Salah satu aktivitas masyarakat yang mencolok di tengah pandemi Covid-19 adalah bersepeda. Fenomena tersebut mulai terasa tidak lama sejak diumumkannya pandemi Covid-19 oleh pemerintah pada awal April 2020. Lebih-lebih setelah melewati masa PSBB dan mulai diberlakukannya tatanan normal baru (new normal order).
Kegilaan masyarakat akan bersepeda, bisa jadi merupakan yang terhebat sejak 50 tahun terakhir. Coba saja perhatikan di jalanan, lebih-lebih pada Sabtu dan Minggu pagi. Dari anak-anak hingga lansia, dari sepeda seharga Rp500 ribu hingga puluhan juta Rupiah, menyemut di jalan protokol maupun jalan kampung.
Perhatikan juga orang-orang yang berjubel di toko-toko sepeda. Mereka berebut untuk membeli sepeda berikut aksesorisnya. Dalam tempo tidak terlalu lama, beberapa toko sepeda kehabisan stok. Sedangkan pasokan dari pabrik harus menunggu 1 hingga 2 bulan untuk proses produksi.
Tidak hanya pedagang sepeda yang ketiban rejeki, juga penjual jasa reparasi sepeda, baik yang rumahan maupun bengkel pinggir jalan besar. Hal ini merupakan berita bagus, pada saat banyak bidang usaha lain mengalami kemunduran.
Hampir semua jenis sepeda diminati, dari sepeda lipat, sepeda balap, hingga sepeda gunung. Hal ini tentu saja merupakan kabar gembira. Bukankah bersepeda itu aktivitas yang menyehatkan?
Di Perbukitan Pegiren ( perbukitan di Kota Gresik yang membentang dari barat hingga timur), yang banyak memiliki jalur sepeda gunung, tidak luput dari imbas demam bersepeda. Sebelum terjadi pandemi, jumlah pesepeda yang melintas di berbagai jalur sepeda di perbukitan itu, hanya berjumlah belasan pada akhir pekan. Tapi akhir-akhir ini, jumlahnya meningkat pesat.
Wajah-wajah baru dengan berbagai macam tabiat memenuhi titik-titik peristirahatan. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mengenakan standard keselamatan bersepeda gunung. Banyak yang tidak mengenakan helm, tidak bersepatu, hingga memakai sepeda yang tidak sesuai medan.
Tapi hal itu sebenarnya tidak masalah juga, sebab risiko ditanggung sendiri. Masalahnya, di antara pesepeda gunung dadakan itu, tidak sedikit yang meninggalkan sampah plastik. Utamanya di lokasi perstirahatan. Mulai dari botol minuman hingga pembungkus permen.
Apakah di lokasi tersebut itu tidak disediakan tempat sampah? Disediakan, meskipun tidak semuanya karena keterbatasan dana. Tempat-tempat sampah itu diusahakan sendiri oleh anak-anak muda penghobi sepeda gunung, yang tergabung dari berbagai komunitas.
Mereka tidak hanya menyediakan tempat sampah, tapi juga berbagai petunjuk aturan bermain sepeda gunung dan larangan membuang sampah sembarangan. Seperti disampaikan oleh Amie Priyono, atlet sepeda gunung dan aktivis lingkungan hidup, dia dan kawan-kawanya rutin membuang sampah yang terkumpul di beberapa tempat sampah yang mereka sediakan.
“Meningkatnya tren bersepeda-gunung menyebabkan jumlah sampah yang dibuang sembarangan semakin hari semakin meningkat. Secara periodik saya dan teman-teman berusaha memungut ceceran sampah plastik itu, kemudian kami masukkan ke kantong plastik,” ujarnya.
Tidak hanya itu, mereka juga membuat dan merawat beberapa jalur sepeda gunung. Mulai dari pembuatan rintangan (obstacle), hingga merapikan jalur dari ranting dan akar yang sekiranya membahayakan pesepeda gunung, utamanya untuk pemula.
“Kami tidak dibayar, bergerak atas kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan dan kenyamanan pengguna jalur sepeda. Biaya yang keluar dari kegiatan tersebut kami tanggung bersama. Ini benar-benar murni swadaya,” ungkapnya. Melihat militansi anak-anak muda itu, rasanya tidak adil jika tidak diimbangi dengan kesadaran pesepeda gunung, baik yang sudah lama maupun pesepeda gunung dadakan. Mereka tidak minta apresiasi atas apa yang mereka lakukan. Mereka hanya minta agar para pesepeda gunung yang sudah merasakan nikmatnya jalur sepeda yang mereka buat, tidak membuang sampah sembarangan. [T]