Museum lontar Gedong Kirtya yang terletak di jantung Kota Singaraja bukan hanya sebatas museum lontar satu-satunya di Dunia. Ribuan koleksi lontar yang berusia ratusan tahun tersebut kini kerap menjadi rujukan bagi pemikir Bali dan peneliti dunia dari tahun ke tahun. Bahkan, Gedong Kirtya membantu dalam perumusan Agama Hindu di era kemerdekaan dan awal terbentuknya Parisada. Seperti apa?
Hal itu terungkap dalam webinar bertajuk “Koleksi Gedong Kirtya Sebagai Rujukan Para Pemikir Bali dan Dunia” yang digelar Pemkab Buleleng bersama STAHN Mpu Kuturan Singaraja di Rumah Jabatan Bupati Buleleng, Kamis (3/9/2020) sore.
Dalam webinar tersebut, menghadirkan sejumlah narasumber. Seperti Filolog sekaligus Peneliti Lontar, Sugi Lanus, Anggota Komisi IV DPRD Bali, Ir. I Gusti Ayu Aries Sujati, Kepala Dinas Kebudayaan, gede Dody Sukma Oktiva Askara, M.Si dan Ketua STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dr. I Gede Suwindia, S.Ag, M.A.
***
Ada rasa bangga dan haru. Ketika kampus saya, STAHN Mpu Kuturan Singaraja punya perhatian besar terhadap Gedong Kirtya. Museum yang punya ribuan koleksi lontar berusia ratusan tahun. Yang mendapat julukan “satu-satunya” museum lontar di Dunia. Yang dulunya kerap dianggap “tenget”. Yang saat ini masih “ditakuti” anak milenial untuk dikunjungi.
Haru itu ketika ditindaklanjuti dengan nota kesepahaman. Antara STAHN Mpu Kuturan dengan Pemkab Buleleng. Ini momentum untuk lebih serius memperhatikan warisan leluhur. Membangunkan kembali kearifan lokal yang diwariskan para leluhur yang sempat mati suri.
Tentu perhatian ini menjadi jalan menebus kesalahan jika pariwisata dan pembukaan jalan di Bali tahun 1920-an telah membuat banyak orang Bali menjual lontar ke para wisatawan ketika itu. Semoga kenangan pahit ini tak kembali terjadi di era sekarang.
Sebelumnya, beberapa kali saya sempat masuk Gedong Kirtya. Saat mahasiswa. Sekitar 2008 silam. Itupun karena tugas kampus. Saya harus mencari lontar yang berkaitan dengan Tattwa. Itupun sudah setengah mati membaca lontarnya. Malah tak sampai tuntas.
Malah saya paling greget cari Lontar Pengayam-Ayam. Lontar ini paling populer dan disebut-sebut sebagai “kitab sucinya” para bebotoh di arena Tajen. Saya penasaran. Rupanya, lontar ini memang tak sesederhana yang saya bayangkan. Tak sesederhana orang-orang menyebutnya.
Saking penasarannya, setelah dilihat sepintas, dalam lontar Pengayam-Ayam ini memang ada petunjuk mengadu ayam pada hari-hari tertentu yang berpedoman pada wuku, saptawara, dan pancawara secara terpadu. Jika patokan ini diikuti, konon ayam akan berjaya mencapai kemenangan.
Misalnya Soma (Senin) Klwon ayam yang Berjaya adalah klawu, ijo dan brumbun. Dan ayam yang kalah adalah serawah, polos, sekuning mata putih, buik, wangkas, biying kuping putih. Hal itu harus dikaitkan dengan keberangkatan. Yakni ke selatan, atau ke timur dan ayam yang harus dilepas dari utara. Jika ke tajen, warna pakaian pun perlu diatur, agar peluang menang lebih besar. Nah, ruwet kan. Tak usah dilanjutkan. hanya sekedar contoh saja.
Kemudian, ketika berprofesi sebagai wartawan, tempat yang pertama saya liput adalah Gedong Kirtya. Kala itu, saya mendapat penjelasan beragam jenis lontar dari penjaga Gedong Kirtya. Ada sekitar 1.808 cakep lontar. Diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti Weda, Agama, Wariga, Itihasa, Tantri, Usada, Lelampahan hingga babad.
Ada pula buku-buku tua yang berusia ratusan tahun di museum ini. Sudah keropos termakan usia. Tahun 2018 silam, ketika Gede Komang menjadi Kepala Dinas Kebudayaan buku tua ini sempat diajukan proposal agar mendapat anggaran untuk direstorasi oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Yang biayanya bisa menghabiskan Rp 25 juta per buku. Namun sampai saat ini belum jelas, sudah berapa buku yang diestorasi.
Jika dilihat dari daftar pengunjung, Gedong Kirtya memang tak setenar destinasi wisata yang “instagramable” di kalangan anak muda. Wajar saja, terkesan tak ramah bagi anak-anak milenial. Terlalu kuno bahkan “tenget”.
Pengunjung lokal hanya bisa dihitung dengan jari. Jika itu anak muda yang sedang kuliah, sudah pasti datang karena tugas kampus. Ya seperti saya ini dulu ketika kuliah, yang jika tidak ada tugas, mungkin saja tidak tahu ada apa saja di Gedong Kirtya. Memang tak patut ditiru.
