—Catatan Harian Sugi Lanus, 5 Agustus 2020.
1. Masyarakat Bali umumya pasti mengetahui bahwa setiap pasar pasti ada Pura Melanting, atau setidaknya pelinggih — tabik — Bhatari Melanting atau Dewi Melanting.
2. Namun, mungkin sama dengan saya, yang sedari kecil saya berpikir kalau semua Dewi Melanting itu sama, baik yang di sawah-abian-pasar dan yang di Pulaki.
3. Saya masih ingat ketika mlaspas Pura Mlanting (Melanting) di Pulaki ikut medeeng (semacam pawai rias) untuk ritual. Mewakili desa kami, beberapa hari ikut terlibat dalam prosesi upakara panjang berbulan persiapan pemugaran dan akhirnya penyucian. Dewi Melanting dalam dongeng masyarakat Banyupoh dan Pulaki terkait dengan perjalanan Danghyang Nirartha (DHN). Dan putri beliau yang “digaibkan” kemudian disebut “distanakan” atau “melinggih” sebagai Dewi Melanting.
4. Belakangan saya membaca ada versi lain dari Dewi Melanting. Beliau adalah putri dari Bhatara Wisnu dan Dewi Sri. Jadi ada dua versi yang mana versi pertama yang diketahui sebagian besar masyarakat Bali.
5. Dewi Melanting dikenal dalam legenda atau kisah dewi padi. Ia adalah putri dari Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Goris mencatat bahwa: “Pada pemujaan umum dari Seri sebagai Dewi Padi, masih harus ditulis di sini tentanq dongenq bahwa puterinya (Dewi Melanting) setengah tahun berdiam di bawah bumi dan setengah tahun di atas bumi. Ia baru dapat hidup kembali setelah mati dahulu di bawah tanah yang hitam. Jalan ke Hidup Baru dengan melalui kematian dahulu, adalah inti dongeng padi-padian. Demikianlah Puteri Padi ini (puteri Dewi Padi) disembah di kebun-kebun (sebagai Dewi Melanting ring kebon) dan di pasar (sebagai Dewi Melanting ring pasar); karena pasar adalah tempat di mana hasil pertanian, pemberian Dewi Melanting, dibagi-bagikan kepada orang-orang.”
6. Dewi Melanting yang adalah putri dari Dewi Sri dan Dewa Wisnu ini menyebar di Bali masih dipuja di ‘Pura Melanting ring kebon’ dan di pasar disebut ‘Pura Melanting ring Pasar’.
7. Kita menemukan banyak sekali Pura Melanting di Bali di kebon dan juga di pasar. Yang di pasar biasanya identik dengan Bhatara Rambut Sedana. Sementara itu, lanjut ke penjelasan R. Goris, bahwa Pura Melanting sebagai bagian tidak terpisahkan dari pemujaan atas Dewi Sri (Dewi Padi) dan Dewa Wisnu penguasa dari kemakmuran, kesejahteraan. Gabungan Seri dengan Sadhana (kemakmuran) sebagai Seri-Sedana atau Rambut-Sedana di Bali dibentuk sebagai perwujudan nama patung-patung kecil (terbuat dari uang logam bolong atau pis bolong) yang disembah di pura-pura rumah sebagai patung-patung nenek-moyang dan terkait dengan kesejahteraan. Para pedagang di pasar memuja dengan perwujudan ini, demikian juga lumbung dengan Bhatari Nini dan Dewi Sri, terkait dengan pemujaan Dewi Melanting sebagai dewi padi dan kesejahteraan.
8. Saya masih ingat ketika ibu saya mendoakan padi di sawah dengan doa agar padi penuh berisi — mangda ratu mas melanting jelih lambih. Warna padi ibarat emas dan penuh panjang berisi. Dari dulu saya berpikir “Mas Melanting” adalah metafor biji padi yang serupa buliran emas (mas melanting). Bulih-bulih padi menguning nan penuh sesak melenting bulirnya laksana bulir-bulir emas. Rasa bersyukur tengadah atas berkah ibu pertiwi, ibu bumi, Dewi Sri yang memberikan putrinya untuk jadi serat pemberi pangan pada umat manusia.
