15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Mungkah Saka” dan Kisah-kisah Para Pendeta

Jero Penyarikan Duuran BaturbyJero Penyarikan Duuran Batur
July 23, 2020
inEsai
“Mungkah Saka” dan Kisah-kisah Para Pendeta

Bali memiliki dua kalender tradisional. Pertama Kalender Saka berbasis sasih (bulan) dengan rotasi satu tahun. Kedua, Kalender Pawukon berbasis wuku (minggu) dengan rotasi saban semester (210 hari).

Kalender Saka yang berputar setiap tahun disusun oleh 12 atau 13 sasih (bulan). Sasih ke-13 akan muncul dalam beberapa tahun sekali. Konsepnya mirip tahun kabisat dalam penanggalan Masehi. Sistem sasih ke-13 hadir sebagai tuntutan revolusi bumi yang berjalan sekitar 365,24 hari dalam sekali putaran terhadap matahari. Jika tahun kabisat menghadirkan tambahan satu hari pada setiap empat tahun sekali sebagai akibat akumulasi 0,24 hari pada setiap tahunnya, maka sasih ke-13 ini muncul sebagai akumulasi dari beberapa hari dalam beberapa tahun yang telah mencapai 30 hari. Sebab, setiap sasih pada tahun Saka hanya dihuni antara 28-30 hari.

Dalam siklus 12 sasih yang normal, nama-nama sasih penanggalan Saka meliputi Kasa (Srawana), Karo (Bhadrawada), Katiga (Asuji), Kapat (Kartika), Kalima (Margasira), Kanem (Posya), Kapitu (Magha), Kaulu (Phalguna), Kasanga (Cetra), Kadasa (Wesaka), Jiestha, dan Sadha (Asadha). Sedangkan, jika masuk mode 13 sasih, Jiestha atau Sadha akan diulang menjadi Malajiestha atau Malasadha. Ada juga menyebutnya sasih Nampih Jiestha atau Nampih Sadha. Nampih artinya melipat. Pelipatan sasih ini terakhir terjadi pada Saka 1941 (2019), dimana muncul Sadha dan Malasadha (Nampih Sadha).

Di Batur—sebuah desa penjaga dan pendoa Gunung dan Danau Batur—setiap sasih adalah peringatan. Aci (persembahan) kepada pemilik nafas semesta digelar hampir saban purnama (bulan terang) maupun tilem (bulan mati) pada setiap sasih, kecuali pada purnama/tilem Malajiestha, Sadha, atau Malasadha. Pun demikian, puluhan tahun lalu Sasih Jiestha juga nihil peringatan. Belakangan, Jiestha yang dikenal sebagai Kadasa Wayah, dipilih sebagai aci kehadapan Ida Bhatara Ngurah Subandar, bhatara yang berstana di Konco Batur. Pujawali ini seringkali berhimpitan dengan Hari Tri Suci Waisak, hari kelahiran, pencerahan, dan kembalinya Sang Hyang Buddha ke nirwana. Sejak Isaka 1942, setelah Pura Pasar Agung Batur berhasil dibangun kembali Purnama Jiestha turut disepakati masyarakat sebagai momen persembahan kepada Hyang yang berstana di Pura Pasar Agung Batur.

Menurut konstruksi penanggalan yang dibangun leluhur kami, putaran ritus sepanjang tahun dibuka oleh ritus di Sasih Kasa. Sementara itu, puncak ritus tahunan tergelar pada Purnama Kadasa yang dikenal luas sebagai Ngusaba Kadasa. Selama bentang siklus ritus tersebut, Sasih Kasa ditempatkan dalam posisi yang penting. Jika ritus di Sasih Kasa tidak dapat dilakukan, maka dalam setahun penuh semua ritus di 10 sasih lainnya tak jua dapat digelar. Apabila kondisi seperti itu terjadi, maka sepanjang tahun akan menjadi tahun heneng. Oleh karenanya, Sasih Kasa ditasbihkan sebagai pamungkah atau pangruwak (pembuka) tahun Saka, sekaligus pembuka peringatan dan perayaan terhadap kemuliaan Hyang Esa.

