30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sastrawan Muda Melihat Keindahan || Sebuah Apresiasi

I Gusti Agung ParamitabyI Gusti Agung Paramita
January 19, 2021
inUlasan
Sastrawan Muda Melihat Keindahan || Sebuah Apresiasi

Buku "Bulan Sisi Kauh"

Pertengahan Januari 2021 ini saya dihadiahi beberapa buku oleh sastrawan muda perenung. Ada studi sastra dan prosa liris berbahasa Bali. Prosa Liris berjudul “Bulan Sisi Kauh” yang diterbitkan Pustaka Ekspresi cukup menggugah. Penulis menyebut dirinya “Nirguna”. Yang memberi kata pengantar juga tak kalah bikin merenung: IBM Dharma Palguna.

Saya tak akan membahas ini. Ulasan IBM Dharma Palguna terhadap prosa liris ini cukup mendalam: Si Nirguna dibahas dengan perspektif Triguna! Si Nirguna dilihat sisi-sisi eksistensialnya: terharu, cemas, sedih, takut dan merasa diri kecil, dekat jauh dan seterusnya. Khas ciri “mengada” manusia. Apa benar “Nirguna” demikian?

Nirguna pun jatuh bangun menyusuri jalan panjang itu—sebuah jalan panjang yang disebut Triguna Tattwa. Menarik bukan? Meskipun penulis menyebut “Kruna-krunane nenten lengut,” namun pilihan dan permainan katanya menyentuh rasa. Dan sulit untuk tidak mengatakan: ada “Palguna” di dalam perjalanan sastra “Nirguna”.

Tidak hanya beberapa karya ini, saya juga sempat membaca studi anak muda ini (saya panggil Gus DP) tentang Kidung Bhramara Saṅu Pati. Alur berpikirnya cukup rapi, kadang sangat sastrawi. Meskipun ia sadar, tak sedang merangkai kata untuk sebuah puisi gombal, tapi karya akademik.

Yang menarik adalah caranya mengelaborasi kata Lango, Mango dan Kalangwan. Sejak awal ia membuat kesimpulan atas elaborasi tentang subyek dan obyek keindahan—dan bagaimana keduanya menyatu.

Pada awal tulisan, Ia menjelaskan: Kalangwan merupakan keadaan bertemunya keindahan [langö] dan mengakibatkan leburnya jarak antara pencari dengan yang dicari. Leburnya jarak, menjadi sebab jiwa hanyut ke dalam keindahan yang sublim.

Jarak tidak hanya sebagai konsepsi ruang dan waktu, namun juga kesadaran yang memisahkan subjek dan objek. Leburnya jarak berarti lenyapnya ruang, waktu, dan kesadaran [subjek dan objek]. Keadaan demikian menjadi tujuan oleh kawi. Kawi adalah ia yang telah memasuki dan dimasuki oleh lango. Keadaan saling masuk-memasuki itulah yang diterjemahkan menjadi kalangwan.

Si penulis sadar tidak mudah membahasakan—apalagi memahami kalangwan. “Bukanlah perihal mudah membahasakan kalangwan, sebab seringkali kata-kata tidak mampu mewadahi ide yang dimaksudkan olehnya”. Begitu tulisnya.

Selanjutnya Ia mengutip pandangan beberapa peneliti seperti Zoetmulder dan Robson, yang terpenting adalah Suryohudoyo. Anak muda ini menginterpretasi pandangan Suryohudoyo ini. Suryohudoyo menyatakan bahwa istilah langö juga mengacu pada sensasi ketidaksadaran diri ketika seseorang benar-benar diserap oleh keindahan dan hilang di dalamnya, sehingga “segala sesuatu yang lain tenggelam dalam kehampaan dan terlupakan”.

Pertanyaannya memang, siapa yang dilebur dan melebur, siapa yang ditelan dan menelan. Ia menganggap bahwa ketika lango adalah sensasi ketidaksadaran diri seharusnya tidak ada lagi dikotomi antara subjek maupun objek, sebab keduanya telah lebur. Subjek seolah tertelan ke dalam keindahan objek, atau sebaliknya keindahan objek ditelan habis oleh subjek.

Sementara ini, subjeklah yang dikatakan hanyut ke dalam objek, dengan meniadakan kemungkinan bahwa yang terjadi dapat pula sebaliknya. “Argumentasi yang diungkapkan Suryohudoyo tersebut tidak memperjelas istilah langö,” kritiknya.

Kuntara menyebut pengalaman ekstatis. Alam dan manusia menjadi satu dengan keindahan. Ketika berhadapan dengan alam yang mempesona (alango), sang kawi pecinta keindahan (mango), terpesona (alango), terserap seluruhnya dan tenggelam dalam obyek yang dipandangnya (lengleng) hingga yang lain lenyap. Di sini semua kegiatan budi terhenti. Inilah pengalaman ekstatis yang merangkum pengalaman estetis dan mistik religius.

Di sini, Gus DP menolak terjebak pada pandangan dikotomis antara subyek dan obyek. Istilah “seorang diserap” seolah-olah mengindikasikan masih ada pandangan dualistik tentang subyek obyek. Saya kira ini yang ingin dia koreksi dari pandangan Suryohudoyo. Padahal, sejak awal penulis menyatakan bahwa hubungan antara subyek dan obyek dalam konteks kalangwan diwakili oleh istilah: surup sumurup: saling memasuki.