9. Kisah Dalem Melanting atau Bhatari Melanting adalah putri dari DHN, yang semula bernama Ida Ayu Swabhawa, diceritakan dalam Dwijendra Tattwa, sebuah lontar yang beredar sangat luas, sebagai berikut kisahnya — sebagaimana diterjemahankan IBG Agastia, dengan penyesuaian. Ketika DHN hijrah ke Bali, dari Jawa, sampai di Pulaki. Di sana sang pendeta sambil terus berjalan ke timur, tiba-tiba beliau· melihat seekor naga besar yang mulutnya menganga menakutkan, namun sang pendeta masuk ke tengah mulut naga itu. Setibanya beliau di tengah perut naga tersebut beliau menemui sebuah telaga yang berisi tiga bunga teratai tiga warna. Yang di timur berwarna putih. di selatan berwana merah, dan di utara berwarna hitam. Lalu oleh sang pendeta dicabut dan disumpangnya (disuntingnya) di telinga, yang merah disuntingkannya di telinga kanan, yang hitam disumpangkannya di telinga kiri dan yang putih di pegangnya, lalu beliau keluar dari perut naga itu dengan mengucapkan weda mantra “hayu wreddhi” dan “sapa wreddhiastu”. Istri dan putra-putra sang pendeta melihat sang pendeta berubah-ubah warna, kadang-kadang merah. kadang-kadang hitam kelihatannya. Tiba-tiba wajah beliau bagaikan emas. Bertanyalah sang pendeta kepada istrinya. Sang Patni Kaniten menyatakan bahwa putra putri beliau semuanya lari dengan tujuan yang berbeda-beda. Selanjutnya Danghyang Nirartha mencari putra-putrinya untuk dikumpulkannya kembali. Namun putra beliau yang tertua hilang. Danghyang Nirartha mencari kembali putrinya yang hilang tersebut. Tak lama kemudian putrinya ditemuinya kembali dalam keadaan wajah yang pucat pasi. Danghyang Nirartha bertanya, “Putriku, mengapa engkau lari menjauh, serta mengapa engkau menjadi takut, katakanlah!”. Tak lama kemudian menjawablah sang putri, “Dengan segala hormatku kepada ayah, sebabnya hamba lari menjauh, karena wajah ayahanda terlihat sangat menakutkan ketika ayah keluar dari mulut naga itu, kadang-kadang wajah ayah kelihatan berwarna merah , demikianlah terlihat oleh ananda”. Sang putri melanjutkan, “Duhai Empu Danghyang, hamba mohon anugerah ke hadapan paduka ayah, sekarang hamba ingin kasunyatan, sehingga tidak dilihat oleh setiap orang, yang menyebabkan hamba bersatu dengan niskala (alam gaib), itulah yang hendaknya segera diajarkan kepada hamba, sehingga hamba mengetahui hakekat kehidupan dan kematian”. Menjawablah Danghyang Nirartha, “Duhai putriku, janganlah khawatir, dengarlah apa yang ayahanda ajarkan sekarang”. Selanjutnya sang pendeta mengajarkan ajaran rahasia kepada putrinya, setelah itu lenyaplah sang putri, namun tetap berada di tengah asrama itu serta disebut Dalem Melanting. Ia telah berbadankan niskala (gaib) dan diberi nama Bhatari Melanting, sebagai dewa di sana. Demikian keutamaan anugerah Danghyang Nirartha kepada putrinya yang bemama Ida Ayu Swabhawa, yang tak dikenai oleh umur tua dan kematian. Ketika sang pendeta hendak berjalan, berkatalah istri beliau yang tidak kuat lagi berjalan yang nama Sang Istri Patni Kaniten. Sabda sang pendeta, “Adindaku, di sinilah engkau bertempat tinggal, di desa Melanting, karena putrimu Ida Ayu Swabhawa telah menjadi sungsungannya orang-orang Melanting sekarang, kanda akan melenyapkan orang-orang Melanting”. Orang-orang Melanting segera dipanggil, jumlahnya kurang lebih delapan ribu orang, disuruh menjaga putri dan istrinya. Didoakanlah orang orang di sana supaya tidak kekurangan emas permata, serta makanan dan minuman, serta orang lain tidak dapat melihat orang-orang di sana, semuanya tidak menolak. Lalu dilenyapkanlah desa itu oleh Danghyang Nirartha, sampai sekarang desa ini tidak terlihat.
