1126 Saka. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana memerintahkan agar seluruh penduduk Bangli [karaman i bangli] tidak pergi [henti lungha]. Tidak dijelaskan di dalam Prasasti Kehen C, mengapa banyak penduduk yang pergi meninggalkan desanya ketika itu. Agar permasalahan itu segera selesai, diutuslah Sri Dhanadi Raja Lancana dan Sri Dhana Dewi Ketu untuk mengembalikan penduduk ke desanya. Sri Dhanadi Raja Lancana yang juga disebut Bhatara Parameswara Sri Wirama adalah anak dari Sri Adikuntiketana. Putra raja inilah yang ditugaskan mengembalikan penduduk Bangli, tambahan tugas lainnya adalah menjaga Sang Hyang Mandala di Lokasarana.
Semua tugas yang dilimpahkan kepada Sri Dhanadi Raja Lancana berhasil diselesaikan dengan baik. Putra raja ini pun memberikan anugerah kepada penduduk Bangli, dan juga tugas lain yang menyertainya. Tugas itu di antaranya adalah melakukan pemujaan pada beberapa tempat pemujaan yang disebut Hyang. Pemujaan itu umumnya dilangsungkan pada bulan Purnama [Sukla 15], kecuali saat bulan ke sembilan [sasih kasanga] pemujaan dilakukan saat Tilem [Kresna 15]. Beberapa nama Hyang dan waktu pemujaannya ialah: Hyang Hatu dan Hyang Pasek [Kasa], Hyang Paha Bangli [Karo], Hyang Tgal [Katiga], Hyang Pken Lor [Kapat], Hyang Kehen [Kalima], Hyang Waringin [Kanem], Hyang Pken Kidul [Kapitu], Hyang Wukir [Kaulu], Hyang Kadaton [Kasanga], Hyang Pahumbukan [Kadasa], Hyang Buhitan [Jyesta] dan Hyang Pandem [Sada]. Sayangnya, jejak Hyang ini sangat samar, saya hanya mengenal tiga nama di antara nama-nama Hyang tersebut saat tulisan ini saya ketik.
Tiga nama Hyang yang masih saya kenali adalah Hyang Kehen, Hyang Tegal dan Hyang Wukir. Hyang Kehen yang dimaksudkan adalah Pura Kehen sekarang, Hyang Tegal adalah Pura di Banjar Tegal, sedangkan Hyang Wukir adalah Pura Hyang Ukir di bukit Bangli. Berdasarkan upacara tahunan di ketiga Pura tersebut dan isi prasasti Kehen C, jelaslah ketiganya tepat. Di Pura Kehen, pemujaan dilakukan setiap setahun sekali pada Purnama Kalima. Sedangkan di Pura Hyang Ukir, pemujaan dilakukan pada Purnama Kaulu. Kenyataan ini sekaligus bisa dijadikan petunjuk untuk melacak tempat-tempat Hyang yang dimaksudkan oleh Prasasti Kehen C. Khusus pada pemujaan di Hyang Wukir, Prasasti Kehen C mencatat sebagai berikut:
[…] ka 8 hyang wukir, pamunuh kbo cmeng, wong tanggahan hamdalaken skul rong sata, hawanyan mareng wukir, turunan kulon wong simpa bunut hamdalaken patang sata, hawanya turunan lor wwatan, wong daha mulih amdalaken rong sata, hawanya turunan kidul kulwan wong babalang amdalaken rong sata, hawanya turunan kidul ring tgal bangkag, i ther karaman i bangli amdalaken wolung sata, hawanya turun kidul, kunang yan hana thaninya tan harepa hamdalaken sata wukir, sipaten de karaman i bangli, rong iwu wtuhaning sadana […] [PKC. 4a][1].
