Ubud sebagai sebuah desa telah melaju cepat menjadi sebuah kawasan pariwisata kelas dunia. Konsistensi Ubud pada jalur “kebudayaan” sebagai sebuah roh sekaligus landasan pariwisata yang dianutnya, telah mampu mengantarkan Ubud menggapai berbagai prestasi kelas dunia. Tentu, kedepan berbagai persoalan dan tantangan akan semakin kompleks, sehingga diperlukan sebuah kebersamaan dan komitmen seluruh stakeholders dalam menjaga Taksu Ubud. Kelurahan Ubud sebagai sebuah wilayah administratif melingkupi 13 lingkungan atau Banjar Dinas, yaitu: Banjar Ubud Kelod, Ubud Kaja, Ubud Tengah, Sambahan, Padangtegal Kaja, Padangtegal Tengah, Padangtegal Kelod, Padangtegal Mekarsari, Taman Kelod, Taman Kaja, Tegalantang, Junjungan, dan Bentuyung Sakti. Sebagai Perangkat Daerah Kabupaten Gianyar yang berkedudukan di Wilayah Kecamatan, Kelurahan Ubud memiliki peran penting dalam melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Tentu semua urusan wajib tersebut hanya dapat optimal dilaksanakan jika didukung dengan keseriusan dan anggaran yang memadai. Keberadaan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat di tingkat Kelurahan sangat vital peranannya dalam membantu Kelurahan merencanakan pembangunan yang partisipatif, menggerakkan swadaya gotong royong, serta melaksanakan dan mengedalikan pembangunan. Di sisi lain khsusus di Ubud, keberadaan Yayasan Bina Wisata Kelurahan Ubud (YBWKU) juga memainkan peran penting dalam usaha membantu Kelurahan Ubud menjalankan misi “sosial” dan “kemanusiaan” yang berujung pada cita-cita peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai sebuah organisasi Nirlaba, keberadaan YBWKU telah hadir dalam kurun waktu yang cukup lama. Saya tidak menemukan tanggal pasti pendiriannya, namun dari beberapa informasi lapangan keberadaaanya dinyatakan telah ada pada era tahun 1980-an. Kendati tidak menemukan tanggal pasti pendirian YWBU, namun Saya mendapatkan Salinan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) pertama “Bina Wisata” (belum menggunakan kata depan Yayasan). Namun lagi-lagi AD & ART tersebut tidak memuat tanggal penetapannya. Semenjak Negara mengeluarkan Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang dilakukan perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, maka Bina Wisata secara pasti mengukuhkan eksistensinya sebagai Yayasan dengan beberapa kali melakukan perubahan akta pendirian Yayasan. Perubahan Akta Pendirian Yayasan tersebut didasari oleh kebijakan pergantian Pengurus Yayasan setiap lima tahun sekali. Para Kepala Lingkungan Se-Kelurahan Ubud akan merekomendasikan usulan nama Calon Pengurus Yayasan yang akan diputuskan dalam Rapat Pembina Yayasan. Sesuai dengan Akta Perubahan yang terakhir dibuat dihadapan Notaris tertanggal 29 November 2019, tercatat kepengurusan Yayasan diketuai oleh Tjokorda Gde Bayuputra Sukawati, dan Saya pun berkesempatan Ngayah sebagai Bendahara Umum (Ngayah merupakan istilah bagi seseorang ataupun kelompok yang bekerja dengan tulus iklhas tanpa mendapatkan imbalan secara material).
Awal jelajah pengabdian Saya bersama pengurus lainnya tentu tidak semudah yang Kami pikirkan. Kami harus memulai dengan mengenali betul-betul hakekat sesungguhnya keberadaan Yayasan sebagai sebuah organisasi non-profit (tidak berorientasi pada laba). Maka, langkah awal yang Kami lakukan adalah mengenali lebih dalam “Maksud” dan “Tujuan” didirikannya Yayasan tersebut. Dalam Akta Pendirian yang disahkan notaris, Kami menyadari bahwa hakekat Organisasi ini dibentuk adalah untuk melaksanakan misi sosial dan kemanusiaan. Lebih lanjutnya, misi sosial yang dimaksud adalah memberikan pelayanan informasi, transportasi dan keamanan dibidang kepariwisataan Ubud khususnya dan Bali pada umumnya. Selain itu, melaksanakan pembinaan olahraga, seni dan budaya, serta melaksanakan penataan pertanaman, kebersihan, dan tata ruang di wilayah Kelurahan Ubud. Untuk misi kemanusiaan, Yayasan dibentuk untuk menyasar pada perlindungan sosial dan bantuan kepada masyarakat, pinandita, pandita, serta prajuru Se-Kelurahan Ubud. Selain itu juga diharapkan mampu memberikan bantuan pendidikan dan kesehatan bagi warga yang membutuhkan.
