Suami yang seorang vegan itu sibuk menguleni tepung yang sudah dicampur dengan jodoh-jodohnya: air, pengembang, garam, sedikit gula, dan “perasa ayam” yang berasal dari pati jagung, jamur, dan bumbu alami yang tidak mengandung ayam. Setelah sekitar dua puluh menit, ditutupnya calon makanan itu dengan kain. Dia tunggu setengah jam sambil membaca surat kabar lokal, memilih berita penting yang diminatinya seputar ekonomi, lingkungan, dan humaniora. Setelah setengah jam, dia rebus air, menunggu mendidih, dan memasukkan adonan tadi ke dalamnya.
Dia memang biasa membuat makanan sendiri, sebab makanan di luar hanya sedikit yang sesuai seleranya. Dia memikirkan juga masalah kebersihan dan harga yang sering kali tidak bertemu satu sama lain. Bila tempatnya bersih dan makanannya enak, sering kali harganya kelewat mahal. Bila harganya murah dan makanannya enak, sering kali tempatnya jorok: mejanya yang nampak berminyak, tempat mencuci piring yang tidak punya air bersih yang mengalir, atau tempat sampahnya berantakan, terlihat seperti kebagian tugas menyambut tamu.
Hanya dua tempat di kota itu yang sesuai seleranya, tahu tek-tek di daerah pesisir dan warung siomay di tengah kota -tetapi karena mengandung ikan, selalu ia pesan tanpa memakai siomay. Selain itu, semua tempat, bila tidak jorok, pasti mahal. Bila murah, pasti jorok. Bila enak, murah, dan bersih, pasti mengandung perasa kimia atau mengandung kaldu daging.
Soal daging ini, dia punya falsafah yang diambilnya dari buku-buku tentang vegan; yang paling diingatnya adalah kalimat “kita adalah apa yang kita makan”. Bila manusia sering mengonsumsi daging, maka ia akan memiliki sifat-sifat hewani yang kasar, mudah marah, dan tidak punya pikiran yang panjang. Lagi pula, apakah tega melihat ikan, ayam, dan sapi meregang nyawa hanya untuk melayani nafsu makan manusia? Selain itu, makan sayur dan buah baginya lebih murah, tentu saja buah-buah lokal yang sedang musim atau sayuran lokal yang tak mengenal musim. Tentu bukan hanya sayur dan buah, ada juga kacang-kacangan, tempe, tahu, dan gluten -daging “bohongan” yang memang kerap dia bikin sendiri dengan tepung yang diuleni dan direbus.
Istrinya, yang penyuka berat daging, terutama ayam dan sapi, suka mempertanyakan keimanan suaminya masalah “agama” vegan tersebut. Apakah suaminya tidak lemas sebab tidak makan daging? Apakah sebenarnya suaminya masih memendam minat pada daging? Tetapi karena mungkin sudah telanjur diucapkan pada saat benar-benar tinggi minatnya pada dunia vegan, dia mempertahankan argumennya bahkan di saat sebenarnya dia menginginkan daging?
Istrinya sudah sering bilang, “Sesekali makanlah daging supaya sehat”. Tetapi dia berkeras bahwa tidak makan daging malahan membuatnya lebih sehat dan ringan rasa badannya. “Lagi pula, kamu adalah apa yang kamu makan,” katanya. Sebenarnya, istrinya agak tersinggung dengan kata-kata itu, sebab ia merasa dikhianati karena dahulu ketika awal pacaran mereka sering pergi ke tempat wisata yang puluhan kilometer jaraknya hanya untuk makan sate jeroan. Di awal-awal rumah tangga pun, mereka pernah membuka warung soto daging dan soto ayam kampung untuk menopang hidup mereka yang sederhana. Lalu istrinya juga ingat bahkan sepuluh tahun setelah menikah suaminya masih mau diajak ke resepsi pernikahan dan selalu mengambil sedikit nasi dan sayur, tidak mengambil kerupuk dan sambal tetapi mengambil daging, udang, cumi, dan ikan yang banyak, sampai-sampai dia kesusahan menghabiskan semuanya.
Rupanya sekarang berbeda, setelah lima belas tahun menikah, suaminya berubah. Apakah ini karena perekonomian mereka yang membaik dan kerja-kerja fisik yang berkurang karena sudah bisa diserahkan kepada karyawan, sehingga membuat suaminya memiliki waktu lebih, untuk mengatur apa yang layak dan tidak layak masuk perutnya? Dan dia juga punya waktu lebih untuk mengolah sendiri makanan di rumah?
