Sebagaimana di sejumlah daerah lain di Indonesia, Bali juga menerapkan jam malam di seputar hari-hari libur menyambut dan merayakan Tahun Baru 2021. Jam malam ditetapkan melalui Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Wayan Koster No 880/SatgasCovid/XII/2020 pada Rabu (30/12/2020). Dalam surat itu disebutkan kegiatan masyarakat dibatasi maksimal pukul 23.00 Wita. Dan keputusan itu berlaku mulai sejak dikeluarkan hingga 2 Januari 2021.
SE Gubernur itu kemudian menyebar jadi berita di media-media lokal dan nasional. Seperti biasa, berbagai tanggapan di media sosial muncul, Ada yang mendukung, ada juga yang komentar dengan nada protes.
Saya iseng-iseng bertanya pada teman saya, Sugi Lanus, ahli lontar dan pendiri Hanacaraka Society. Saya bertanya: Apakah dalam lontar-lontar di Bali pernah ditemukan budaya “jam malam”?
Jawaban dia sungguh ketus:
“Yen milunin lontare yen suba sandyakala suba sing dadi mlali! Setiap sandyakala mulih. Suud mlali di jalan. Pules. Aman gumine yen sandikala tutup mekejang cafe, warung, pasar, dan lain-lain!”
Terjemahan bebasnya:
“Kalau mengikuti lontar, pada saat senjakala (kita) sudah tak boleh bermain-main. Setiap senja langsung pulang, selesai main-main di jalan. Tidur. Aman dunia ini, kalau saat senja tutup semua café, warung, pasar, dan lain-lain!”
Percakapan saya dan Sugi Lanus lantas mamanjang, bukan hanya sekadar membahas batasan waktu, termasuk jam malam, melainkan juga membahas kultur makan orang Bali di zaman dulu.
Dulu, sekitar tahun 1927, Rabindranath Tagore, berkunjung ke Bali. Pemenang Nobel Sastra dari India itu terheran-heran, kenapa orang Bali yang ia saksikan tidak ada yang kegemukan. Tagore sang penulis Gitanjali itu bilang, di Bali ia tidak melihat orang gemuk. Semua langsing.
Apa penyebab orang Bali tak ada yang gemuk? Tagore bilang karena lanskap alam dan kerja manusia Bali jadi petani.
Tapi Sugi Lanus punya tambahan pendapat. Dia yakin, orang Bali tidak gemuk karena ketika itu tidak ada kultur makan malam. “Karena tidak ada budaya makan malam di Bali. Makan sampai jam 5 sore. Semua tutup aktivitas begitu malam. Tidur dan bangun subuh langsung kerja. Makan pagi jaja (kue) banyak sepuasanya,” kata Sugi.
Jadi, manusia Bali itu manusia pagi. Makanan pagi lebih berlimpah di peken (pasar tradisional) pada waktu pagi ketimbang pada waktu malam. Makanya dulu pasar itu dibuka pagi hari, karena tidak ada budaya makan malam. Sore jam 5 dapur orang Bali itu sudah tutup. Tidak ada warung atau toko buka 24 jam. Apalagi dulu belum ada listrik, dan tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat malam gelap tanpa banyak penerangan.
Ada sebuah artikel di hindustantimes.com yang menulis tentang makan sebelum jam 5 sore. Judulnya, Want to lose weight? Try not to eat anything after 5pm.
Di situ disebutkan, jika Anda telah mencoba menurunkan berat badan berlebihan dan sejauh ini tidak berhasil, cobalah jangan makan apa pun setelah jam 5 sore dan sebelum sarapan keesokan harinya.
Artikel itu memaparkan hasil dari riset para peneliti. Menurut para peneliti itu, mengurangi seperlima kalori harian dapat menangkal penyakit gaya hidup seperti kanker dan diabetes.
Dalam artikel itu juga ditulis bahwa studi para peneliti yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications, menunjukkan bahwa berpuasa di usia paruh baya, atau tidak makan setelah gelap, dapat membantu orang untuk hidup lebih lama dan lebih sehat.
“Pada monyet, menghentikan mereka makan antara jam 5 sore dan 8 pagi memperpanjang hidup mereka sebesar 10 persen, dibandingkan dengan makan secara normal,” demikin tulis artikel itu.