Saya sempat telisik daftar pengunjungnya. Yang bikin kaget, setiap hari selalu saja ada turis berkunjung ke Gedong Kirtya. Tujuannya beragam. Ada yang untuk sekedar bewisata sembari foto-foto koleksi lontar, ada yang mencari lontar jenis tertentu untuk kajian dan penelitian, hingga mencari refrensi.
Sebelum pageblug Virus Corona mewabah, setiap ada kapal pesiar yang bersandar di Pelabuhan Celukan Bawang, Gerokgak, para turis menjadikan Museum Gedong Kirtya sebagai city tour Kota Singaraja. Dalam sehari, sampai ada lima bus yang mengantar turis secara bertahap masuk ke museum Gedong kirtya.
Tak pelak muncul lelucon. Gedong Kirtya itu sangat jauh. Jauh bagi orang-orang lokal. Namun dekat bagi turis manca negara. Lelucon itu ada benarnya. Soalnya, turis dari manca negara utamanya dari Belanda lebih dulu menginjakkan kakinya lokasi Gedong Kirtya.
Mereka lebih dulu tahu isinya. Tahu koleksinya. Dipelajari, dikaji, dibukukan, dieksplorasi. Bahkan bisa meraih gelar Professor gara-gara koleksi lontar di Gedong Kirtya. Ironis memang. Seolah orang Belanda sedang mencari “kawitannya” ke Gedong Kirtya. Tak salah, Gedong Kirtya menjadi rujukan peneliti dunia. Bahkan, berbagai disertasi di Leiden tentang Bali, tidak satupun yang tidak merujuk koleksi Gedong Kirtya.
Dari penjelasan Filolog sekaligus peneliti lontar, Guru Sugi Lanus, di sela-sela webinar setelah penandatanganan MoU baru saya mendapat pencerahan. Jika koleksi lontar Gedong Kirtya menjadi rujukan penyusunan dan pedoman Parisada dan para pemuka agama atau sulinggih untuk menyusun buku-buku pengajaran dan penyuluhan Agama Hindu dari sebelum kemerdekaan dan sampai kini.
Koleksi Kirtya menjadi sumber-sumber mempelajari pemikiran filsafat, etika, sejarah kerajaan, teologi, sastra dan lingustik bagi para peneliti dunia dan masyarakat Bali. Dari sebelum kemerdekaan dan sampai kini. Ini luar biasa.
Sugi Lanus juga menceritakan, ketika rombongan Rabindranath Tagore datang ke Bali tahun 1927, ikut salah seorang ahli Sanskrit terbaik di India ketika itu bernama Suniti Kumar Chatterji mengunjungi Kirtya dan menulis laporan panjang dimuat di koran berbahasa Bengali secara bersambung.
Tahun 1930 ia berpidato di depan Asiatic Society, sebuah forum intellectual di India, menyatakan bahwa seluruh institusi di India yang mempelajari sejarah India atau Indologist harus bekerjasama dengan Kirtya. Pidato ini sangat berpengaruh pada masyarakat India yang ingin mengenal peradaban Hindu Kuno yang masih murni terwariskan di Bali. Di India sendiri telah punah atau jarang bisa ditemui berbagai text dan mantra-mantra yang sebagian ada di Kirtya.
Kembali ke MoU. Saya banyak berharap kerjasama ini menjadi awal eksplorasi isi Gedong Kirtya untuk dikaji dan sebarluaskan kepada masyarakat luas dengan cara kekinian. Kearifan lokal para leluhur yang tak ternilai dan sarat akan pengetahuan bisa menjadi “lentera” penerang.
Gedong Kirtya tak perlu lagi dianggap tenget. Di sinilah peran semua pihak. Termasuk STAHN Mpu Kuturan Singaraja dan Pemerintah. Lembaga ini bertanggung jawab menjadikan Gedong Kirtya sebagai pusat penelitian dan pengkajian lontar agar kian ramah milenial.
Saya membayangkan, suatu saat generasi muda mulai sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi akan terbiasa berduyun-duyun keluar masuk Gedong Kirtya. Mereka mengantre datang untuk mencari beragam jenis ilmu dari ribuan jenis lontar sesuai bidang pendidikan.
Yang kuliah kedokteran, bisa mempelajari lontar usadha Bali seperti Taru Pramana yang sudah terbukti berkhasiat untuk menyembuhkan beragam penyakit. Yang kuliah Arsitektur bisa mengkaji lontar tentang asta kosal-kosali. Yang kuliah astronomi bisa mengkaji lontar yang berkaitan dengan perbintangan maupun wariga.
Mahasiswa yang kuliah Hukum Hindu, Teologi Hindu, Filsafat Hindu, pendidikan Agama Hindu bisa mengkaji beragam lontar tattwa, weda dan agama. Jika kesulitan, mereka bisa saja bertanya kepada pemandu yang lihai membaca lontar-lontar untuk diterjemahkan, dan dikaitkan dengan ilmu masa kini.
Masyarakat dan Pemerintah Buleleng sudah sepantasnya bangga dengan keberadaan Gedong Kirtya. Pemerintah dan swasta juga bisa menganggarkan dana untuk memberikan hibah penelitian kepada akademisi di Bali agar mengkaji dan mempublikasikan isi lontar di Gedong Kirtya, sehingga mendatangkan manfaat kepada masyarakat dari berbagai bidang keilmuan. Astungkara.