Pertengahan Januari 2021 ini saya dihadiahi beberapa buku oleh sastrawan muda perenung. Ada studi sastra dan prosa liris berbahasa Bali. Prosa Liris berjudul “Bulan Sisi Kauh” yang diterbitkan Pustaka Ekspresi cukup menggugah. Penulis menyebut dirinya “Nirguna”. Yang memberi kata pengantar juga tak kalah bikin merenung: IBM Dharma Palguna.
Saya tak akan membahas ini. Ulasan IBM Dharma Palguna terhadap prosa liris ini cukup mendalam: Si Nirguna dibahas dengan perspektif Triguna! Si Nirguna dilihat sisi-sisi eksistensialnya: terharu, cemas, sedih, takut dan merasa diri kecil, dekat jauh dan seterusnya. Khas ciri “mengada” manusia. Apa benar “Nirguna” demikian?
Nirguna pun jatuh bangun menyusuri jalan panjang itu—sebuah jalan panjang yang disebut Triguna Tattwa. Menarik bukan? Meskipun penulis menyebut “Kruna-krunane nenten lengut,” namun pilihan dan permainan katanya menyentuh rasa. Dan sulit untuk tidak mengatakan: ada “Palguna” di dalam perjalanan sastra “Nirguna”.
Tidak hanya beberapa karya ini, saya juga sempat membaca studi anak muda ini (saya panggil Gus DP) tentang Kidung Bhramara Saṅu Pati. Alur berpikirnya cukup rapi, kadang sangat sastrawi. Meskipun ia sadar, tak sedang merangkai kata untuk sebuah puisi gombal, tapi karya akademik.
Yang menarik adalah caranya mengelaborasi kata Lango, Mango dan Kalangwan. Sejak awal ia membuat kesimpulan atas elaborasi tentang subyek dan obyek keindahan—dan bagaimana keduanya menyatu.
Pada awal tulisan, Ia menjelaskan: Kalangwan merupakan keadaan bertemunya keindahan [langö] dan mengakibatkan leburnya jarak antara pencari dengan yang dicari. Leburnya jarak, menjadi sebab jiwa hanyut ke dalam keindahan yang sublim.
Jarak tidak hanya sebagai konsepsi ruang dan waktu, namun juga kesadaran yang memisahkan subjek dan objek. Leburnya jarak berarti lenyapnya ruang, waktu, dan kesadaran [subjek dan objek]. Keadaan demikian menjadi tujuan oleh kawi. Kawi adalah ia yang telah memasuki dan dimasuki oleh lango. Keadaan saling masuk-memasuki itulah yang diterjemahkan menjadi kalangwan.
Si penulis sadar tidak mudah membahasakan—apalagi memahami kalangwan. “Bukanlah perihal mudah membahasakan kalangwan, sebab seringkali kata-kata tidak mampu mewadahi ide yang dimaksudkan olehnya”. Begitu tulisnya.
Selanjutnya Ia mengutip pandangan beberapa peneliti seperti Zoetmulder dan Robson, yang terpenting adalah Suryohudoyo. Anak muda ini menginterpretasi pandangan Suryohudoyo ini. Suryohudoyo menyatakan bahwa istilah langö juga mengacu pada sensasi ketidaksadaran diri ketika seseorang benar-benar diserap oleh keindahan dan hilang di dalamnya, sehingga “segala sesuatu yang lain tenggelam dalam kehampaan dan terlupakan”.
Pertanyaannya memang, siapa yang dilebur dan melebur, siapa yang ditelan dan menelan. Ia menganggap bahwa ketika lango adalah sensasi ketidaksadaran diri seharusnya tidak ada lagi dikotomi antara subjek maupun objek, sebab keduanya telah lebur. Subjek seolah tertelan ke dalam keindahan objek, atau sebaliknya keindahan objek ditelan habis oleh subjek.
Sementara ini, subjeklah yang dikatakan hanyut ke dalam objek, dengan meniadakan kemungkinan bahwa yang terjadi dapat pula sebaliknya. “Argumentasi yang diungkapkan Suryohudoyo tersebut tidak memperjelas istilah langö,” kritiknya.
Kuntara menyebut pengalaman ekstatis. Alam dan manusia menjadi satu dengan keindahan. Ketika berhadapan dengan alam yang mempesona (alango), sang kawi pecinta keindahan (mango), terpesona (alango), terserap seluruhnya dan tenggelam dalam obyek yang dipandangnya (lengleng) hingga yang lain lenyap. Di sini semua kegiatan budi terhenti. Inilah pengalaman ekstatis yang merangkum pengalaman estetis dan mistik religius.
Di sini, Gus DP menolak terjebak pada pandangan dikotomis antara subyek dan obyek. Istilah “seorang diserap” seolah-olah mengindikasikan masih ada pandangan dualistik tentang subyek obyek. Saya kira ini yang ingin dia koreksi dari pandangan Suryohudoyo. Padahal, sejak awal penulis menyatakan bahwa hubungan antara subyek dan obyek dalam konteks kalangwan diwakili oleh istilah: surup sumurup: saling memasuki.
