Malam itu dengan berbekal laptop, seperti malam-malam biasanya ketika saya sedang berada di Negara, saya datang ke Rompyok Kopi Komunitas Kertas Budaya yang kebetulan jaraknya hanya lima langkah dari rumah saya. Rompyok Kopi, kantinnya Komunitas Kertas Budaya.
Ketika itu saya sedang duduk santai bersama Nanoq Da Kansas yang tidak lain dan tidak bukan adalah pendiri/pemilik Rompyok Kopi Komunitas Kertas Budaya yang akrab saya panggil Om Nanoq. Di hadapan saya ada segelas jeruk hangat dan laptop terbuka yang sudah memanggil saya sejak tadi, namun pikiran saya masih mengawang memikirkan banyak hal. Kemudian perhatian saya ditarik oleh Om Nanoq yang tiba-tiba bercerita, bahwa ia baru saja melatih dua tentara yang minta dibimbing untuk mengikuti lomba Stand Up Comedy di provinsi.
Katanya, hanya dua hari latihan, kedua tentara itu ternyata berhasil menyambat juara 1 dan 3. Seketika saya tercengang, sontak saya bertanya “Lalu Om melatih bagian mananya saja, Om? Materinya Om yang berikan atau mereka cari sendiri?”. Kemudian Om Nanoq menjawab, bahwa mereka mencari materinya sendiri dan ia hanya memberitau apa-apa saja yang harus ditambah dan dikurang. Singkatnya, ia yang mengamplas.
Usai mengobrol soal Stand Up Comedy, obrolan kami lalu merembet ke A, B, C, dan tiba-tiba hening. Di tengah keheningan itu, saya teringat bahwa saya harus mencari sebuah artikel teater sebagai bahan diskusi bersama kawan-kawan Teater Kampus Seribu Jendela. Kebetulan saya dan kawan-kawan di TKSJ sedang mengadakan diskusi kecil-kecilan dalam kelompok yang diadakan setiap hari Minggu di whatsapp grup. Kami memberi nama kegiatan yang diadakan secara rutin tersebut dengan MIRING, alias MInggu shaRING. Diskusi dalam kelompok tersebut adalah usaha yang kami lakukan untuk tetap belajar dan berpikir. Terutama di masa-masa berdiam di rumah seperti saat ini, akan bahaya kalau terlalu terlena.
Lalu saya menemukan sebuah artikel teater dari web Portal Teater yang ditulis oleh Rudolf Puspa berjudul Teater dan Konflik Kemanusiaan. Artikel tersebut membahas tentang konflik kehidupan yang dapat menjadi sebuah garapan teater maupun konflik yang terjadi di dalam diri aktor. Bagai sayur tanpa garam, bagai aku tanpa kamu, begitu pula kehidupan tanpa konflik. Ya, kehidupan dan konflik adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kemudian dari pemikiran dan tangan-tangan kreatiflah, konflik dapat diubahnya menjadi sesuatu yang indah, menegangkan, menyeramkan, tragis, lucu, dan bentuk-bentuk yang lainnya.
Tiba-tiba saya teringat dengan obrolan saya dan Om Nanoq sebelumnya. Antara Stand Up Comedy dan Teater misalnya. Dalam giat pemanggungan, jika dipikir-pikir, antara Stand Up Comedy dan Teater memiliki kesamaan yang kuat. Sama-sama bermaterikan konflik, berdasar dari konflik. Menyambung dari apa yang ditulis oleh Rudolf Puspa dalam artikelnya, keduanya berasal dari suatu konflik/peristiwa yang kemudian dipanggungkan. Namun perbedaannya, jika dalam Stand Up Comedy materi yang berasal dari konflik menjadi kunci utama, teater justru memiliki aspek yang lebih kompleks.