Melihat berbagai harapan dan banyaknya misi yang wajib diemban oleh Yayasan, tentu Pengurus merasa realistis tidak akan mampu memenuhi semuanya dalam satu tahun kepengurusan, terlebih dalam situasi keuangan Yayasan yang kurang mendukung. Belum lagi situasi pandemi Covid-19 juga berpengaruh serta menghambat peluang masuknya berbagai sumbangan dari para donor. Dalam situasi yang sulit dan tak menenti tersebut, Pengurus senantiasa berkomitmen untuk menghadirkan keterbukaan informasi segala bentuk aktivitas yang dijalankan serta senantiasa melaporkan pertanggungjawaban keuangan dalam upaya menciptakan Good Public Governance ke arah yang lebih baik.
Aktivitas Sosial sebagai Lembaga Komunikasi dan Koordinasi antar Satgas Gotong Royong Covid-19 Desa Adat Se-Kelurahan Ubud
Good Public Governance
Dalam upaya mencapai tujuan nasional, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang berujung pada kesejahteraan umum, maka penerapan Good Public Governance (GPG) sangat diperlukan melalui tiga pilar penting, yaitu: Negara, Dunia Usaha, dan Masyarakat. Walaupun sesungguhnya konsep GPG ini hadir untuk menjadi sebuah sistem atau aturan perilaku terkait pengelolaan kewenangan para penyelenggara negara, namun Kami (Pengurus Yayasan) memandang esensi dan asas yang mendasari penerapan GPG tersebut sangat relevan juga untuk diterapkan pada organisasi nirlaba yang bersentuhan dengan masyarakat luas seperti YBWKU. Dalam Buku Pedoman Umum GPG di Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance Tahun 2008, dijelaskan bahwa asas GPG meliputi: demokrasi, transparansi, akuntabilitas, budaya hukum, dan kewajaran. Saya menyadari bahwa belum sepenuhnya seluruh asas GPG tersebut secara detail diturunkan dalam wujud nyata, namun selama hampir 7 (tujuh) bulan mengabdi pada YBWKU terlihat adanya semangat menuju kearah tersebut.
Demokrasi
Demokrasi dimaknai mengandung tiga unsur pokok, yaitu: partisipasi, pengakuan adanya perbedaan pendapat, dan perwujudan kepentingan umum. Satu bulan setelah sah menjadi Pengurus Yayasan sesuai Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-0000348.AH.01.04, Pengurus dengan cepat menyusun Program Kerja dan Rancangan Anggaran Tahun 2020. Dalam penyusunan tersebut tentu melibatkan seluruh aspirasi para peserta rapat, sehingga tidak didasarkan atas keinginan salah satu Pengurus. Selanjutnya, dalam hal-hal yang bersifat strategis menyangkut tata kelola yayasan, Ketua Yayasan selalu menyelenggarakan Rapat Pengurus dan menuangkannya dalam Berita Acara Rapat Pengurus Yayasan. Pengurus berkeyakinan bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dalam sebuah organisasi sebagai upaya menuangkan idealisme, namun tetap berujung pada semangat persatuan dan kesatuan.
Transparansi
Transparansi mengandung makna keterbukaan informasi dan kemudahan akses masyarakat untuk mengetahui penyelenggaran Yayasan yang dijalankan oleh Pengurus. Dalam menyampaikan segala bentuk informasi yang bersentuhan dengan kegiatan sosial kemanusiaan di Ubud yang dijalankan Yayasan, Pengurus mencoba memanfaatkan media sosial sebagai sarana publikasi informasi. Selama hampir tujuh bulan mengabdi, hampir seluruh aktivitas yang bersentuhan dengan public dinarasikan untuk diketahui khalayak melalui media sosial Yayasan. Sedangkan keterbukan penyampaian informasi yang bersentuhan dengan keuangan Yayasan, sementara hanya dapat diakses oleh seluruh Kepala Lingkungan Se-Kelurahan Ubud dan Pembina Yayasan. Kedepan, Pengurus berkomitmen menampilkan informasi laporan keuangan kepada seluruh masyarakat dengan didahului proses audit terhadap Laporan keuangan.
