PASANGAN Calon Bupati dan Wakil Bupati Jembrana, I Nengah Tamba dan I Gede Ngurah Patriana Krisna, secara mengejutkan memenangkan Pemilihan Bupati (Pilbup) Jembrana 2020. Berdasar data sementara di KPU, Tamba-Ipat memperoleh 78.017 suara atau 52 persen, sementara Kembang-Sugiasa mendapat 72.001 suara atau 48 persen. Data itu dihitung dari 521 TPS dari 640 TPS yang ada di Jembrana. Meski hitungan itu belum 100 persen, namun kemenangan Tamba-Ipat tampaknya tinggal disahkan saja.
Kemenangan itu memang mengejutkan, karena berdasarkan hitung-hitungan di atas kertas, semestinya pasangan Made Kembang Hartawan dan I Ketut Sugiasa yang memenangkan kontestasi.
Mari kita bicarakan pasangan Made Kembang Hartawan dan I Ketut Sugiasa terlebih dulu. Pasangan yang kerap disebut sebagai Paket Bangsa ini, merupakan politisi moncer.
Made Kembang Hartawan merupakan politisi asal Desa Pangyangan. Ia sempat menjabat sebagai Ketua DPRD Jembrana selama dua periode. Yakni pada periode 2004-2009 dan periode 2009-2014. Pada 2010, ia maju sebagai calon Wakil Bupati Jembrana, mendampingi I Putu Artha. Kembang kemudian menduduki kursi Wakil Bupati Jembrana sejak 2010 hingga 2020.
Sementara pendampingnya adalah I Ketut Sugiasa. Sugiasa merupakan politisi yang benar-benar berangkat dari nol. Ketokohan Sugiasa sangat dikenal. Pada periode 2009-2014 ia akhirnya berhasil masuk ke gedung dewan di Jalan Surapati, Jembrana.
Selanjutnya pada 2010, ia menggantikan posisi Kembang Hartawan sebagai Ketua DPRD Jembrana. Sugiasa terus mempertahankan posisi tersebut hingga tahun 2019. Pada Pemilu 2019 ia maju ke DPRD Bali dan berhasil merebut satu kursi di sana.
Selain itu paket ini juga didukung oleh partai yang dominan di parlemen. Paket Bangsa diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Hanura. PDI Perjuangan menguasai 18 kursi, sementara Partai Hanura menguasai 1 kursi di DPRD Jembrana. Belasan kursi itu setara 62.123 suara yang diperoleh pada Pemilu 2019 lalu.
Berbeda dengan pasangan I Nengah Tamba dan I Gede Ngurah Patriana Krisna. I Nengah Tamba merupakan politisi yang baru saja keok pada Pemilu 2019 lalu. Ia gagal mempertahankan kursinya di DPRD Bali. Sementara Patriana Krisna hanya tokoh independen. Patriana lebih banyak beraktivitas di Kota Kediri, sehingga secara popularitas kurang begitu dikenal. Jabatannya pun hanya setingkat kepala seksi (kasi). Ditambah lagi Patriana Krisna sempat kalah pada kontestasi Pilkada Jembrana pada tahun 2010 lalu.
Dari hitung-hitungan politik, pasangan yang kerap disebut Paket Tepat ini memang didukung oleh banyak partai. Tercatat ada 5 partai parlemen yang mengusung paket ini. Masing-masing Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun partai-partai ini bukan partai dominan di parlemen. Mereka hanya menguasai 16 kursi. Meski mengumpulkan 16 kursi, mereka hanya mengumpulkan 33.082 suara pada Pemilu 2019 lalu.
Saya sendiri termasuk orang yang optimistis paket Bangsa akan melenggang sebagai pemenang kontestasi dengan relative mudah. Hitung-hitungan di atas kertas, Paket Bangsa sudah demikian dominan.
Mereka merupakan pasangan petahana yang bisa memanfaatkan dana hibah, bansos, maupun program-program pemerintahan untuk mempromosikan agenda politik yang akan mereka songsong. Pasangan ini juga memiliki kuasa menyisipkan agenda politik maupun pesan politik terselubung pada aparatur sipil serta aparatur pemerintahan di Kabupaten Jembrana.
Pun saat sesi debat pasangan calon, saya melihat paket Bangsa begitu dominan. Mereka sangat menguasai persoalan yang ditanyakan. Pasangan ini juga memiliki mesin partai yang sangat solid serta relawan yang loyal. Banyak rekan-rekan saya yang secara sukarela bergabung menjadi relawan. Tentu sangat mengejutkan bila kemudian paket ini dikabarkan kalah pada ajang kontestasi Pilbup Jembrana.