Si istri sebenarnya tipikal orang yang membebaskan suaminya untuk hal apa saja, kecuali perselingkuhan, sebagaimana di rumah tangga lainnya. Untuk urusan makanan sebenarnya ia juga tidak terlalu peduli. Tetapi kesehatan suaminya yang membuatnya agak khawatir, sebab pernah ia baca iklan layanan masyarakat yang menganjurkan makan empat sehat lima sempurna. Ada daging di gambar itu, dan ia kurang percaya ketika suaminya berkata bahwa protein yang ada dalam tahu, tempe, dan biji-bijian tidak kalah banyaknya dari yang ada dalam daging.
Selain masalah kesehatan, si istri juga punya ketersinggungan: ia merasa direndahkan oleh suaminya itu. Bila ia makan ayam, ia jadi bermental chicken, begitu? Jika ia makan sapi ia akan malas dan gemuk seperti sapi? Ah, pikirnya, suaminya itu hanya melebih-lebihkan saja. Merasa dirinya lebih baik dari orang lain, bahkan merasa dirinya lebih baik dari istrinya.
Si istri semakin sering merasa direndahkan dan dikhianati, tidak hanya soal apa yang dimakan, tapi juga soal siapa yang diberi makan. Contohnya kucing-kucing kampung yang sering mampir di rumah itu. Si istri sungguh cinta kebersihan, dan kucing-kucing kampung itu suka membuang kotoran di sembarang tempat di rumah itu; di halaman, di ruang tamu, di ruang tidur, dan yang paling membuatnya marah adalah di dapur. Seakan kucing-kucing itu mengejeknya: tempatmu makan adalah tempatku berak, dasar manusia! Karena itulah ia menjadikan kucing-kucing itu musuhnya. Tiap ia melihat kucing itu ada di rumahnya, ia kejar, ia lempari dengan apa saja yang ada; batu sampai buku, garpu sampai sapu.
Sementara itu suaminya selalu memberi makan kucing-kucing itu dengan makanan yang ada di meja, makanan yang sebenarnya dimasak istrinya untuk dirinya sendiri dan kedua anak perempuannya. Kucing itu juga dia elus-elus, sesekali dia gendong satu persatu, sampai dia ajak berbicara tentang falsafah kehidupan, “Kucing-kucing, tidakkah kau lihat manusia saling menyakiti, saling mengkhianati di dalam janji?” Si istri yang melihatnya dari jendela kamar tersenyum sinis. Ia berpikir, paling-paling suaminya mendapat kata-kata itu dari tivi atau ceramah agama, sebab ia tak melihat bahwa itu hasil pengalaman pribadi suaminya. “Kamu yang mengkhianatiku..,” gumamnya. Ternyata makin lama kucing-kucing bisa membaca karakter suami-istri itu; ketika si suami pergi ke restoran milik mereka, dan si istri hanya sendirian di rumah, kucing-kucing itu tidak terlihat satu pun. Mereka hafal betul, ada istri berarti bencana, ada suami berarti anugerah.
Suatu hari, tanpa sengaja, si istri menemukan secarik kertas -semacam brosur- dari kantong suaminya: “Open BO. Bebas gaya. Mandi kucing. Doggy Style…”
“Dasar pengkhianat! Rupanya dia tidak hanya memberi makan kucing-kucing, tetapi juga menjadi kucing, menjadi anjing padahal bukan pemakan daging,” ucap si istri. Ia ingat, dulu suaminya berjanji akan makan apa saja asal bersama, saling setia, dan melawan apa pun bersama-sama.
Ia marah besar, saking marahnya ia tidak mau masak. Ia pergi ke rumah makan cepat saji paling terkenal dan sudah memiliki cabang puluhan ribu di seluruh dunia. Ia memesan satu keranjang ayam; dada, paha, dan sayap. Ia makan ayam-ayam itu sambil sesekali menenggak minuman soda. “Ya suamiku, aku memang apa yang aku makan. Aku makan junk food dan kau pikir aku akan jadi sampah. Tapi kau tahu kan? Sampah bisa membuat orang mati.”
Setelah itu ia pergi ke toko pertanian dan peternakan, melihat-lihat di etalase khusus pembasmi hama. Ternyata harga semua jenis pembasmi hama murah sekali, tidak sebanding dengan nilai filosofisnya yang begitu besar: membasmi kehidupan lain yang mengganggu kehidupanmu.
Sesampainya di rumah, ia membuat gluten rasa ayam seperti yang dibuat suaminya, dan ia ganti gluten yang telah dibuat suaminya dengan yang baru saja ia buat. “Selamat makan, suamiku. Kucing tidak mengerti bahasa manusia, bila salah sedikit kita boleh menyiram atau memukulnya untuk memberi tahu. Bila salahnya banyak, kita memberinya racun. Dan aku sudah malas mencium anjing bergelar suami…” [T]