Tahun ini, di tengah karut-marut pandemi Covid-19, penyair Wayan Jengki Sunarta, menerbitkan buku kumpulan puisi terbarunya bertajuk “Solilokui”(Pustaka Ekspresi, 2020). Solilokui adalah buku kumpulan puisi Jengki yang kedelapan.
“Solilokui merangkum 55 puisi yang saya pilih dari masa penciptaan tahun 2016 hingga 2020 dan belum pernah dibukukan secara utuh. Tematik puisi-puisi ini berkisar pada persoalan kehidupan, kemanusiaan, persoalan sosial dan ekologi, kegamangan, kefanaan, renungan keseharian, dan berbagai hal yang mengusik jiwa saya,” tutur Jengki.
Jengki mengatakan istilah solilokui biasa dikenal dalam seni drama. Solilokui biasanya disampaikan oleh seorang tokoh yang berbicara dengan dirinya sendiri untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin, atau untuk menyajikan suatu informasi.
Dalam rangka memeringati Bulan Bahasa, buku Solilokui akan dibedah dan dirayakan pada hari Sabtu, 24 Oktober 2020, pukul 18.00 Wita di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), Jl. Cok Tresna No. 109, Renon, Denpasar. Selain bedah buku, acara akan dimeriahkan dengan pembacaan puisi dan diskusi ringan seputar Solilokui.
“Karena masih dalam suasana pandemi, acara ini bersifat terbatas. Peserta maksimal 45 orang. Undangan yang hadir wajib mematuhi protokol kesehatan dan menggunakan masker.” kata Jengki.
Mahaguru penyair, Umbu Landu Paranggi, berencana akan menghadiri bedah buku Solilokui tersebut. Pada suatu kesempatan, Umbu juga menyampaikan komentar untuk buku Solilokui, bahwa Jengki sudah menemukan pencariannya dalam proses menulis puisi. “Jengki memberi kontemplasi pada tema-tema keseharian dan menjadi solilokui,” ujar Umbu.
Berkaitan dengan proses kreatifnya, Jengki mengatakan menciptakan puisi adalah proses yang tidak pernah selesai. Sama halnya dengan proses belajar memaknai kehidupan dengan beragam warnanya.
“Puisi selalu memberi banyak kemungkinan dan kejutan tak ternilai, yang membuat saya lebih memahami keberadaan sebagai manusia. Puisi adalah anugerah semesta yang memberkati pengembaraan batin saya menjelajahi rimba kehidupan,” ujar Jengki.
Lebih lanjut Jengki mengatakan bahwa buku Solilokui juga dimaksudkan sebagai kado ulang tahun untuk dirinya saat memasuki usia ke-45. “Sesederhana apa pun puisi yang saya ciptakan, mereka adalah anak-anak rohani yang mesti saya kasihi. Sebab mereka adalah bagian dari perjalanan hidup dan proses kreatif saya,” kata Jengki.
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Dia adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mencipta puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional serta terangkum dalam lebih dari 80 buku bersama.
Buku-buku sastranya yang telah terbit adalah Solilokui (puisi; Pustaka Ekspresi, 2020), Amor Fati (puisi; Pustaka Ekspresi, 2019), Petualang Sabang (puisi; Pustaka Ekspresi, 2018), Senandung Sabang (catatan perjalanan; Badan Bahasa, 2017), Montase (puisi; Pustaka Ekspresi, 2016), Magening (novel; Kakilangit Kencana, 2015), Perempuan yang Mengawini Keris (cerpen; Jalasutra, 2011), Pekarangan Tubuhku (puisi; Bejana, 2010), Impian Usai (puisi; Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (puisi; Bukupop, 2007), Cakra Punarbhawa (cerpen; Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (cerpen; Grasindo, 2005), Pada Lingkar Putingmu(puisi; Bukupop, 2005).
Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara lain: Nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2020), Sebelas Terbaik Lomba Cipta Cerpen dan Puisi Nasional yang digelar Disparbud DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2019), Nominator Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia (2019 dan 2016), Longlist Khatulistiwa Literary Award (2010), Anugerah Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007), Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison (2004), Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung.
Jengki sering diundang mengikuti berbagai kegiatan sastra tingkat nasional dan internasional, antara lain: Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI dan Negara ASEAN (2019), Festival Seni Bali Jani 2019, Jogja Literary Festival 2019, Festival Sastra Internasional Gunung Bintan di Kepulauan Riau (2018), Musyawarah Sastrawan Indonesia (Jakarta 2016 dan 2017). Selain itu, Jengki juga sering diminta menjadi pembicara (narasumber), kurator, dan juri berbagai kegiatan sastra tingkat lokal dan nasional, seperti narasumber Bengkel Sastra (Penulisan Puisi) untuk Guru se-Indonesia (program Badan Bahasa, 2020), narasumber Bimbingan Teknis Literasi untuk Guru se-Bali (program Balai Bahasa Bali, 2019 dan 2020).
Jengki memang mendedikasikan hidupnya untuk kesenian, terutama seni sastra dan seni rupa. Selain dikenal sebagai sastrawan, dia juga senang melukis dan turut menggerakkan kegiatan seni rupa di Bali dengan menjadi penulis dan kurator seni rupa. Hingga kini dia terus menulis untuk berbagai media, menjadi aktivis kesenian, dan bergiat di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas kesenian di Denpasar.