10. Sastrawan (almarhum) IBM Dharma Palguna mendapat informasi lain terkait “gaibnya Ida Ayu Swambhawa”, sebagai berikut: “Ada keterangan dari sumber tertulis lain, yang menyebutkan bahwa Bhatara Mahadewa yang disebut Bhatara Tohlangkir yang bersemayam di puncak Gunung Agung, mengutus Sang Hyang Dwijendra untuk menyampaikan bahwa para dewata di Bali-lah yang meminta agar Ida Ayu Swabhawa menjadi dewanya para lelembut untuk menjaga alam Bali hingga di kelak kemudian hari. Itulah sebabnya Dang Hyang Nirartha bersedia melaksanakan “tugas” menggaibkan putri kandungnya sendiri agar tetap sebagai penghuni alam Lelembut yang tidak dibatasi oleh umur tua dan kematian (tan keneng tuwa pati). Tidaklah mudah sesungguhnya bagi seorang ayah biologis menggaibkan puteri kandung sendiri. Tidaklah ringan sesungguhnya bagi seorang perempuan pindah dari alam manusia ke alam Lelembut untuk selama-lamanya. Mengapa seorang puteri sulung seorang pendeta shakti bernama Ida Ayu Swabhawa yang cantik jelita mesti menjalani pilihan hidup seperti itu? Mengapa harus Dang Hyang Nirartha yang melakukan swadharma menggaibkan putri kandung sendiri?”
11. Prasasti Malat-Gede, prasasti yang terbuat dari batu pilar ditemukan berdiri di pelinggih Ratu Sakti Bagus Bima bagian jeroan Pura Penataran Bale Agung, Desa Malet Tengah, Susut, Bangli. Pelinggih Ratu Sakti Bagus Bima ini diapit oleh pelinggih lain yaitu: Pelinggih Ratu Mas Ayu Melanting dengan batu lingga antara gambar batu pria dan wanita, dua pelinggih lainnya yang salah satunya disebut Manik Tirta dengan beberapa batu alam besar diletakkan di atasnya. Prasasti tersebut bertahun Saka 835 (914 M) di bulan Phalguna (delapan bulan), bagian gelap dari bulan. Jika keberadaan prasasti ini sejaman dengan Pelinggih Ratu Mas Ayu Melanting, maka pelinggih Ratu Mas Melanting setidaknya telah ada 575 tahun sebelum kedatangan Danghyang Nirartha (bersama putrinya Ida Ayu Swabhawa yang disebutkan distanakan atau dilinggihkan sebagai Dalem Melanting). Danghyang Nirartha (bersama putrinya Ida Ayu Swabhawa disebutkan tiba di Bali sekitar tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong.
12. Pernyataan sekarang, jika masyarakat Bali ditanya: Siapakah Dewi Melanting yang dipuja di sawah, di kebun, dan di pasar? Mungkin jawabannya beda-beda. Barangkali umumnya dikaitkan dengan Dalem Melanting atau Bhatari Melanting di Desa Melanting di kawasan hutan Pulaki, Kecamatan Gerokgak, Bali utara bagian barat. Teman-teman saya yang pedagang atau bisnis di Bali umumnya berpikir demikian. Namun, jika kita merujuk pada catatan Goris — tersisip dalam artikel “Secten op Bali” dimuat dalam Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck-Van der Tuuk. 3, Singaradja, 1931, yang dikutip juga oleh MIGUEL COVARRUBIAS dalam Island of Bali (1937): “Dewi Melanting, the native goddess of seed and plants, who, as daughter of Dewi Sri, remains the goddess of gardens and markets. Dewi Melanting spends half the year above the earth and the other half below; or, as Dr. Goris puts it, “she has first to undergo death under the black earth before she can come to new life.” — maka yang dipuja di Pura Melanting di Pulaki dengan yang Dewi Melanting di pasar-sawah-kebun adalah berbeda?
13. Dalam urusan keyakinan kita bisa (bahkan dipersilahkan berbeda) tergantung keyakinan masing-masing. Namun informasi atas peristiwa atau cerita yang mempengaruhi keyakinan kita sepertinya perlu diperdalam, lebih jauh-dalam-luas, agar apapun yang kita yakini atau pahami semakin terang dalam cahaya pengetahuan yang jembar, hati yang terbuka yang memberikan kemungkinan lebih mendalam dan jernih dalam menjalani kehidupan, terkhusus kehidupan batiniah.