Winasa Effect
Diakui atau tidak, ketokohan Winasa sangat memengaruhi proses kontestasi di Jembrana. Meski Winasa mendekam di Rutan Negara, tapi foto-fotonya selalu muncul pada alat peraga kampanye pasangan Tepat. Sosok Winasa juga melekat dengan Patriana Krisna. Karena Winasa dan Patriana adalah ayah-anak.
Dulu saat Winasa berkuasa, masyarakat Jembrana begitu dimanjakan dengan berbagai layanan publik. Administrasi kependudukan gratis, SPP gratis, pengobatan gratis, sampai pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang ber-KTP Jembrana.
Belakangan proses layanan kesehatan di Jembrana dirasa tak semudah dulu, ketika Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) diterapkan oleh Winasa. Tidak pula semudah saat masih ada Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM).
Dulu masyarakat miskin cukup bawa kartu, datang ke dokter atau puskesmas terdekat, sudah dapat pelayanan. Ke rumah sakit pun tak masalah. Karena tetap gratis. Hal serupa juga terjadi pada era JKBM.
Sejak dua tahun terakhir, prosedur pelayanan kesehatan dirasa terlalu birokratis. Masyarakat harus berobat pada fasilitas kesehatan tingkat pertama lebih dulu, seperti puskesmas. Bisa juga ke praktik dokter pribadi, sepanjang dokter itu menerima BPJS. Bagaimana bila ingin langsung ke rumah sakit? Di sini letak masalahnya. Masyarakat harus mencari rujukan, dan ini dirasa sangat birokratis.
Akhirnya muncul nostalgia-nostalgia terkait program pada masa Winasa. Paket Tepat diharapkan bisa mewujudkan nostalgia tersebut. Apalagi pasangan ini membawa jargon-jargon Winasa, serta menghadirkan foto Winasa dalam APK.
Selain itu masalah hukum yang membelit Winasa juga memicu simpati tersendiri. Untuk diketahui, Winasa kini sudah mendekam di Rutan Negara untuk ketiga kalinya. Pertama tersangkut korupsi pengadaan mesin pupuk kompos, kedua terjerat beasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Teknologi Jembrana (STITNA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Jembrana, terakhir tersandung korupsi perjalanan dinas.
Nah saat Winasa dijebloskan untuk ketiga kalinya, mulai muncul sikap kritis dari masyarakat. Mereka memandang ada “agenda tertentu” di balik kasus tersebut. Sehingga muncul sikap simpati dari masyarakat. Bila tidak bisa mengembalikan Winasa duduk sebagai penguasa, setidaknya sang putra mahkota bisa menjadi penguasa Jembrana.
Tapi perlu diingat, Patriana Krisna bukan I Gede Winasa. Posisinya pun hanya wakil bupati. Jadi tidak punya kuasa sebesar bupati. Selain itu setiap pemimpin punya gaya dan caranya sendiri. Berharap Patriana Krisna bisa memimpin seperti Winasa, tentu sebuah harapan yang berlebihan.
Menggarap Suara Minoritas
Jembrana merupakan daerah yang heterogen. Mengacu data statistik yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Jembrana, pada tahun 2016 lalu tercatat ada 322.256 orang penduduk. Dari ratusan penduduk itu, sebanyak 71,7 persen merupakan umat Hindu, 25,8 persen umat muslim, dan 2,5 persen lainnya pemeluk keyakinan lain.
Kondisi yang heterogen itu digarap serius oleh tim Patriana Krisna. Sejak beberapa tahun terakhir, di Jembrana terjadi polarisasi. Terutama sejak ada penyebutan istilah “dauh tukad” dan “dangin tukad”. Bagi minoritas, istilah-istilah itu dirasa sangat menyakitkan.
Di sisi lain Ipat sadar betul bahwa suara minoritas harus digarap. Ada potensi suara sekitar 80 ribu jiwa yang harus digarap secara serius. Apabila masyarakat minoritas ini bisa satu suara mendukung paket Tepat, tentu menjadi amunisi yang bagus.
Ipat juga memahami bagaimana bersikap sebagai minoritas. Sebab ia pernah berada di posisi itu, tatkala berkarir sebagai birokrat di Kota Kediri. Pendekatan minoritas dengan minoritas, menjadi jalan yang ampuh untuk meraup suara.