[bulan ke delapan Hyang Wukir, membunuh kebo hitam, orang Tanggahan mengeluarkan nasi dua ratus, jalannya ke gunung datangnya dari barat, orang Simpa Bunut mengeluarkan empat ratus, jalannya datang dari timur laut, orang Daha Mulih mengeluarkan dua ratus, jalannya datang dari barat daya, orang Babalang mengeluarkan dua ratus, jalannya datang dari selatan di Tegal Bangkag, lalu penduduk Bangli mengeluarkan delapan ratus, jalannya datang dari selatan, jika ada penduduknya tidak ingin mengeluarkan sata wukir, akan dikutuk oleh penduduk Bangli, dua ribu mengeluarkan dana].
Lima nama Desa disebut bertanggungjawab saat pemujaan di Hyang Wukir. Masing-masing mengeluarkan ‘iuran’ nasi [skul]. Empat di antaranya masih dapat dikenali sampai sekarang. Hanya nama Simpa Bunut yang tidak dapat saya identifikasi. Tapi jika dilihat dari penjelasan dalam Prasasti Kehen C, sangat mungkin Simpa Bunut yang dimaksud adalah wilayah Desa Sidem Bunut. Hanya saja, Simpa Bunut dinyatakan datang dari arah lor wwatan [Timur Laut] saat membayar iuran pada Purnama Kaulu ke Hyang Wukir. Letaknya berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Peta berikut.
Foto: Sebaran Desa Penanggungjawab Hyang Wukir
Foto di atas menunjukkan sebaran Desa yang bertanggungjawab pada pemujaan di Hyang Wukir. Keterangan kedatangan dari masing-masing penduduk desa tersebut, bisa dikatakan tepat jika Hyang Wukir dijadikan poros atau pusat. Tentu saja kecuali keterangan tentang Simpa Bunut yang dalam prasasti disebut datang dari Timur Laut [lor wwatan], sedangkan dalam peta di atas letaknya di sebelah Tenggara dari Hyang Wukir. Perbedaan letak ini bisa ditelusuri dengan melakukan studi sejarah, khusus tentang Sidembunut atau Simpa Bunut [Kehen C], yang juga disebut Simpat Bunut [Kehen A]. Studi sejarah tersebut, dapat dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber artefaktual dan tekstual. Sebagai bahan awal, dapat diawali dengan membandingkan dua nama Sidembunut pada dua prasasti berbeda berikut ini.
[Simpat Bunut: Prasasti Kehen A, 1][2]
[Simpa Bunut: Prasasti Kehen C, IVa.2][3]
Kedua foto prasasti di atas, menunjukkan dua nama berbeda. Data ini bisa dijadikan bahan studi bagi siapa saja yang ingin menelusuri sejarah Bangli secara umum, dan Sidembunut secara khusus. Kedua prasasti tersebut, jika dibaca-baca dengan hati-hati dapat memberikan informasi yang sangat penting. Informasi itu bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah, serta pengembangan potensi daerah Kabupaten Bangli. Apakah peluang studi ini akan disia-siakan sekali lagi?
Selain Simpa Bunut, Prasasti Kehen C juga memuat beberapa nama Desa dan batas wilayah [sima] Bangli pada tahun 1204 M. Batas wilayah Bangli, menurut keterangan prasasti, dibagi menjadi delapan wilayah [asta desa]. Batas di Timur Laut adalah sebuah tempat bernama Gulinggang. Di selatan dari Gulinggang, adalah Sumaniha. Di Sumaniha ini, terdapat patirthan bernama Makara Dewi. Patirthan Makara Dewi adalah patirthan bagi Bhatara Guru dan Sri Paduka Parameswari.
Jika datang ke Selatan dari gunung atau bukit, ada tempat bernama Jelit Pande. Di tempat ini terdapat sebuah goa bernama Guwa Mreku. Goa ini adalah Pakacahan dari Parameswari. Sayang sekali, dalam Kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia yang disusun oleh sebuah Tim Penyusun [1985] kata pakacahan dan kemungkinan kata dasarnya kacah, tidak saya temukan. Jadi, terjemahan terhadap istilah ini belum tuntas.