Sebenarnya ini adalah diskursus wacana filosofis-fenomenologis—meskipun Gus DP memang belum akrab dengan pemikiran filsuf-filsuf fenomenologi seperti Husserl, Sartre, Gadamer, Merleu Ponty, sampai pada Martin Heiddeger—perihal status ontologis dari subyek dan obyek. Termasuk memahami apa beda estetika subyek obyek dan estetika yang meleburkan keduanya.

Dalam pandangan fenomenologi, kesadaran memang tak pernah berdiri sendiri hanya pada subyek. Sadar berarti sadar akan sesuatu. Awalnya kesadaran ditutup dari relasinya terhadap obyek—ini dilakukan oleh Descartes dengan deklarasi cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).

Dalam pandangan Husserl kesadaran selalu berkorelasi dengan obyek. Hal ini disebut sebagai intensionalitas: kesadaran yang terarah pada obyek. Husserl punya semboyan: Zurck zu den Sachen selbst (kembalilah pada benda-benda). Hanya saja Husserl masih dianggap menaruh esensi berada di dalam kesadaran.

Berbeda dengan Heiddeger yang memusatkan perhatiannya justru pada upaya menyingkap “ada” dalam korelasi antara subyek dan obyek. Ia membiarkan fenomena itu membukakan dirinya pada subyek dan obyek. Esensi sebuah fenomena tidak dicari jawabannya pada sesuatu di luar fenomena, melainkan membiarkan fenomena itu sendiri membukakan dirinya pada subyek dan obyek. Fenomenologi ontologis Heiddeger ini membiarkan “ada” menampakkan kesesuatuannya, misalnya membiarkan tampak kebatuan batu, kelayaran layar, kebungaan bunga. Rumit!! Bikin pala pusing!

Ada di dalam dunia mesti menjadikan dunia itu eksis. Saya menafsirkan lain: Ketika seorang ingin melukis bunga matahari, ia harus menjadi bunga matahari. Begitu kira-kira.

Resikonya adalah subyek harus “menghilangkan” predikat dirinya sebagai subyek, langsung masuk ke dalam obyek dengan tujuan menyingkap “ada”. Di sini subyek tidak terserap pada obyek, tetapi “ri pemateh ikang tutur”—berupaya menyamakan kesadaran dengan kesadaran obyek. Ini sering dilakukan oleh para kawi—yang selalu melakukan aksi “bunuh diri” sebagai subyek sebelum mengarang. Entah dengan cara menghina dirinya, atau dengan cara menyamarkan dirinya. Dengan cara itu, kebungaan bunga menjadi tampak.

Dan banyak yang bisa kita diskusikan. Tapi istilah Surup Sumurup sebenarnya menjadi penting dalam relasi antara subyek dan obyek dalam konteks pencapaian kalangwan. Satu lagi—saya memperkenalkan pandangan estetika yang dibahas oleh Ananda Coomaraswamy (AC). Pandangannya adalah antara lango dan mango sama-sama memiliki dimensi yang sama yakni keindahan atau rasa. Jika saya boleh gunakan cara berpikir AC, maka Kalangwan adalah pertemuan keindahan itu sendiri.

Sama seperti karya sastra atau karya seni salah satu kata kuncinya adalah rasa. Ananda Coomaraswamy menjelaskan bahwa elemen mendasar karya sastra puisi adalah rasa. Maka pertama karya sastra mesti “memiliki rasa” rasavant, yang bisa dinikmati oleh penikmat rasa, penilai rasa atau pecinta rasa (rasika), namun tak berhenti sampai di sana—karena sebuah karya sastra tidak hanya sebagai obyek rasika—dalam bahasa Jawa Kuna, rasika juga diartikan penikmat.

Jika berhenti sampai di rasika, maka masih ada batas antara subyek dan obyek. Lalu ia menyebut satu istilah lagi yakni rasasvadana sebagai pertemuan rasa, merasakan rasa—dan ujungnya adalah kontemplasi estetik.

Pandangan ini belum banyak dibahas dalam diskusi-diskusi estetika—sejauh yang saya ketahui—siapa tahu kawan-kawan lebih paham. Andai saja diskusi tentang Lango, Mango dan Kalangwan diperkaya dengan pandangan-pandangan tersebut, pasti lebih menarik. Setidaknya kita bisa memetakan “teori keindahan” dalam sastra kuno di nusantara—serta apa bedanya dengan teori-teori estetika di barat.

Tapi terlepas dari itu, saya cukup mengapresiasi kerja kebudayaan anak muda ini. Terimakasih pemberian buku dan studinya. Betul kata si penulis kritik adalah bagian dari cara bersahabat. Kritik bukan pembongkaran, tapi penciptaan kembali.

Setelah ini, semoga muncul para pencipta yang membayar utang sastra. Begitu juga para kritikus sastra yang membayar hutang pada kritikus sebelumnya yang telah membuka ruang penciptaan kembali. [T]

Previous Post

Covid-19, Paman Meninggal, Stres dan Meredakan Stres || Cerita Mahasiswa Rantau dari Undiksha

Next Post

Dulu & Kini | Desa Les dan Siakin – Jalan Hutan Terasa Dekat, Jalan Aspal Terasa Jauh

I Gusti Agung Paramita

I Gusti Agung Paramita

Pengajar di FIAK Unhi Denpasar

Next Post
Dulu & Kini | Desa Les dan Siakin – Jalan Hutan Terasa Dekat, Jalan Aspal Terasa Jauh

Dulu & Kini | Desa Les dan Siakin - Jalan Hutan Terasa Dekat, Jalan Aspal Terasa Jauh

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co