Ditambah lagi Ipat besar dan lama berkarir di Provinsi Jawa Timur. Ia dekat dengan kultur masyarakat muslim di wilayah Jawa Timur. Umat muslim Jembrana pun sangat dekat dengan kultur muslim di Jawa Timur. Mereka merasa nyaman dengan pendekatan yang dilakukan oleh Ipat.
Hal ini pun diakui oleh beberapa kawan dan keluarga saya yang punya hak pilih di Jembrana.
Pendekatan Kelompok Rantau
Komunitas perantau merupakan potensi suara yang harus digarap maksimal. Barangkali tak kurang dari 20 persen penduduk Jembrana, memilih merantau di Denpasar dan Badung. Ditambah lagi sebagian besar perantau merupakan generasi 1990-an. Mereka merasakan masa-masa keemasan Winasa.
Para milenial yang dulunya kesulitan mendapat akses pendidikan, bisa menyelesaikan pendidikannya hingga bangku SMA. Tak sedikit yang melanjutkan kuliah, dengan berbekal beasiswa dari Pemkab Jembrana. Ada pula yang merasakan kemudahan akses biaya kesehatan.
Rasa-rasa nostalgia ini digarap oleh tim pemenangan Tepat. Mereka menggarap suara perantau secara senyap. Pergerakannya mirip dengan sistem promosi Multi Level Marketing (MLM). Pendekatan dilakukan lebih personal. Romantisme, nostalgia, dan glorifikasi masa-masa Winasa menjadi produk andalan.
Tidak mengherankan bila perantau kini berbondong-bondong pulang kampung untuk menyalurkan hak pilih mereka. Beberapa kawan saya bahkan membuat status di media sosial, yang arahnya berpihak pada pasangan Tepat. Seperti “saatnya balas budi”, “dulu saya dibantu, sekarang waktunya saya membantu”, bahkan ada yang membuat status lebih frontal seperti “kembali jaya” yang mengarah pada jargon paket tepat.
Buktinya angka partisipasi pada Pilbup Jembrana kali ini termasuk paling tinggi. Tingkat golput pada Pilbup tahun ini hanya 23 persen. Berbeda saat Pilbup 2015 lalu, yang tingkat golput-nya mencapai 37 persen.
Pandemi
Masa pandemi rupanya menguntungkan paket Tepat. Masa pandemi juga menggembosi perolehan suara paket Bangsa. Hal ini berkaitan dengan distribusi bantuan pada masa pandemi.
Saat pandemi, para politisi Jakarta tampil di televisi dan menyatakan bahwa bantuan akan disalurkan pada seluruh “masyarakat yang terdampak pandemi”. Tapi saat aturan terbit, bantuan hanya disalurkan pada “masyarakat miskin yang terdampak pandemi”.
Tentu saja ini menjadi polemik di masyarakat. Warga yang merasa ekonominya terdampak pandemi, turut menagih bantuan. Sementara aturan hukum memungkinkan. Masyarakat memandang paket Bangsa sebagai representasi politisi yang sedang berkuasa, tidak tepat janji. Lebih frontal lagi, paket ini diduga menyalurkan bantuan pada kelompok-kelompok tertentu. Sehingga tidak merata dan tidak tepat sasaran. Ini jelas sangat merugikan paket Bangsa.
Survey
Hasil survey seringkali membuat terlena. Berbagai survey, baik survey internal maupun publik, memposisikan paket Bangsa sebagai pemenang. Hal ini membuat tim menjadi terlena. Merasa sudah di atas angin.
Sebaliknya paket Tepat yang diposisikan sebagai pasangan yang akan kalah, menjadikan hasil survey itu sebagai pecut. Mereka bekerja lebih keras, lebih giat, dalam senyap. Sehingga berhasil membalikkan keadaan pada hari-hari terakhir.
Kini pasangan Tepat sudah hampir pasti menjadi pemenang Pibup Jembrana. Hanya perlu menanti rapat pleno rekapitulasi KPU Jembrana dan pleno penetapan. Paket Bangsa pun dipastikan tak akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Karena selisih suara lebih dari 2 persen.
Setelah dilantik sebagai pemimpin nanti, tugas berat menanti pasangan Tamba-Ipat. Karena mereka dituntut merealisasikan janji-janji kampanye. Serta dituntut mengembalikan kejayaan Jembrana, seperti yang mereka usung sebagai jargon kampanye. [T]