Ke selatan dari Guwa Mreku, ada tempat bernama Kajaksan, Salawungan, Tabu Pecuk, Patapan, dan Sambhawa. Di sebelah timur dari tempat-tempat tersebut adalah sungai bernama Er Banyu yang berurutan dengan Tegal Halangalang, Cahum, dan Susut. Di Tenggara, ada tempat bernama Panunggekan. Di Selatan terdapat Palak Pangawan Slat. Di sebelah Barat Daya, terdapat tempat bernama Tanah Pasih. Di sebelah Barat adalah sungai Er Sangsang, Sima Pringadi, Candi, Wukir Mangun, Talengis, Nasi Kuning, Er Sana. Sebelah Barat Laut terdapat Siddhawahas. Sebelah Utara terdapat Bantas.
Beberapa nama tempat yang disebutkan, masih bisa dikenali sampai sekarang. Sayangnya, tidak banyak informasi yang bisa saya dapatkan dalam penelusuran singkat ini. Batas-batas wilayah ini masih bisa ditelusuri lagi dan ditentukan titik koordinatnya. Dengan begitu, kita akan mendapatkan rekam jejak Bangli pada tahun 1204 Masehi. Keterbatasan informasi semacam yang saya temukan ini, mestinya bisa teratasi dengan melakukan penelusuran lanjutan. Hasil penelusuran itu dapat memperkaya data dalam laman resmi Pemerintah Kabupaten Bangli.[4] Dengan begitu, informasi penting ini bisa diketahui oleh siapa saja yang ingin mengetahui Bangli lebih dalam.
Bangli adalah butiran emas yang hilang. Nilai historis, culture, ekonomi, politik, yang diwariskan dari masa lalu, sudah terlupakan. Kutipan prasasti Pura Kehen C, hanya termuat dalam penjelasan mengenai sejarah Bangli. Seterusnya, di dalam laman yang sama, tidak ada lagi penjelasan sosial budaya yang memberikan informasi menarik terkait Bangli sebagai Kabupaten. Bukankah budaya adalah akar pariwisata?
Secara umum dapat dinyatakan bahwa potensi-potensi pokok kebudayaan Bali yang dapat mendukung pengembangan pariwisata budaya. Pertama, menampakkan diri sebagai satu sistem yang penuh vitalitas, selektif, dan adaptif. Kedua, unik dengan identitas yang jelas. Ketiga, merupakan kebudayaan ekpresif yang memiliki landasan etika dan estetika yang kuat. Keempat, merupakan satu sistem yang dinamik. Kelima, memiliki akar dan daya dukung lembaga-lembaga tradisional yang kokoh. Keenam, memperlihatkan kekayaan variasi serta kaya akan konsepsi-konsepsi yang dapat dipakai sebagai landasan pembangunan [Oka, 2002: 123].
Keenam potensi pokok tersebut, bisa ditemukan di Bangli dengan sangat mudah. Point pertama, dapat ditemukan dalam ritus religi masyarakat Bangli secara umum. Jika ingin mendapatkan contoh sederhana, bisa ditemukan dalam pelaksanaan pemujaan di beberapa Hyang yang terdapat di Bangli. Contoh kecilnya adalah pemujaan di Hyang Kehen atau Pura Kehen. Pada Karya Agung Panca Wali Krama Ngusabha Betara Turun Kabeh di Pura Kehen Bangli, mendapat dana Hibah sebesar Rp. 1.800.000.000,- dengan nomor SP2D: 04716/SP2D/LS-BR/PPKD.HIBAH/2018/ 6 Agustus 2018[5]. Itu artinya, ada perhatian pemerintah terhadap warisan sosio-religius berupa pemujaan di Hyang Kehen. Perhatian sejenis ini, mestilah dilanjutkan dan ditingkatkan tidak hanya pada tataran aktifitas religius. Jika dahulu perhatian sejenis diberikan oleh penguasa atau raja, maka pada masa kini perhatian diberikan oleh pemerintah Kabupaten. Inilah bukti bahwa memang benar kebudayaan di Bangli memiliki sistem yang penuh vitalitas dari sudut pandang sejarah, dan juga adaptif.
