Pada tanggal 12 Februari 2020, di Desa Guwang Sukawati, Gianyar,,tepatnya di Kulidan Kitchen, suatu tempat yang berada di tengah sawah dengan air selokan di sebelah baratnya yang mengalir cukup jernih, diadakan suatu acara yang belum pernah saya hadiri sama sekali.
Saya secara pribadi menganggap diskusi buku yang diiringi oleh pameran seni bertema ini paling bermakna di tahun 2020 karena menyajikan gagasan penting mengenai esensi pendidikan yang ada di masyarakat. Penyajian tersebut membahas mengenai pentingnya mata pelajaran sekolah dan pendidikan untuk orang dewasa menyentuh permasalahan yang ada di tempat mereka tinggal.
Selama ini anak anak di bangku sekolah hingga kuliah kebanyakan belajar dari buku dan video bukan permasalahan yang ada di lingkungan sekitar sekolah itu berdiri sehingga menjadi menara gading. Di dalam acara yang dipandu oleh I Komang Adiartha selaku pemilik Kulidan Kitchen dan dibawakan oleh Oceu Apristawijaya serta Butet Manurung.
Karya seni di bawah ini dapat memberikan gambaran bagaimana literasi hadap masalah dijalankan oleh komunitas yang bekerja sama dengan Sokola Insitute dengan pengabdian penuh kasih untuk memberdayakan masyarakat di daerah jauh dari perkotaan.
Deskripsi ilustrasi dua pemuda suku Rimba sedang mendiskusikan materi pelajaran yang didapat dari lembaga Sokola. Pemuda di depannya sedang buat kerajinan . Pemuda yang jauh dari tiga orang itu sedang memanjat pohon memetik buah buahan. Semua orang rimba ini memanfaatkan hasil alam untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Pemuda rimba menghubungkan materi ajar dengan kehidupan sehari hari dan lingkungan tempat mereka tinggal.
Pendidikan yang Berkaitan dengan Masalah Pokok
Persoalan mendasar yang dihadapi orang Rimba adalah rasa rendah diri berinteraksi dengan orang luar dan memperoleh informasi dari orang luar. Banyak generasi muda orang Rimba ingin jadi orang kota. Bahkan anak rimba saat belajar bersama pengajar dari sekolah mengaku merasa buruk dianggap orang Rimba , lebih suka disebut orang Jawa.
Padahal tujuan memperoleh pendidikan Sokola agar mereka tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang Rimba , menjalani budayanya dengan tetap mempunyai akses terhadap berbagai pengetahuan dari luar dan berjaga jaga kalau mereka tertarik mengembangkan diri pada hal hal baru.
Bahkan seorang murid Sokola sampai bertanya mengapa saya terlahir sebagai orang Rimba yang jadi sasaran hinaan? Literasi dasar ini harus mampu mengurai persoalan mendasar yaitu rasa malu akan identitas diri dan budaya sebagai orang Rimba. Pengajar mencari cara menggali banyak sumber dan cerita yang bisa memperkuat identitas mereka. Jika pendidikan tiddak menjunjung tinggi identitas, setelah bersekolah akan meninggalkan kebudayaan.
Kosa kata dalam pelajaran bahasa tingkat dasar harus sesuai dengan kehidupan sehari hari mereka. Masalah yang dihadapi orang Riimba sehingga harus mampu baca tulis dikarenakan sering salah paham dengan orang luar seperti berbelanja ke pasar. Orang Rimba yang buta huruf berbelanja sering buat pedagang kesal. Sebagai contoh saat bawa uang 50.000 rupiah untuk beli 1 kg gula seharga 20.000 rupiah mereka dapat kembalian 30.000 rupiah . Kemudian orang Rimba itu ingin beli kopi seharga 15.000 rupiah lalu uang mereka sisa setengahnya. Ini yang buat pedagang merasa waktunya terkuras. Ini disebabkan ketakutan orang rimba ditipu.
Ada kasus dimana orang Rimba kehilangan hutannya setelah memberi cap jempol pada surat dokumen . Pegawai perusahaan bilang surat itu tanda penghargaan . Kemudian mereka terkejut karena cap itu adalah tanda persetujuan bahwa lahannya diambil oleh korporasi untuk dijadikan perkebunan. Buldozer datang menebang hutan. Ini akibat terburuk karena buta huruf. Konsekuensi buta huruf dapat berdampak pada masalah kesehatan seperti seorang yang minum obat kerabatnya. Obat itu menyembuhkan si kerabat sedangkan dia menderita sakit karena penyakitnya berbeda sehingga obatnya tidak cocok.
Literasi dasar harus ubah pola pikir. Sebelum melek huruf orang Rimba berpandangan hutannya luas tidak akan habis. Kemudian ada angapan bahwa kalau ada yang menipu orang rimba biarlah tuhan yang menghukum mereka. Setelah beberapa hari memperoleh pendidikan baca tulis dan mendemonstrasikan manfaaat sambil menghibur seperti menuliskan lagu tradisional orang Rimba, murid-murid sadar bahwa untuk melawan orang luar harus menguasai ilmu luar. Mereka berubah pandangan bahwa dengan baca tulis hutan tetap terjaga.
Pendidikan literasi dasar dimulai dari alfabet. Mengenalkan alphabet harus dengan kata yang dikenal sehari hari misalnya huruf A menggunakan kata atap. Huruf s menggunakan kata sungai. Untuk mengingat bentuk huruf dihubungkan dengan benda sekitar yang berhubungan dalam kehidupan sehari hari seperti huruf H menyerupai jemuran pakaian. Dengan ini pelajaran alphabet terhubung dengan kehidupan mereka secara langsung.
