Karya sastra dan seni, selalu membuka pintu lebar-lebar untuk ditafsirkan dari beberapa sudut pandang, dan juga dari kesan yang ditimbulkannya pada pembaca. Kesan menjadi tujuan antara dari sebuah karya seni, sebelum sampai pada tujuan utamanya, yaitu misi yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Saya meyakini tidak ada satu karya senipun yang tidak mempunyai misi.
Novel setebal 136 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit MAHIMA, pada tahun 2020, berkisah tentang seorang gadis murid SD kelas VI, hamil. Dampak dari kehamilan ini sang ayah, Kondra marah besar terhadap anaknya,Ratna. Ia melakukan interogasi, penyiksaan yang sangat keji terhadap anaknya untuk mendapatkan pengakuan langsung dari Ratna, siapa sebenarnya yang menghamilinya. Dalam keadaan tidak berdaya karena siksaan verbal dan pisik oleh ayahnya, Ratna mengumpat: Babi ! Babi !, Babi !
Dari sinilah bermula timbulnya kekacauan di dalam rumah tangga Kondra. Istrinya, Murni tidak berdaya mengatasi kebrutalan Kondra yang semakin memuncak, sehingga rumah tangganya berantakan. Kondra berpendapat bahwa yang menghamili Ratna adalah Babi.
Kondra menanggapi umpatan kata Babi, yang ditulis oleh pengarang dengan tanda seru, sebagai pengakuan Ratna. Karena Ratna dihamili oleh babi, menurut tanggapan Kondra, maka ia berencana menyelenggarakan upacara pernikahan Ratna dengan babi, yang ditentang oleh istrinya. Karena istrinya menentang kemauan Kondra, maka istrinyapun mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, verbal dan pisik).
Sebagai salah satu puncak dari konflik yang dengan rapi dibangun dan dikembangkan oleh penulisnya, Murni membiarkan anjing mengobrak abrik bebantenan yang sudah selesai dibuat untuk upacara pernikahan keesokan harinya. Ratna sejak awal berdiam diri di dalam kamarnya, tidak mau mencampuri konflik yang tahap demi tahap tetap menarik ditulis oleh Putu Supartika. Murni akhirnya ditemukan oleh penduduk desa menggantung diri di pohon coring.
Benarkah Ratna dihamili oleh Babi sebagaimana tanggapan, pendapat dan persepsi Kondra? Karena dihamili oleh Babi, maka yang akan dilahirkan Ratna juga bayi babi, atau setengah manusis setengah babi, yang sangat membuat aib keluarga ?
Semua pertengkaran mulut, penyiksaan yang dilakukan oleh Kondra (suami/laki-laki) terhadap dua perempuan, sebenarnya disebabkan oleh salah asumsi, salah tangkap terhadap kata Babi , sebagai umpatan Ratna.
Ilusi Kondra diadon dengan mimpi dan khayalan Kondra yang kebingungaan, dijadikan jalan setapak oleh pengarangnya untuk menyusun sebuah cerita yang menarik dan memikat untuk dibaca. Kondra sebagai penguasa tunggal di dalam rumah tangga yang patriarchi, tidak mau mendengar pendapat istrinya. Apakah ini sebuah refleksi dari kenyataan dan kebenaran social ?
Kalau dugaan tersebut benar, maka perlukah ada penghukuman social, moril maupun hukum terhadap pelaku kekerasan ? Walaupun novel ini hasil kayalan. Boleh jadi kehancuran rumah tangga, kehilangan istri itulah sebagai imbalan dari kekerasan yang dilakukannya.
Saya mendapat kesan, pengarang juga menyampaikan pesan kepada pembaca, “Hati-hati menangkap ucapan seseorang, sebab kalau salah akan menyebabkan tindakan salah juga.”
Ratna tidak dihamili oleh babi, tapi boleh jadi oleh seseorang yang berwatak seperti babi. Dalam Bab XVII, ditulis sebagai berikut:” Ratna melahirkan pada hari Minggu sore. Ia melahirkan bayi berwujud manusia, bukan babi berkepala manusia, manusia berkepala babi ataupun seekor babi. Benar-benar bayi berwujud manusia, namun bayinya mati tersedak air ketuban .*
Jakarta 8 Nop.2020
—–Putu Oka Sukanta(lahir diSingarajaBali,29 Juli1939; umur 81 tahun) adalah seorang penulis, wartawan dan aktif dalam masalah penanggulangan HIV/AIDS. Mulai menulis sejak di bangku SMP. Pernah menjadi guru SMA diJogjadanJakarta, selain sebagaiwartawanbebas.