Sebenarnya ini adalah diskursus wacana filosofis-fenomenologis—meskipun Gus DP memang belum akrab dengan pemikiran filsuf-filsuf fenomenologi seperti Husserl, Sartre, Gadamer, Merleu Ponty, sampai pada Martin Heiddeger—perihal status ontologis dari subyek dan obyek. Termasuk memahami apa beda estetika subyek obyek dan estetika yang meleburkan keduanya.
Dalam pandangan fenomenologi, kesadaran memang tak pernah berdiri sendiri hanya pada subyek. Sadar berarti sadar akan sesuatu. Awalnya kesadaran ditutup dari relasinya terhadap obyek—ini dilakukan oleh Descartes dengan deklarasi cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).
Dalam pandangan Husserl kesadaran selalu berkorelasi dengan obyek. Hal ini disebut sebagai intensionalitas: kesadaran yang terarah pada obyek. Husserl punya semboyan: Zurck zu den Sachen selbst (kembalilah pada benda-benda). Hanya saja Husserl masih dianggap menaruh esensi berada di dalam kesadaran.
Berbeda dengan Heiddeger yang memusatkan perhatiannya justru pada upaya menyingkap “ada” dalam korelasi antara subyek dan obyek. Ia membiarkan fenomena itu membukakan dirinya pada subyek dan obyek. Esensi sebuah fenomena tidak dicari jawabannya pada sesuatu di luar fenomena, melainkan membiarkan fenomena itu sendiri membukakan dirinya pada subyek dan obyek. Fenomenologi ontologis Heiddeger ini membiarkan “ada” menampakkan kesesuatuannya, misalnya membiarkan tampak kebatuan batu, kelayaran layar, kebungaan bunga. Rumit!! Bikin pala pusing!
Ada di dalam dunia mesti menjadikan dunia itu eksis. Saya menafsirkan lain: Ketika seorang ingin melukis bunga matahari, ia harus menjadi bunga matahari. Begitu kira-kira.
Resikonya adalah subyek harus “menghilangkan” predikat dirinya sebagai subyek, langsung masuk ke dalam obyek dengan tujuan menyingkap “ada”. Di sini subyek tidak terserap pada obyek, tetapi “ri pemateh ikang tutur”—berupaya menyamakan kesadaran dengan kesadaran obyek. Ini sering dilakukan oleh para kawi—yang selalu melakukan aksi “bunuh diri” sebagai subyek sebelum mengarang. Entah dengan cara menghina dirinya, atau dengan cara menyamarkan dirinya. Dengan cara itu, kebungaan bunga menjadi tampak.
Dan banyak yang bisa kita diskusikan. Tapi istilah Surup Sumurup sebenarnya menjadi penting dalam relasi antara subyek dan obyek dalam konteks pencapaian kalangwan. Satu lagi—saya memperkenalkan pandangan estetika yang dibahas oleh Ananda Coomaraswamy (AC). Pandangannya adalah antara lango dan mango sama-sama memiliki dimensi yang sama yakni keindahan atau rasa. Jika saya boleh gunakan cara berpikir AC, maka Kalangwan adalah pertemuan keindahan itu sendiri.
Sama seperti karya sastra atau karya seni salah satu kata kuncinya adalah rasa. Ananda Coomaraswamy menjelaskan bahwa elemen mendasar karya sastra puisi adalah rasa. Maka pertama karya sastra mesti “memiliki rasa” rasavant, yang bisa dinikmati oleh penikmat rasa, penilai rasa atau pecinta rasa (rasika), namun tak berhenti sampai di sana—karena sebuah karya sastra tidak hanya sebagai obyek rasika—dalam bahasa Jawa Kuna, rasika juga diartikan penikmat.
Jika berhenti sampai di rasika, maka masih ada batas antara subyek dan obyek. Lalu ia menyebut satu istilah lagi yakni rasasvadana sebagai pertemuan rasa, merasakan rasa—dan ujungnya adalah kontemplasi estetik.
Pandangan ini belum banyak dibahas dalam diskusi-diskusi estetika—sejauh yang saya ketahui—siapa tahu kawan-kawan lebih paham. Andai saja diskusi tentang Lango, Mango dan Kalangwan diperkaya dengan pandangan-pandangan tersebut, pasti lebih menarik. Setidaknya kita bisa memetakan “teori keindahan” dalam sastra kuno di nusantara—serta apa bedanya dengan teori-teori estetika di barat.
Tapi terlepas dari itu, saya cukup mengapresiasi kerja kebudayaan anak muda ini. Terimakasih pemberian buku dan studinya. Betul kata si penulis kritik adalah bagian dari cara bersahabat. Kritik bukan pembongkaran, tapi penciptaan kembali.
Setelah ini, semoga muncul para pencipta yang membayar utang sastra. Begitu juga para kritikus sastra yang membayar hutang pada kritikus sebelumnya yang telah membuka ruang penciptaan kembali. [T]