Saya tidak begitu ngeh dengan prasi atau lontar dengan gambar yang mengilustrasikan cerita dari sebuah geguritan ataupun kakawin, sampai pada akhirnya, seorang kawan, sahabat ngopi, teman berbagi ide dan bertukar pikiran, transaksi literatur sambil ngopi berjam-jam di warung kopi atau dimana saja asal bertemu sambil ngopi yaitu I Gede Gita Purnama alias bli Bayu, beberapa tahun belakangan (entah sudah berapa tahun yang lalu saya sungguh lupa dan susah mengingat tepatnya) yang selalu bersemangat menceritakan perihal prasi dan menyatakan keseriusannya meriset prasi.
Yang pertama sering kali didiskusikan adalah tentang terminologi prasi itu sendiri, asal-muasal, siapa yang mencetuskannya, apakah ini istilah lokal atau serapan, kemudian berlanjut pada kantung-kantung wilayah ditemukannya prasi sejalan kemudian kesejarahan prasi. Yang kedua, sering kali pembicaraan mengarah kepada bagaimana metodenya, teori apa yang relevan, dan di dalam hal ini saya dengan latar belakang seni rupa tentu saja mengarahkannya ke teori-teori yang berkenaan dengan kerupaan semisal, teori bahasa rupanya Primadi Tambrani, Art as Experience-nya John Dewey, teori Ikonografi-nya Erwin Panofsky, dan lainnya. Yang ketiga, kami kemudian membuat semacam persekutuan untuk bertukar informasi jika ada yang menemukan prasi atau yang berkenaan dengan prasi itu sendiri.
Bli Bayu sendiri sudah memulai lebih awal masuk dari museum satu ke museum lainnya, tidak hanya di Bali bahkan Pulau Jawa, tidak hanya prasi berupa fisik yang datanya dikumpulkan akan tetapi juga menjelajah museum-museum virtual, saya ikut ketika diajak masuk ke koleksi lontar perpustakaan lontar Universitas Udayana, begitu juga pada bulan maret 2020 lalu sempat terjun ke Bungkulan atas bantuan Bli Tobing kami bertatap muka dengan seorang guru prasi yaitu I Gusti Bagus Sudiasta dari Jero Gusti Bungkulan.
Apa yang kami dapat? Untuk bli Bayu tentu data-data untuk medukung risetnya, sedangkan saya mendapatkan pengalaman baru, pemahaman baru tentang dunia pernaskahan lontar yang di dalamnya memuat fragmen cerita naratif itu, dan tentu yang terpenting adalah hasrat jalan-jalan sambil Nglesir Visual saya terpenuhi hehehe. beberapa pengalaman baru adalah saya pertama kali melihat langsung prasi yang konon paling indah dari sisi visualnya berjudul Dampati Lelangon, kemudian mengkopi buku Mengenal Prasi terbitan Gedong Kirtya Singaraja 1979 yang ditulis oleh I Ketut Suwidja serta ditunjukan bagaimana perspektif bangunan itu digambarkan dengan pendekatan penggambaran sudut pandang modern pada prasi Bagus Umbara, sampai pada hari sabtu malam, 19 September 2020 ketika liburan semalam bersama keluarga di Singaraja saya mendapat kesempatan mencoba menelusuri nama pembuat prasi Bagus Umbara ini di Desa Penarukan, Buleleng diantar oleh paman dari istri saya yang tinggal di perumahan Penarungan.
Sebelumnya, informasi mengenai nama pencipta prasi Bagus Umbara ini memang tercatat pada buku I Ketut Suwidja yang dikutip dari bukunya Dr. C Hooykass berjudul Bagus Umbara Prince of Koripan terbitan British Museum, London 1968. di halaman 7 Suwidja menulis bahwa “…gambar prasi Bagus Umbara ini mula-mula berasal dari Mis Helen Eva Yates yang datang ke Bali pada tahun 1928, atas bantuan Residen Bali dan Lombok Mr. H. Caron, ia telah menemui senimannya sendiri yang ada di sebuah desa dekat Singaraja. Rupa-rupanya seniman yang menggambar prasi ini bernama Bagus Ktut Mantra, dari Desa Penarukan, Buleleng. Desa ini dekat sekali dengan kota Singaraja. Pada tahun 1-1-1919 ia yang terkenal di Buleleng karena prestasinya telah diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan sebagai sedahan dan sempat berfoto bersama dengan pemerintah pada waktu itu.” Sabtu malam itu saya tidak mengingat pada buku nama yang tertera adalah Bagus Ktut Mantra, justru yang familiar di ingatan saya hanya nama Mantra.
Secara kebetulan, bibi dari istri saya yang sekarang tinggal di Banjar Liligundi, suaminya yang akrab disapa Aji Dodek adalah keturunan dari seseorang yang bernama Mantra atau tepatnya Bagus Nyoman Mantra dari Desa Penarukan, jadi dapat ditebak bagaimana gembiranya hati ini bahwa ini akan mudah untuk ditelusuri dan diketemukan, dan hal ini sudah saya kabarkan pula kepada bli Bayu. Namun sewaktu penelusuran ke Desa Penarukan pada hari Sabtu malam itu sekali lagi saya katakan bahwa saya lupa pencipta prasi Bagus Umbara dalam buku Suwidja itu bernama tengah Ketut bukan Nyoman.