Nah, klaim para peneliti sebagaimana ditulis dalam artikel itu sesungguhnya sudah dipraktekkan orang-orang Bali di zaman dulu. Mungkin karena itulah, selain tubuh manusia Bali langsing dan liat, usia harapan hidup mereka zaman dulu konon juga lebih panjang, bahkan banyak yang mencapai satu abad.
Jadi, di Bali dulu tak dikenal dunia malam. Tidak ada pedagang nasi yang buka sampai malam, apalagi sampai pagi. Kini, kehidupan malam di Bali sudah begitu marak. Orang juga banyak yang bekerja malam, sebagai satpam di hotel, atau sebagai tukang parkir di Pasar Senggol.
Tentu saja karena kini pasar pun lebih ramai pada malam hari ketimbang pagi hari. Kini banyak toko dan warung buka 24 jam, bahkan bukan hanya di kota, di desa-desa pun kini terdapat Pasar Senggol.
Pasar Senggol yang buka sampai tengah malam bahkan sampai dinihari, menyebabkan budaya makan pada orang Bali mulai bergeser. Mereka kini terbiasa makan malam. Selain menambah pengeluaran, makan malam juga dipercaya tidak sehat dan menyebabkan kegemukan.
“Sebelum ada budaya Pasar Senggol, (orang Bali) sudah makan di rumah sebelum petang, tidak keluar dan belanja setelah senja hari,” kata Sugi Lanus.
Saya, saat kecil, sekira tahun 1970-an sempat merasakan jam sandyakala. Listrik belum masuk desa. Sedang asyik bermain di jalanan, ibu saya tiba-tiba memanggil. Dipaksa pulang karena hari sudah masuk sandyakala. Saya pulang, makan, lalu ke kamar. Kalau pun harus belajar, itu dilakukan dalam cahaya remang lampu sentir. Remang membikin ngantuk, dan saya lebih cepat tidur ketimbang paham buku pelajaran.
Tidak ada yang begadang malam-malam. Malam dipenuhi cerita menakutkan, misalnya tentang tangis anak memedi yang tiba-tiba terdengar dari teba atau belakang rumah. Semua rumah gelap, apalagi jalanan. Orang berbicara pun lebih banyak bisik-bisik.
Tapi kadang-kadang malam bisa ramai juga. Banyak orang begadang. Itu terjadi jika ada upacara adat. Misalnya upacara kematian. Orang yang magebag (jaga malam di rumah duka) pada saat upacara kematian tetap juga diatur sedemikian rupa agar tidak semua orang begadang. Yang jadwalnya begadang, cukup lima sampai sepuluh orang, yang lainnya tetap pulang ke rumah agar besok mereka bisa bangun subuh dan bekerja dengan baik.
Tapi kini, bahkan tanpa ada upacara kematian pun banyak orang magebag di pos kamling sampai pagi. Dan besoknya terbiasa bangun siang hari, tanpa bekerja.
Malam bisa juga ramai dan sangat istimewa ketika ada tontonan, misalnya orang bisa begadang sampai pagi jika ada pentas drama gong atau calonarang. Namanya juga malam istimewa, itu hanya terjadi sesekali. Tapi kini, hampir setiap malam orang bisa keluar, cari hiburan. Jika dulu hiburannya drama gong, kini hiburannya boleh saja tari goyang di kafe remang.
Jadi, kesimpulan dari percakapan saya dan Sugi Lanus, adalah, jika hendak membuat orang Bali sehat, aman dan damai, tak cukup dengan menerapkan jam malam sampai pukul 23.00 wita. Terapkan jam sandyakala, batasnya pukul 17.00 wita atau jam 5 sore. Setelah jam 5 sore, orang tak boleh keluar rumah, pasar malam dibubarkan, pasar senggol dibubarkan, pedagang pecel lele diminta tutup. Pedagang nasi jinggo dan taluh mica (telur merica) yang kini banyak dilakoni orang-orang Bali juga tutup setelah sandyakala.
Dengan begitu, tak ada lagi yang makan setelah jam 5 sore. Orang-orang akan langsing, tak kegemukan, bebas dari penyakit, sebagaimana dilihat Tagore awal tahun 1927.
Listrik bagaimana? Bila perlu, jam sandyakala juga diterapkan untuk PLN. Listrik dipadamkan setelah jam 5 sore. Ah, itu sepertinya agak berlebihan… [T]