Saya pikir sebagian pembaca yang membaca tulisan ini mungkin sudah bosan membicarakan soal pandemi. Berhenti membicarakan pandemi tidak akan menghentikan pandemi, sama halnya terus membicarakan pandemi juga tidak akan menghentikannya. Setidaknya satu atau dua malam dari beberapa bulan terakhir ini kita ingin sekali pandemi ini tidak terjadi. Saat terbangun kita menganggap ini cuma mimpi buruk yang tidak pernah benar-benar terjadi. Itu wajar saja dan manusiawi, ketika kita menghadapi sesuatu yang buruk dan tidak pernah kita rencanakan, kita melakukan denial atau menolak dalam pikiran sadar kita menolak bahwa hal-hal ini pernah terjadi.
Tetapi sayangnya pikiran kita tidak akan mengubah situasi. Ketika kita berusaha menipu diri kita bahwa hal ini tidak terjadi nyatanya situasi ini terjadi. Dalam ilmu psikologi bagaimana kita menghadapi hal-hal yang buruk dan tidak terencana ada teorinya yaitu oleh Kubler Ross. Ada tahap-tahapnya, mungkin Anda sudah sering membaca hal ini. Tahap pertama denial atau menolak, tahap kedua anger atau kemarahan, tahap ketiga bargaining, tahap keempat depression atau depresi dan yang kelima barulah accept atau menerima hal tersebut.
Denial dan Rasionalisasi
Saya akan membicarakan dari sudut kesehatan mental di mana kini sebagian kecil masyarakat masih saja berada dalam fase denial, menolak pandemi ini terjadi. Mereka melakukan filter mental, menyaring informasi hanya pada hal-hal yang ingin mereka dengarkan, hanya hal-hal yang ingin mereka percayai. Sehingga kemudian mencari alasan membuat pemikirannya ini menjadi seakan-seakan rasional atau yang dinamakan rasionalisasi. Jadi hanya denial dan rasionalisasi, sulit untuk akhirnya bisa menerima bahwa hal ini sungguh terjadi. Yang saya bicarakan adalah tentang teori konspirasi. Teori ini hadir dari pemikiran menghadapi bencana dalam hal ini pandemi dengan cara denial dan rasionalisasi. Hanya mau mendengarkan atau menganggap informasi yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Hanya itu yang benar.
Lalu sebenarnya apa yang terjadi pada orang-orang yang masih saja denial dan rasionalisasi? Ada beberapa jebakan mental atau mental trap yang terjadi, yang pertama adalah all or none di mana orang-orang yang hanya berpikir hitam-putih. Kalau tidak hitam ya putih, tidak ada area abu-abu di sana. Kalau tidak sukses ya gagal, kalau tidak normal ya sekalian saja menganggap bencana ini buruk. Mereka melakukan filter mental, hanya hal-hal yang mendukung pemikirannya, hanya hal-hal yang ingin mereka dengar saja yang kemudian dipercayai.
Kedua hal di atas membentuk teori konspirasi. Sebetulnya itu adalah upaya untuk membuat dirinya survive atau bertahan, karena biasanya orang-orang yang berpikir seperti ini cenderung mempunyai tingkat kerentanan kecemasan yang tinggi. Mungkin saja menampilkan sesuatu yang berkebalikan, di mana dia berani, di mana dia tidak pernah takut tetapi sesungguhnya di dalam bawah sadarnya merasakan kecemasan yang luar biasa.
Tipe Kecemasan
Seperti sebelumnya pernah saya bicarakan, kecemasan itu ada yang sifatnya precrustination dan procrustination. Precrustination adalah bereaksi dengan terlalu cepat dan tergesa-gesa. Maka saya tidak kaget juga kalau ternyata orang-orang yang sekarang mendukung teori konspirasi ketika awal pandemi dulu pernah mengalami serangan panik, kecemasan dan psikosomatis akibat perilaku terlalu tergesa-gesa, mengambil beberapa informasi secara ceroboh dan merasa dunia ini akan segera kiamat. Tetapi kemudian mereka mencoba survive dengan cara melakukan hal-hal sebaliknya. Hal penting yang saya ingin bicarakan di sini adalah ada juga tipe kecemasan procrustination, lambat dalam bereaksi. Ketika kita terbuai tentang—saya tidak menginginkan new normal tetapi normal sepenuhnya—lagi-lagi sayangnya dunia ini tidak berubah hanya dengan mengubah pikiran kita.
Jadilah kemudian kita merasa santai, tidak melakukan protokol kesehatan. Ini yang belakangan sering saya temui di tempat praktik saya, yaitu orang yang terlambat bereaksi dan menyadari sesungguhnya dunia tidak seperti yang dia pikirkan. Makin ke belakang makin banyak saya temui orang-orang yang mempunyai kenalan dan keluarga yang meninggal ataupun sakit berat karena virus Corona. Mereka kemudian tersadarkan bahwa ternyata situasi sekarang tidak seperti yang ia pikirkan, dan itu memicu kecemasan tipe procrustination.
Kemudian muncul penyesalan yang mengakibatkan keguncangan dalam kejiwaannya. Inilah yang oleh Kubler Ros dinamakan fase depression atau depresi, di mana kenyataan ternyata tidak sesuai dengan harapan. Kita harus benar-benar menanamkan bahwa sebenarnya tidak pernah ada situasi atau orang yang bisa menyakiti kita. Yang menyakiti kita hanyalah harapan. Marilah kita buat harapan yang rasional, mari kita memilah-milah informasi, belajar berpikir bahwa tidak ada yang sepenuhnya benar dan tidak ada yang sepenuhnya salah, tidak ada yang sepenuhnya buruk ataupun tidak ada yang sepenuhnya baik.
Senantiasa berada di area abu-abu, seperti kata orang Bali kodrat manusia adalah Boya Je Dewa, Boya Je Bhuta. Ketika kita merasa diri sudah sangat normal, kita sudah aman itu ibaratnya kita menjadi dewa dan ketika kita terlalu cemas, terlalu berpikiran buruk dan terlalu pesimis kita menjadi bhuta. Yang terbaik adalah tetap menjadi manusia.
Keteladanan
Kunci kesehatan jiwa adalah soal fleksibilitas atau kelenturan kita dalam menghadapi sesuatu. Ketika kita terlalu abai mari lebih peduli, kita terlalu cemas mari kita belajar bodo amat. Daripada kita berfokus pada orang-orang yang tidak memberikan keteladanan, saya ingin melihat salah satu musisi Bali yang luar biasa. dari sejak awal bereaksi dengan sangat baik dan menunjukkan kepedulian dan keteladanan. Dia adalah Robi Navicula. Berbeda dari kebanyakan musisi Bali, dia sejak awal berani lantang bersuara tentang lingkungan hidup, tentang budaya Bali dan juga kali ini saat menghadapi pandemi.
Dari yang saya lihat, dia bisa menertawakan keabaian teori-teori konspirasi dan lebih fokus pada masa kini dengan melakukan tindakan nyata dengan menggalang charity, fokus pada produk-produk pertanian dan tidak hanya mengeluh tentang kesulitan dunia hiburan dan pariwisata yang terjadi dan juga dialami. Perlu lebih banyak orang seperti Robi Navicula sehingga tidak ada cap bahwa orang Bali hanya peduli pada pariwisata, hanya bisa mengeluh dan menipu diri dengan menjalankan teori konspirasi. Semoga kita semua berada dalam keadaan mantap jiwa dan raga sampai pandemi berakhir dan kita bisa menemukan makna menjadi diri kita yang lebih baik.