Saya diantar oleh paman istri saya ke saudaranya Aji Dodek yang bernama Dewa Bagus Made Putrayasa atau Aji Putrayasa di Desa Penarukan, darinya saya mendapatkan info bahwa ada tiga orang yang bernama Mantra pada generasi kakeknya. Wow, lagi-lagi kejutan tak terduga di malam minggu. Mantra yang pertama adalah Bagus Nyoman Mantra berprofesi sebagai seorang Balian, orang yang sakti pada masanya, mampu membuat hujan dan membuat hujan reda seketika, informasi yang terpenting adalah bahwa di rumah Bagus Nyoman Mantra ini banyak sekali tersimpan lontar, namun sayang tidak ada yang melanjutkan karena cucu perempuan satu-satunya sudah menikah keluar ke Desa Bungkulan. Mantra yang kedua adalah kakyang dari Aji Dodek dan Aji Putrayasa juga bernama Bagus Nyoman Mantra adalah seorang pegawai negeri pada masanya sebagai sedahan desa di Penarukan, dari informasi Aji Putrayasa bahwa tidak ada lontar lagi di rumahnya terlebih ayahnya adalah seorang tentara di Desa Penarukan. Mantra yang ketiga tidak begitu jelas gelar nama tengahnya apakah memakai wayan, nyoman, made, ketut yang jelas juga bernama depan Bagus dan bernama belakang Mantra, akan tetapi tidak begitu populer untuk Mantra yang ketiga ini. Yang jelas mereka bertiga hidup satu zaman.
Hari ini Minggu, 20 September 2020 sambil menulis catatan ini saya membuka kembali buku Suwidja dan alangkah tercengangnya ketika membaca bahwa yang membuat prasi Bagus Umbara adalah Bagus Ktut Mantra. Sebelum menulis saya mengira-ngira dulu, membuat hipotesis, serta mencoba mengurai persoalan sekaligus menghubung-hubungkan antara prasi Bagus Umbara dengan tiga Mantra. Yang pertama, apakah Mis Helen Eva Yates pada 1928 itu salah menulis nama? Karena sesuai informasi dari mertua saya di Penarukan, dan Aji Dodek sekaligus Aji Putrayasa yang notabena adalah cucunya menyatakan bahwa kakeknya bernama Bagus Nyoman Mantra dulu adalah seorang pegawai sedahan?
Yang kedua, apakah Bagus Nyoman Mantra yang pertama sebagai pencipta prasi Bagus Umbara dengan dalih yang sama bahwa Mis Helen Eva Yates salah menuliskan nama? Akan tetapi beliau adalah seorang balian, orang sakti, konon perwajahannya berambut putih panjang, berkumis dan berjenggot, meskipun dirumahnya konon terdapat banyak lontar akan tetapi tidak berprofesi sebagai pegawai sedahan.
Yang ketiga, apakah Bagus Mantra yang disebutkan nomor tiga tersebut yang membuat prasi Bagus Umbara menimbang bahwa tidak jelas nama tengahnya apakah wayan, made, nyoman, ketut? Bisa-bisa saja nama tengahnya ketut, akan tetapi menurut informasi tidak ada hal yang menonjol dari Mantra yang ketiga ini, jadi agak bertolak belakang dengan keterkenalannya pada masa kolonial sebagai seorang yang berkat prestasinya.
Atau yang keempat, jangan-jangan setelah lontar prasi Bagus Umbara berpindah tangan dari Mis Helen Eva Yates kepada pemegang selanjutnya terjadi kesalahan menulis nama? Hal ini mengingatkan saya pada bulan maret bersama bli Bayu juga yang kebingungan mencari nama Ida Bagus Sudiasta yang beralamat disekitar Gedong Kirtya sebagai pembuat prasi yang tersimpan di Museum Bali ternyata salah menulis nama dan alamat, yang seharusnya bernama I Gusti Bagus Sudiasta dengan alamat Gedong Kirtya Singaraja kemudian ditulis Ida Bagus Sudiasta sedangkan jika turuti google map alamat yang tercatat lokasi tepatnya adalah di patung monumen I Gusti Anglurah Panji Sakti yang sedang menaiki kuda tersebut. Hehehe.
Atau yang kelima, memang ada nama Bagus Ktut Mantra yang memang berprofesi sebagai seniman prasi dan pegawai sedahan? Jika iya, maka ada dua orang yang berprofesi sebagai sedahan dari Desa Penarukan dan pada masa yang sama pula.
Opsi yang manapun saya rasa sama-sama kuat, dan hal terpenting adalah walau prasi Bagus Umbara yang asli kini tersimpan di British Library, kita masih dapat melihat kopian prasinya yang kini terpajang di ruang display pameran lontar di perpustakaan Gedong Kirtya, Singaraja. Oh iya, sampai tulisan ini selesai diketik dan dimuat di laman web tatkala.co, saya belum menghubungi bli Bayu, sebab saya ingin spoiler dulu kebingungan saya ketika menganalisa dan hendak memutuskan lebih dari itu agar semakin yaahuuuu diskusi panjangnya nanti sewaktu ngopi.
Pohmanis, 21 September 2020