Kisah Para Pendeta

Penghormatan Kasa sebagai pamungkah Saka berdasar pada peghormatan sosok bhatara yang dihormati masyarakat dengan gelar Bhatara Sakti Bhujangga Luwih. Beliau berstana di Pura Jati, sebuah situs simbol kesejatian hidup yang terletak pada pertemuan Gunung dan Danau Batur. Sosoknya diwujudkan sebagai orang tua berperawakan pendeta dengan busana serba putih, bergenitri, memakai ketu, serta memiliki pusaka pajenengan berupa danda (tongkat). Beliau diyakini sebagai purohito (pendeta; penasehat) Bhatari Sakti Dewi Danuh, sosok utama yang dipuja masyarakat Batur.

Bagi para pamangku yang dipilih melalui upacara nyanjan sedari belia, Bhatara Sakti Bhujangga Luwih, adalah nabe (mahaguru) niskala. Kepada beliaulah mereka memohon anugerah agar mampu ngastawa Weda dan menjalani sasana kapamangkuan. Ritus permohonan anugerah suci itu termaktub dalam pelaksanaan upacara mancang karma yangdilaksanaan beberapa saat setelah diksa (penasbihan) para pemangku dari anak-anak terpilih. Sering terbukti, setelah melakoni upacara mancang karma, anak-anak yang terpilih sebagai pamangku akan lebih mudah melakoni tugasnya. Kadang, beberapa bait mantra dapat terucap dengan lancar oleh seorang pamangku yang berusia baru 6 tahun, usia yang secara logika mustahil mengingat persoalan-persoalan yang serius dan filosofis.

Kedudukan Bhatara Sakti Bhujangga Luwih sebagai seorang mahamuni turut dijadikan simbol sistem perguruan di Batur. Ada kepercayaan, seseorang jika ingin pandai dan selamat dalam mengolah kualitas diri, hendaknya memulai praktik mengasah bakat ketika pujawali di Pura Jati. Dalam momentum itu, mereka akan meminta restu untuk mulai belajar menari, madharma gita, menabuh, menulis, bahkan mulai masuk sekolah formal. Kaul-kaul juga sering diucapkan kehadapan beliau yang dipercaya sangat murah anugerah. Akibatnya, setiap perayaan di pura itu, banyak masyarakat yang akan mempersembahkan atos—kurban pelunasan kaul.

Dalam kaitannya pada masa pra-Batur, Hauser-Schäublin (2011:22)1, memandang kompleks Pura Jati sebagai lingkungan sekolah rohani penekun agama Budha. Kedudukan Bhatara Sakti Bhujangga Luwih dari Tampurhyang yang begitu mulia diduga telah menjalin “kesepakatan” dengan Bhatara Sasuhunan Sakti dari Sinarata dalam hal pengawasan ritual air dan kesejahteraan masyarakat dunia.

Asumsi itu menjadi masuk akal, sebab dalam tatanan pemanfaatan air suci dalam rentang ritus di Batur, tirta (air suci) Pura Jati dipandang sebagai tirta mahasuddha. Kesucian tirta Pura Jati dapat menghilangkan segala mala (kotor). Ketika puja astawa, para pamangku menggunakannya sebagai tirta pamarisuda banten. Tirta ini juga ditunas (diminum) paling akhir, serta pantang dicampur dengan tirta wangsungpada bhatara yang lain. Dalam hal memohon tirta solas—tirta dari 11 sumber mata air di kawasan Kaldera Batur milik Sasuhunan Sakti Batur—yang dipusatkan di Patirtaan Pelisan, tirta Pura Jati ditempatkan pada bumbung (ruas bambu) yang lebih tinggi dibanding 10 bumbung lainnya. Praktik ini kembali menegaskan kemuliaan tirta tersebut dibandingkan yang lain.

Dalam khazanah babad, teks Babad Kayu Selem, menempatkan Pura Jati pada posisi yang sangat penting. Pura Jati dikaitkan dengan Bhatara Mpu Kamareka, leluhur wangsa Kayu Selem. Pura Jati dibangun oleh Bhatara Mpu Geni Jaya Mahireng sebagai titah dari Bhatara Mpu Kamareka. Oleh karena itulah, Pura Kayu Selem juga didirikan di samping Pura Jati. Lebih jauh, ada kemungkinan jika sosok Bhatara Mpu Kamareka merupakan sosok yang disebut-sebut masyarakat Batur sebagai Bhatara Sakti Bhujangga Luwih. Beliau yang ditasbihkan sebagai nabe manusia Batur—yang kental berdarah Bali mula—sejalan dengan predikat yang disandang Mpu Kamareka sebagai cendekiawan Bali mula pertama yang “diwisuda” langsung Mpu Semeru (lebih jauh baca Riana, 2011:38)2.

