Tempo hari saya berkesempatan mengikuti sebuah trip bernama “We Love Bali” yang diwadahi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang berlangsung dari bulan Oktober hingga November mendatang. Sederhananya, trip ini dilaksanakan untuk membangkitkan pariwisata khususnya di Bali yang keadaannya hingga hari ini masih tidak baik-baik saja. Namun pada tulisan ini saya tidak akan membahas susunan acara dari program ini karena pembaca bisa saja mencari informasi tersebut di website berbeda yang telah disediakan. Tulisan ini hanya berfokus pada apa yang saya rasakan di tiap tempat wisata yang kami kunjungi khususnya tempat wisata yang benar-benar terasa aura kesunyiannya. Ada beberapa hal menarik yang saya jumpai dan rasakan selama mengikuti trip yang berlangsung dari tanggal 11-13 Oktober kemarin. Saya menganggap bahwa perjalanan ini tiada lain adalah tentang perayaan atas sebuah kesunyian.
Sesuai dengan nama trip ini, “WE LOVE BALI” ingin membangun sebuah branding dimana pariwisata Bali masih memiliki harapan untuk bangkit kembali dan masih baik-baik saja untuk dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini tentu tak lepas dari pengadaan protokol kesehatan pada setiap tempat wisata. Dimulai pada hari minggu, kami berangkat dari Singaraja menuju kawasan Kintamani lalu menuju Bali Banana Cacao Park Restaurant di daerah Ubud. Sebuah restaurant dengan nuansa ala-ala warung makan tepi sawah tersebut sungguh memanjakan mata kami. Bagaimana tidak, tempat tersebut berdampingan dengan sawah dengan hamparan padi hijau serta perkebunan pisang serta coklat di sekitar area restaurant. Akan tetapi, dengan segala kenyamanan tersebut, kondisi restaurant itu sangatlah sepi. Hanya ada kami, para peserta tour yang berkunjung kesana saat itu. Disela-sela waktu makan siang disana, saya dan beberapa teman berkeliling untuk melihat keadaan restaurant. Benar-benar sepi, disana ada sebuah tempat pengolahan coklat namun tidak beroperasi mungkin dikarenakan sedikitnya pengunjung yang datang ke restaurant tersebut akibat pandemi ini. Sungguh memerihatinkan sekali keadaannya. Selepas dari Bali Banana Cacao Park Restaurant, kami menuju Bali Zoo. Di Bali Zoo, suasanya tidak terlalu ramai namun tak juga sepi akan tetapi nuansa berbeda sangat terasa dari Bali Zoo saat sebelum dan sesudah pandemi berlangsung. Bagi pembaca yang sudah pernah berkunjung ke Bali Zoo sebelum pandemi lalu sekarang kembali berkunjung kesana, saya yakin pembaca akan menyetujui apa yang saya tuliskan sebelumnya. Tak hanya sepi akan suara manusia, Bali Zoo pun sepi akan suara dari para binatangnya.
Hari kedua, kami tiba di Uluwatu sekitar pukul 3 sore. Jujur saja, ini kali pertama saya datang ke salah satu tempat pertunjukan tari Kecak paling fenomenal di Dunia ini. sebelum tiba di Uluwatu, saya terlebih dahulu sudah membayangkan bagaimana nanti kera-kera disana akan mencuri barang bawaan yang saya pegang, bagaimana nanti kera-kera tersebut dengan lincahnya melompat-lompat diatas kepala saya. Benar, setidaknya seperti itu yang saya tonton di Youtube. Musabab hal tersebut, saya pun tak membawa barang apapun manakala turun dari Bus. Namun sayang, ternyata ekspektasi saya lagi-lagi harus terpatahkan. Saya tahu bahwa kondisi Uluwatu akan sepi oleh karena pandemi, namun saya tak menyangka juga bahwa kawanan kera pun sangat sedikit yang menunjukkan dirinya. Hanya ada sekitar 2-3 ekor Kera saja yang saya lihat di Uluwatu. “Kemana perginya kera-kera disini ya? Apakah mereka juga ikutan Work From Home?” Tanya saya dalam hati. Saya merasa bahwa mungkin binatang pun turut merasakan “kesunyian” di rumahnya. Tak ada satupun manusia yang singgah ke rumah mereka selama beberapa bulan, pastilah mereka rindu rasanya diberi makan atau mencuri barang milik manusia. Sungguh sebuah kesunyian yang aneh saja bagi saya pribadi. Uluwatu benar-benar berubah saat ini.
Hari terakhir, Tanah Lot menjadi tujuan wisata kami berikutnya. Banyak kios tampak tutup disepanjang jalan menuju area Pura. Beberapa pedagang menawarkan barang dagangannya “Topi isi tulisan Bali nya pak, kasihan nanti panas disana” tawar salah seorang pedagang. “Tidak, terimakasih bu” jawab saya sembari tersenyum kecil. Beberapa saat kemudian, seorang tukang foto menghampiri saya dan teman-teman saya yang kebetulan saat itu kami sedang berfoto bersama. Tukang foto tersebut menawarkan jasa nya, “foto langsung jadi pak” tawar tukang foto tersebut. Saya pun membalasnya sambil tersenyum lagi “tidak, terimakasih pak”. Sejujurnya, saya ingin sekali sedikit tidaknya membantu salah satu pedagang yang berada disana dengan membeli barang atau memakai jasa mereka, namun disaat yang sama harga yang mereka tawarkan terbilang cukup mahal sehingga itu mengurungkan niat saya untuk membantu mereka. Pertanyaan pun muncul dalam benak saya, “sudah sepi begini, kenapa mereka menawarkan harga yang mahal kepada kami?” beberapa saat kemudian saya juga yang menjawab pertanyaan yang saya pikirkan tadi “ohh, mungkin mereka mengira kami bukan dari Bali sehingga mereka menawarkan harga sangat mahal kepada kami”. Benar, Tanah Lot dengan segala kesunyian dan keberjuangan dari para pencari Rupiah yang masih berada disana membuat saya merasa sedih dan berharap bahwa pariwisata Bali segera bangkit kembali.
Perjalanan “WE LOVE BALI” tour secara tak langsung mengajarkan saya bahkan kami tentang sebuah perubahan khususnya perubahan kondisi pariwisata. Namun lebih dari itu, perjalanan ini sesungguhnya mengajarkan kami tentang bagaimana kesunyian masih bisa dirayakan meskipun dalam kondisi seperti ini. Program ini tentunya memberikan harapan bagi penggiat usaha khususnya pada tempat-tempat yang menjadi tujuan kami. Ada sekitar 10 program yang ditawarkan yang menuju ke banyak destinasi wisata di Bali dan setiap program terdapat sekiranya lebih dari 3 kali perjalanan. Ini berarti, hampir setiap minggu dan selama dua bulan kedepan, para penggiat usaha tersebut memiliki harapan untuk masih bisa tetap hidup. Mereka masih bisa merayakan kesunyian yang selama ini menemani hari-hari mereka. Akhir kata, lekas sembuh Bali.