Akuntabilitas
Prinsip dasar yang dimaksud dalam akuntabilitas adalah mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Pertanggungjawaban harus disampaikan secara berkala secara jujur dan terukur sesuai ketentuan yang mengaturnya. Dalam upaya menggambarkan kinerja keuangan setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 30/31 akhir bulan, Bendahara Yayasan akan menyusun laporan keuangan untuk dibahas bersama pada Rapat Pengurus Yayasan sebelum disetorkan kehadapan Kepala Lingkungan Se-Kelurahan Ubud yang bertindak sebagai Pengawas Yayasan dan para Pembina Yayasan setiap tanggal 15. Laporan Keuangan yang disusun oleh Yayasan telah mengadopsi ketentuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba yang terdiri dari: Laporan Posisi Keuangan, Laporan Aktivitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Semenjak 29 November 2019, Pengurus Yayasan telah menyajikan laporan keuangan Yayasan sebanyak 5 kali serta telah melaporkannya kepada Pengawas dan Pembina Yayasan, yaitu: untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019, 31 Maret 2020, 30 April 2020, 31 Mei 2020, dan 30 Juni 2020.
Budaya Hukum
Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum, yang diartikan bahwa seluruh elemen Yayasan (Pengurus, Pengawas, dan Pembina) dalam melaksanakan tugasnya selalu didasarkan pada keyakinan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu implementasi sederhana dari budaya hukum yang dijalankan adalah menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan Yayasan merupakan sebuah Badan Hukum yang diatur oleh Undang-Undang. Maka dari itu, Pengurus selalu berupaya menjalankan Pasal per Pasal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut yang kemudian telah dijabarkan secara eksplisit pada Akta Pendirian dan Perubahan Yayasan. Terlebih dalam usaha melaksanakan kegiatan yang bersentuhan dengan pemanfaatan Barang Milik Daerah, Pengurus berusaha hati-hati dan lebih teliti agar tidak menimbulkan dampak hukum di kemudian hari. Walaupun terkadang akselerasi Yayasan sedikit terlihat kurang cepat, namun demi kenyamanan dan keamanan bersama dikemudian hari maka perhatian akan dampak-dampak hukum menjadi perhatian yang cukup penting. Terlebih, marwah Yayasan ini menyangkut nama besar Ubud dan para pendirinya terdahulu.
Kewajaran dan Kesetaraan
Pedoman Umum GPG menjelaskan bahwa unsur kewajaran dan kesetaraan mengandung makna keadilan dan kejujuran, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan yang setara. Kondisi demografi, karakteristik, potensi serta peluang ekonomi masing-masing lingkungan Se-Kelurahan Ubud tentu berbeda satu sama lainya. Dalam usaha menjaga spirit persatuan dan kebersamaan serta rasa memiliki satu sama lainnya diperlukan program kerja Yayasan yang betul-betul menyasar pada pemerataan masing-masing lingkungan. Untuk Tahun 2020 (Tahun pertama pengadian Pengurus Yayasan), Pengurus menyadari belum sepenuhnya aktivitas kegiatan mampu menyasar seluruh lingkungan. Namun mimpi untuk senantiasa menghadirkan kewajaran dan kesetaraan akan tampak pada rencana kerja tahun-tahun berikutnya. Dukungan dan pengawasan dari seluruh masyarakat merupakan cambuk bagi Kami untuk senantiasa menampilkan aktivitas yang berkeadilan dan dapat diterima umum.
Hakekat keberadaan Organisasi Nirlaba sesungguhya merupakan wadah mencurahkan idealisme dan pengabdian bagi kepentingan yang lebih luas. YBWKU sebagai sebuah organisasi nirlaba, sesungguhnya tidak memandang keberhasilan dalam bentuk keuntungan material, tetapi lebih pada kualitas pelayanan sosial dan kemanusiaan masyarakat di Kelurahan Ubud. Harapan untuk selalu berupaya menciptakan tata kelola yayasan yang menuju pada GPG merupakan sebuah keniscayaan sebagai wujud sradha bhakti kehadapan Ibu Pertiwi yang bernama “Ubud”. Tulisan ini hanyalah sebuah gambaran akan usaha Saya bersama Pengurus lainnya untuk bersama-sama menuju pada wajah Yayasan yang transparan dan akuntabel baik dibidang keuangan maupun nonkeuangan. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, setidaknya dalam waktu yang cukup singkat ini Kami berupaya menunjukkan hasrat Kami menerapkan praktik GPG di Tanah Ubud. Semoga kritik dan dukungan senantiasa hadir untuk Kami. UBUD (Ulah,Budhi, Dharma)
*Catatan seorang pengayah yang sejalan dengan suara para pencinta Ubud lainnya (Coktra, Nana, Dewa Mang, Ebi, Dewa Putra dan Degus)