Melihat sunrise ada di Kuta? Itu mustahil. Sunrise atau matahari terbit adanya di timur, sedangkan Pantai Kuta berhadapan dengan langit barat sehingga yang dimiliki hanya sunset alias matahari tenggelam.
Jadi, jika ada seseorang mengajak lihat-lihat sunrise di Kuta, itu ajakan gila, Paradoks, Kontradiksi.
Tapi, Ketut Putrayasa, seorang perupa asal Badung, bersiap-siap mengajak kita menyaksikan sunrise di Pantai Kuta. Di dunia yang sungguh-sungguh, ia bukanlah seniman gila. Tapi di dunia seni dan kreativitas, ia bukan hanya gila, melainkan liar, kadang berada di luar nalar.
Selama ini, orang selalu percaya sepenuh-sepenuhnya pada kebenaran tunggal. Padahal kepercayaan pada kebenaran absolut kadang berdampak pada kemacetan, bahkan kemunduran, sebuah peradaban, Akal menjadi beku. Bahwa sesuatu yang sudah dianggap sebagai kebenaran tunggal tidak memiliki kemungkinan lain, misalnya memiliki kebenaran yang berbeda bahkan kemungkinan untuk dinilai sebagai bukan kebenaran.
Putrayasa adalah seniman yang selalu gigih mencari kemungkinan di antara hal-hal yang dianggap hanya punya satu hal: ketidakmungkinan. Dan untuk menemukan kemungkinan adanya sunrise di Pantai Kuta, ia merancang event spektakuler bertajuk “Sunrise Art Project” di Kuta. Rencananya, event itu digelar awal tahun 2021.
Sunrise Art Project sebuah pergelaran seni rupa yang dikemas dalam event pameran visual art yang melibatkan ratusan artisan untuk larut dalam berbagai kemungkinan kreatif untuk kemudian menjadi karya interative gigantik.
Event ini akan menjadi menarik, karena tak hanya merepresentasikan nilai estetika formal, namun publik diajak menalarkan kembali kesadarannya mengenai makna Kuta di luar dari yang formal “common sense”.
Putrayasa berkata: “Setiap perjalan peristiwa, baik itu masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang merupakan sebuah kompleksitas yang tak terpisakan menjadi suatu rangkain yang direduksi menjadi ‘New Being Culuture’ atau ‘Kuta yang Menjadi’”.
Daya kreatifnya sudah dibuktikan ketika ia mengagas “Berawa Beach Arts Festival” dengan karya “Giant Octopus ” sempat heboh dan dibicarakan oleh banyak penikmat seni.
Dan dalam Sunrise Art Project, ia bukan memindahkan matahari untuk terbit di Kuta, tetapi ia mempresentasikan kata “sunrise” atau morning spirit untuk bisa hadir di pantai bagian barat, yakni Kuta. Dengan begitu, Kuta memiliki harapan baru (new spirit) dari ambang-ambang batas kenormalan.
“Saya rasa, ini akan menjadi sebuah keunikan tersendiri serta tantangan dalam mensublimasi ruang dan waktu menjadi sebuah metafora makna baru (new definition) dalam karya visual art dengan format kekinian, (kontemporer),” katanya.
Sebagai seorang seniman yang biasa menjelajahi negara-negara di dunia lewat seni rupa ini Putrayasa melihat Kuta, dari perspektif seni, adalah daerah yang unik. Di luar Kuta, masyarakatnya diterjemahkan atau dikondisikan oleh ruang, namun di Kuta menjadi sebaliknya, kosmologi ruang sebagai presentasi dari masyarakatnya, Kuta mewakili dari global city (metropolis) value.
“Jika dianalogikan birunya air laut Kuta sebagai instrument dalam menulis perkembangan sejarahnya, tintanya tidak akan pernah habis untuk ditulis dalam sebuah peradaban umat manusia. Dengan keunikan semacam itu, Kuta selalu memberikan kanvas kosong untuk dilukis setiap saat,” katanya.
Dan event Sunrise Art Project dengan moment pasca pandemi Covid-19 mencoba melukiskan kembali kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan oleh konversi istilah “tagar (#) New Normal”.
Event ini dipastikan spektakuler, karena akan melibatkan ratusan artisan dengan background yang berbeda. Mereka yang kebanyakan belum pernah mengenal dunia seni sama sekali dan diharuskan untuk beradaptasi serta mengambil bagian dengan seni, sehingga bisa dibayakangkan akan menjadi cita rasa baru dalam khasanah seni rupa, sebuah kolaborasi yang cukup gila dan menatang. Presentasi karya-karya ini akan memberi kesempatan bagi penikmat seni untuk bisa menjadi bagian dari karya dan terlibat langsung di dalam karya tanpa mereka sadari dengan sensasi dan segala global cultural.