Jika seorang Stand Up Comedian harus bermodalkan materi yang kuat tanpa perlu banyak gesture tubuh bahkan tak perlu membuat wajah lucu untuk melucu, bedanya dengan teater, teater justru tak cukup pada kuatnya cerita yang dibawakan saja. Teater memiliki banyak hal yang perlu diperhatikan seperti artistik, panggung, ekspresi, penghayatan, gesture, dan tetek-bengek lainnya. Belum lagi konflik yang terjadi dalam diri aktor. Jika konflik dalam cerita harus ditonjolkan dan dikemas dengan sebaik mungkin, konflik dalam diri aktor justru menjadi hal yang harus disembunyikan. Karena sesedih apapun, sesakit apapun, pentas harus tetap berlangsung dan penonton tidak akan mau tau.
Lalu apakah hal tersebut tak terjadi juga dalam diri Stand Up Comedian? Mungkin saja terjadi. Rasanya apapun bentuk pengekspresian sesuatu yang dibawakan ke atas panggung pastilah memiliki ketegangan-ketegangannya tersendiri. Entah kepada diri sendiri, atau kepada penonton. Terlebih dalam teater, ketegangan dalam diri aktor bisa berkali-kali lipat. Selain tegang dalam diri karena merasa nervous atau mengalami perasaan yang bertolak-belakang dengan karakter yang diperankan, ketegangan juga terjadi ketika aktor harus membagi lagi konsentrasi dan perasaannya antara harus merespon properti, panggung, dan interaksi dengan pemain lainnya. Ah pokoknya, banyak deh yang harus dihitungin.
Lah, kok jadi konflik dalam konflik ya? Haha. Sudah membawakan suatu konflik, eh konflik tersebut menimbulkan konflik lagi. Benar kan, hidup tak terlepas dari konflik. Semasih ada manusia, konflik akan terus eksis. Bahkan kita telah mengetahui bersama, ada begitu banyak karya-karya yang lahir dari sebuah konflik. Ya entah karya sastra, lukisan dan yang paling marak adalah film. Ada begitu banyak film perang yang diambil dari kisah nyata atau konflik yang nyata, seperti misalnya film Dunkirk, Black Hawk Down, Pearl Harbour dan begitu banyak film-film yang lainnya.
Nah, konflik yang terjadi di kehidupan dan kemudian difilmkan ternyata konfliknya tidak berhenti sampai di film saja. Sering saya melihat, orang yang habis menonton sebuah film kemudian berdebat soal film yang ditonton. Mereka bahkan bisa memperdebatkannya berhari-hari dan sampai bawa perasaan. Atau jangan jauh-jauh deh, orang yang suka menonton drama korea saja contohnya, orang yang selesai menonton drakor soal konflik percintaan, bahkan bisa berteriak-teriak, menangis, marah, merasa tak terima, dan yang paling ekstrem bahkan bisa mengajak debat atau menjadi curhat dengan orang sekitarnya tentang film tersebut karena saking terbawa perasaannya. Konfliknya jadi konflik perasaan deh.
Wah, ini sih konflik dari konflik untuk konflik namanya. Dunia bekerja seperti lagu Dari Sabang Sampai Merauke ya “sambung menyambung menjadi satu… itulah kehidupan” eh maaf, Indonesia maksudnya. Namun, apapun bentuk konfliknya, semua bergantung kepada kemana kita membawa konflik tersebut. Seperti penulis yang membawa konflik ke dalam cerpen atau puisinya, pemusik yang membawa konflik ke dalam lagunya, wartawan yang membawa konflik dalam beritanya, anak-anak yang membawa konflik dalam buku diarynya, sutradara yang membawa konflik dalam filmnya, netizen yang membawa konflik ke dalam nyinyirannya, dan saya, yang membawa konflik dalam pikiran saya ke dalam tulisan yang ngalor-ngidul ini.
Nah, bagaimana jika ada seseorang yang mengalami patah hati karena ditinggal nikah & menggantungkan dirinya di pohon toge misalnya? Selain ditertawakan mantannya, ya gak menutup kemungkinan konflik tersebut bisa menjadi bahan berita wartawan, berkembang-biak menjadi Stand Up Comedy, kemudian menjadi naskah, bisa menjadi teater, dan begitu seterusnya dan seterusnya. Ada sangat banyak pilihan. Tak ada habisnya. Nah, sekarang kamu pilih yang mana?