Melek huruf sejati melahirkan proses perubahan dari tidak tahu masalah menjadi sadar akan resiko dan ketidakberdayaan mengatasi masalah. Orang Rimba akhirnya sadar bahwa mereka selama ini jadi pihak yang tertindas. Dengan baca tulis mereka mengakses beragam informasi dan menjadi sadar untuk memiliki ide melawan bukan menyerah pada keadaan.
Tujuan literasi adalah bukan untuk memodernkan tapi membantu komunitas Rimba menghadapi tantangan dari luar. Literasi hadap masalah tidak memisahkan kehidupan sehari hari seperti menggembala, melaut, menjaga anak, bertani, atau buat kerajinan. Kalau orang Rimba belajar kalkulus dan geometri jelas tidak terhubung dengan kehidupan mereka. Pertanyaan penting muncul apakah ilmu yang mereka pelajari mengatasi penebangan hutan atau buat hidup mereka layak? Jika kita tidak kritis, kita tidak bisa sepenuhnya berpikir terbuka.
Esensi pendidikan adalah bekal hidup saat dewasa nanti. Saat anak anak Rimba dibawa ke kota,mereka bertanya:
“Bu, bukankah hampir semua orang di kota bersekolah, kenapa sungainya kotor? Kenapa di kota banyak mobil padahal banyak orang di luar sana yang tidak punya rumah dan tingal di tumpukan sampah dan di bawah jembatan? Kenapa orang orang mau terjebak di kemacetan? Kenapa anak anak kalau menyeberang jalan harus diseberangkan polisi? Apa di kelas tidak pernah belajar menyeberang jalan? “
Pertanyaan dari seorang anak Rimba membuat seseorang berpikir tentang kekeliuran sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah formal. Sekolah formal tidak menerangkan masalah yang terjadi di tempat mereka berada. Selama siswa bersekolah tidak pernah diterangkan penyebab air sungai dan selokan selalu kotor supaya dicari akar masalah dan diselesaikan agar jernih tapi diajarkan tentang hal hal yang jauh dari gejala masalah wilayah dimana sekolah itu berada.
Sekolah formal menghilangkan bahasa daerah, tarian, makanan , rumah adat dan kesenian karena standarisasi kurikulum. Ini merenggut demokrasi pendidikan. Pembelajaran lokal mencakup tiga hal yaitu : hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan sesama manusia. Sebelum mengajar harus belajar dulu. Mengajar harus dengan pendekatan budaya. Banyak masalah yang dihasilkan dari niat baik. Bantuan dari pemerintah dalam perumahan, standarisasi kurikulum nasional dan menggantikan cara hidup nomaden. Gunakan dialek lokal sambil sebanyak mungkin menyelipkan kosa kata lokal sehari hari yang penting bagi kehidupan komunitas.
Jika Persoalan Baru datang, kurikulum pun dinamis mengikuti perkembangan persoalan tersebut. Bagi orang rimba apa yang dipelajari adalah apa yang ada di kehidupan sehari hari, Target utama literasi hadap masalah adalah bagaimana kemampuan literasi yang dimiliki bisa digunakan dalam kehidupan sehari hari, membantu menghadapi persoalan yang dihadapi komunitas dan dapat digunakan sebagai alat bantu memecahkan permasalahan yang menyerang peserta literasi dan komunitasnya. Manfaat literasi harus bisa dirasakan langsung oleh peserta didik dan komunitas tempat perserta berasal.
Literasi kontekstual disesuaikan dengan kehidupan sehari hari dan kondisi lingkungan sekitar tempat program pendidikan diselenggarakan . Siswa dalam literasi hadap masalah akan memahami lewat hubungannya dengan realitas bahwa realitas itu sebuah proses mengalami perubahan terus menerus(1).
Pendidikan Literasi menurut Paulo Freire
Dalam literasi hadap masalah guru tidak lagi jadi orang yang mengajar tapi orang yang mengajarkan dirinya melalui dialog dengan para murid yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar. Manusia saling mengajar satu sama lain ditengahi oleh objek objek yang dapat diamati. Pada metode pendidikan hadap masalah ,guru selalu menyerap ketika dia mempersiapkan bahan pelajaran maupun ketika berdialog dengan para murid. Dia tidak akan menganggap objek objek yang dapat dipahami sebagai milik pribadi tetapi sebagai objek refleksi para murid serta dirinya sendiri.
Murid jadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialog degan guru. Pendidikan hadap masalah adalah mengenai suatu proses penyingkapan realitas secara terus menerus berjuang demi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis realitas. Refleksi yang sejati menganggap tidak ada manusia yang abstrak dan tidak ada dunia tanpa manusia tapi manusia dalam kaitannya dengan dunia.
Pendidikan hadap masalah mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas dan dengan cara itu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi manusia sejati hanya jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif. Pendidikan hadap masalah menegaskan manusa sebagai mahluk yang berada di dalam proses menjadi- sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, mahluk yang tidak pernah sempurna dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Pendidikan hadap masalah mengubah kesadaran peserta didik menjadi kesadaran kritis(2).
Sumber :
1. Manurung, Butet, dkk. 2019. Melawan Setan Bermata Runcing. Jakarta. Sokola Institute
2. Freire, Paulo.2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. Pustaka LP3ES