya, “ katanya sambil menghidangkan teh di meja. Irisah jahe dan sereh tenggelam dalam gelas. Barangkali perempuan tua itu tak pernah nimkat minum teh tanpa rempah.
“Bahkan saking banyaknya pelayan, sampai-sampai tak ada yang menemani Maddam di sini kan?” kata Franz menimpali.
Mereka berdua tertawa lepas.
Hari-hari berikutnya, setiap berkunjung ke Surabaya, Franz hanya berkunjung ke rumah Bordir Kupu-Kupu dan merasa tak tertarik lagi mengunjungi rumah bordir lainnya. Ia merasa lebih tertarik bergurau dengan Maddam ketimbang sibuk mencari tahu keberadaan ayahnya. Sejak hari pertama Franz ke tempat ini, ia merasa betah dan melupakan ambisi mendatangi rumah- rumah bordir. Maddam Hana kemudian franz anggap sebagai ibunya sendiri. Madam Hanna baik dan menyayangi Franz. Ia kerap menyapa franz dengan dengan pangggilan ‘anakku’. Tanpa sadar, Maddam telah menceritakan banyak hal tentang perempuan dan perihal mengapa rumah bordir ini tak menyediakan perempuan. Rumah ini hanya menyediakan pesanan. Bila kita memesan,maka pesanan itu akan diantar ke tempat tertentu (biasanya sebuah hotel atau losmen). Hal itu bertujuan sedikit menjaga identitas si pelaku bordir. Pernah suatu kali Franz bertanya perihal daftar nama pelayan di rumah ini, tapi segera Maddam menjawab tak ada daftar.
Perempuan-perempuan di rumah ini boleh datang dan pergi sesukanya. Rumah ini juga tak memandang usia dan wajah. Rumah bordir ini menjamin hak kebebasan perempuan. Franz tahu perempuan tua itu sedang bebohong dalam beberapa hal dan Franz juga tak ingin mengulik lebih dalam rahasia dapur perusahaan. Tapi satu yang Maddam tekankan, bahwa untuk memberikan ciri khas, Maddam memberitahukan bahwa setiap pelayan dari ruamah bordir ini memiliki gambar kupu-kupu merah bata di punggungnya.
Cerita cerita rahasia tanpa sadar telah semua menyembul dari mulut Maddam. Tapi setahun belakangan Franz tak pernah berkunjung ke Surabaya. Di Swiss, musim dingin semakin menumbuhkan cinta. Karin dan Franz mulai menimbang, apakah berumah tangga adalah pilihan selanjutnya? Mulanya mereka abai, tapi akhirnya pilihan itu mereka jalani. Di usia yang sudah matang dan memiliki perkerjaan berpenghasilan mapan. Maka mereka akhirnya datang ke Surabaya untuk kesekian kalinya. Karin meminta restu kepada ibunya, sedangkan Franz menyempatkan diri mengunjungi Maddam. Mereka berdua tentu merestui. Di usia yang semakin ringkih, Maddam hanya memberi restu dan doa bahagia. Dengan alasan bahwa ia telah berjanji tak akan meninggalkan rumah bordir kupu-kupu, maka ia tak akan datang ke acara pernikahan Franz.
Di malam pertama bulan madu. Mereka menginap di pinggiran Danau Janeva. Mereka ingin menikmati sensasi bercinta pertama kali di balkon yang menghadap danau dengan interior kilau warna cahaya dari bening danau dan bulan yang tentu akan memantulkan bayangan yang sedang bercinta. Maka Franz dengan semangat menyongsong ranjang. Di sana karin menanti. Ketika karin membuka bajunya, Franz tiba-tiba menelan ludah. Di punggungnya, ada gambar setangkai bunga dan seekor kupu-kupu merah bata. Memandang gambar itu, Franz kemudian tersenyum. Indah sekali. Ia sejenak memalingkan wajah. Di atas sana, cahaya bulan membayang. Begitu tua. [T]