Point kedua adalah kejelasan identitas dan keunikannya. Identitas Bangli sudah sangat jelas jika ditelusuri dalam beberapa tinggalan prasasti. Bahkan prasasti berangka tahun 804 Saka, yang diakui sebagai prasasti tertua di Bali, terdapat di Kabupaten Bangli. Point ketiga sampai keenam, tidak lagi perlu dijelaskan secara spesifik. Sebab di wilayah Kabupaten Bangli, terdapat beragam tradisi, ritual, tarian, sastra, geliat ekonomi, pertanian, peternakan, yang barangkali sudah didaftar secara runut oleh pemerintah. Intinya, Bangli adalah emas yang bisa diolah agar lebih bernilai dan berharga.
Mengenai beberapa prasasti yang terdapat di wilayah Kabupaten Bangli, tampaknya dapat dibuat duplikat dari masing-masing prasasti tersebut. Prasasti, selain sebagai data sejarah yang sahih, juga sekaligus sebagai warisan kekayanan intelektual. Kekayaan intelektual ini, terlalu bernilai untuk dipunggungi. Jika pun tidak dapat dibuatkan duplikat, skema lain seperti digitalisasi bisa menjadi salah satu solusi lain. Ada banyak skema yang bisa ditempuh demi pewarisan sejarah kepada pewarisnya yang sah. Oleh sebab itu, gagasan-gagasan demi pembangunan intelektual di Bangli sangat layak untuk dieksekusi. Berawal dari dunia ide yang konon abstrak, bisa diwujudnyatakan dalam bentuk yang real.
Langkah pertama mesti dipijakkan melalui studi komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak. Beberapa tinggalan tekstual berupa prasasti pada media logam maupun batu, bisa dibaca ulang dengan bantuan dari ahli-ahli pada bidangnya. Dengan demikian, pembangunan daerah dapat dilakukan tanpa tercerabut dari akar sejarah dan budayanya. Akar budaya yang kuat, hanya mungkin didapat dengan pengetahuan sejarah yang kuat. Pengetahuan sejarah yang lengkap, tidak didapat di bangku sekolah, tapi museum. ‘Bangli’ mesti dimuseumkan! Jadi, konklusi dari tulisan ini berbentuk pertanyaan: Atas nama intelektualitas, mari kita bertanya kepada kepekaan sosial dan kultural. Dimanakah nama Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana, Sri Dhanadi Raja Lancana, dan Sri Dhana Dewi Ketu diabadikan di Kabupaten Bangli sekarang? [T]
Bibliografi
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I-II. Bandung: Masa Baru.
Granoka, Ida Wayan dkk. 1985. Kamus Bali Kuno-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Oka, Ida Bagus. 2002. “Potensi dan Tantangan Masa Depan dalam Pengembangan Pariwisata Budaya di Bali”. Dalam Menuju Terwujudnya Ilmu Pariwisata di Indonesia, suntingan I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Program Studi Magister [S2] Kajian Budaya Universitas Udayana.
Tim Penyusun. 1977. “Laporan Penelitian Epigrafi Bali Tahap I, No. 11”. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P&K.
[1] Berita Penelitian Arkeologi No 11, Laporan Penelitian Tahap I [1977]
[2] Koleksi Universitas Leiden, bandingkan Goris [1954: 58] dan Tim [1977: 20].
[3] Koleksi Universitas Leiden, bandingkan Tim [1977: 22]
[4] Laman ini bisa ditemukan pada link: http://banglikab.go.id/index.php/home
[5] Kompilasi Laporan Pertanggung Jawaban Raelisasi dan Penggunaan Oleh Penerima Dana Hibah dan Bantuan Sosial Periode Januari-September Tahun Anggaran 2018 [diunduh 19 Agustus 2020, 11:36:32 am]