— Catatan Harian Sugi Lanus, Anggar Kasih Kulantir, 28 Juli 2020.
Usia 9-10 tahun saya mendapati kitab Bhagavad Gita (atau ditulis Bhagawad Gita) bagian tengahnya terbakar di plangkiran di kamar orang tua saya. Terbakar karena kena asap dupa. Saya sangat penuh tanya kenapa orang tua saya meletakkan kitab ini di tempat yang sangat disucikan. Saya baca dengan hati-hati, dengan perasaan penuh hormat, keramat dan takjim. Itulah perkenalan saya secara serius membaca kitab India. Bhagavad Gita yang saya baca adalah terjemahan Prof Mantra. Beliau memang sengaja menterjemahkan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Pengalaman membaca Bhagavad Gita di kelas 4 SD tersebut menancapkan kesan luarbiasa mendalam. Sehabis membaca Bhagavad Gita tersebut, setiap menjelang tidur saya seperti mendengar pengulangan percakapan Kresna dan Arjuna. Itu terjadi mungkin sekitar satu bulan, hidup saya memasuki pengalaman antara mimpi, lamunan dan hayalan tentang “kesadaran Kresna”. Sampai sekarang pengalaman itu masih membekas. Sangat dalam.
Sang Kresna membabarkan hakikat diri manusia, bahwa semua manusia memiliki “potensi Brahman” atau potensi Ketuhanan dalam dirinya masing-masing. Potensi ini dijelaskan ada dalam diri Arjuna dan semua manusia. Kresna menyadari dan menjelaskan dirinya sebagai Sang Diri yang tunggal dengan alam semesta, dengan putaran kehidupan, dan esensi mendalam penciptaan. Kesadaran Kresna tersebutlah disebut sebagai “ketunggalan dengan Brahman”.
Sebagai anak kecil saya terkagum-kagum. Penjelasan Kresna membuat saya terbang dalam imajinasi seorang anak kecil. Lalu timbul-tenggelam dalam lamunan berkepanjangan tentang penjelasan Kresna. Mungkin karena di zaman saya kecil tidak ada jual-beli poster Kresna bergaya India, juga tidak ada film India mewabah seperti sekarang, maka sosok Kresna yang saya bayangkan adalah wayang Kresna dalam pewayangan di Bali. Semenjak membaca Bhagavad Gita tersebut saya selalu memperhatikan dengan serius Wayang Kresna kalau ada pementasan wayang di kampung saya.
Membaca Bhagavad Gita memberikan pondasi dan membongkar kesadaran saya bahwa manusia punya pertautan terbuka dan melekat dengan alam semesta. Semenjak usia 10 tahun membaca Bhagavad Gita itu saya melihat alam semesta adalah tiada terpisah dengan diri saya. Diri saya tiada terpisah dengan alam semesta, dan tiada terpisah dengan esensi semesta yang mengaturnya.
Setelah besar saya membaca-baca hampir semua versi terjemahan Bhagavad Gita yang bisa saya temukan baik versi cetak dan PDF. Karena kefasihan saya hanya terbatas pada 3 bahasa (Inggeris, Indonesia, dan Bali) saya membaca dengan baik versi 3 bahasa ini dan sambil jalan saya belajar bahasa Sansekerta, secara formal di kampus dan juga dengan mengikuti tradisi pembacaan Gita.
Seiring waktu, tanpa sadar, saya mengoleksi semua buku-buku Bhagavad Gita yang saya temu dalam perjalanan ke berbagai daerah dan negara. Yang paling berkesan mendalam adalah BHAGAVAD GITA terjemahan Sarvepalli Radhakrishna, tokoh filsafat tersohor India, intelektual utama, wakil Presiden India pertama, selanjutnya didaulat menjadi Presiden India ke 2. Buku ini seperti kembali membawa kesenangan dan pengalaman membaca Bhagavad Gita ketika pertama kalinya.
Saya berjumpa dengan seorang sepuh yang merekomendasi membaca ulasan Sri Aurobindo dalam kompilasi tebal Sri Aurobindo’s Essays on the Gita. Namun saya tidak sempat mendalaminya secara serius. Ulasan-ulasan Mahatma Gandhi tentang kitab Bhagavad Gita sempat pula saya baca.
Di masa awal kuliah saya membaca kalau Soekarno, membaca pidato Swami Vivekananda dan memberi catatan pinggir di buku tersebut, dan esensi ajaran BHAGAVAD GITA itu dijelaskan dalam buku tersebut, juga sekaligus dipahami dengan baik oleh Bung Karno. Dari sana saya baru paham bahwa kitab suci ini telah beredar di Indonesia dalam lingkar Teosofia di Indonesia.
Di pasar loak di Magetan saya temuan BHAGAVAD GITA versi terbitan Teosofia di Semarang sebelum kemerdekaan. Tidak berselang lama saya juga membeli terjemahan Amir Hamzah, tokoh sastra Pujangga Baru. Ada pula terjemahan dan ringkasan sederhana beredar di Indonesia sebelum kemerdekaan, beredar di Jawa.
Di Bali saya terkagum-kagum dengan terjemahan Bhagawad Gita ke dalam bahasa Bali oleh Guru Made Menaka, dari Pengastulan, Buleleng. Belakangan dalam proses pembelajaran Jawa Kuno, saya menemukan esensi percakapan Bhagawad Gita dalam Bisma Parwa, kitab Jawa Kuno yang sangat penting. Oleh dua pakar Jawa Kuno disebutkan bahwa Bisma Parwa adalah semacam Bhagawad Gita versi Jawa Kuno. Ada pula saya temukan percakapan Kresna dan Arjuna yang sangat menarik dalam lontar yang kabarnya disebutkan sebagai karya dari Ida Pedanda Made Sidemen. Percakapan antara Kresna dan Arjuna dalam lontar ini membahas hakikat dan ajaran Siwa.
Sekalipun saya mendapat pengalaman luar biasa mendalam dari membaca kitab Bhagavad Gita, saya tidak pernah menjadi penyembah Kresna. Sampai sekarang saya bukan penyembah Kresna. Saya menghormati Kresna sebagai tokoh pewayangan yang mahabijak, mampu membentangkan “Kesadaran Ketuhanan”. Kresna yang personal saya bayangkan sebagai wayang Kresna dalam tradisi wayang kulit di Bali. Kesadaran mahatinggi tiada batas itu yang menjadi renungan penting dalam Bhagawan Gita. Renungan yang sama juga diwariskan dalam berbagai lontar-lontar Siwa Tattwa yang diwariskan di Bali.
Saya akan sambung dalam catatan harian selanjutnya ulasan: 1). Bhagawad Gita versi Jawa Kuno, 2). Bhagawad Gita versi Bali terjemahan Guru Made Menaka, 3). Percakapan Kresna & Arjuna dalam lontar karya Ida Pedanda Made Sidemen.