Kisah para pendeta dalam perayaan Sasih Kasa tidak hanya berhenti pada narasi Bhatara Sakti Bhujangga Luwih dan Pura Jati. Puncak ritus Pura Jati jatuh pada pananggal (paro terang; suklapaksa) ke-13 Sasih Kasa, sedangkan sehari setelahnya pada paro terang ke-14 Sasih Kasa, tergelar ritus di situs bernama Pura Batu Sila Rupit.

Dibanding Pura Jati, keberadaan situs ini memang masih berkabut. Narasi-narasi yang melatarinya ada dalam sejumlah versi. Meski demikian, situs ini dipandang memiliki fungsi yang begitu esensial. Setiap upacara yang harus dilakukan oleh masyarakat desa, hendaknya memohon izin kehadapan Hyang yang berstana di sana, agar pelaksanana  ritual selamat dan berhasil.

Kabut yang mendekap entitas situs itu sama tebalnya dengan nama yang disandang. Hari ini, Pura Batu Sila Rupit diartikan kalangan masyarakat desa sebagai ‘situs batu tempat bersila yang berdekatan’. Namun, jika ditelisik agak teliti, kata batu dan sila sejatinya merujuk pada makna yang sama, yakni ‘batu’. Memang, kata sila juga merujuk makna lain, seperti ‘tingkah laku’ dan ‘cara duduk’, namun nama kawasan parahyangan itu adalah Batu Sepit, bukan Batu Sila Sepit, sehingga ada kemungkinan terjadi pengulangan antara kata batu dan sila.

Sementara itu, kata rupit dapat diartikan sebagai ‘berdekatan’. Sehingga, melihat kata-kata penyusun nama situs itu, dapat diformulasikan tiga arti, yakni ‘situs batu berdekatan yang merujuk tingkah laku’; ‘situs batu tempat [duduk] bersila berdekatan’; atau ‘situs batu yang berdekatan’. Tidak mungkin mencari rumusan paling benar, sebab tiada kebenaaran yang absolut. Untungnya, dari ketiga rumusan nama tersebut, semuanya tidak membiaskan makna yang terlampau jauh. Deretan arti ketiganya masih dapat ditarik merunut makna yang disajikan narasi-narasi lisan yang diwarisi para tetua tentang situs tersebut—dalam berbagai versi yang berkembang.

Setidaknya ada empat versi narasi lisan yang ditemui untuk menjejak rumusan tentang Pura Batu Sila Rupit. Versi pertama, memandang Pura Batu Sila Rupit sebagai situs pradana (unsur feminim). Batuan sempit yang membangunnya mirip dengan yoni, lambang kesuburan. Situs itu konon tempat Bhatari Sakti Batur melakoni tapa yoga untuk melahirkan semesta. Maka dari itu, banten yang dipersembahkan kehadapan Hyang yang berstana di sana adalah ayam panggang bukakak, simbol pradana.

Versi kedua menyebut situs itu sebagai titik awal pembentukan Desa Batur oleh Dalem Waturenggong. Menurut versi ini, raja Bali tersohor itu menemukan pawisik (pesan gaib) di tempat ini untuk menyatukan desa-desa di kaki Gunung Batur—Tampurhyang, Sinarata, Cempaga—menjadi komunitas baru setelah sempat “terkotak-kotak” dan menentang kekuasaannya Gelgel sebagai penguasa Bali yang sah. Menurut narasi ini, para tetua desa-desa kuno itu dikumpulkan di situs tersebut, melakukan rapat, dan menyepakati penyatuan desa-desa kecil ini menjadi desa yang lebih besar. Sebagai tanda kemufakatan antar peserta yang hadir, setiap akan melaksanakan upacara tertentu di sesa, masyarakat harus memohon izin di tempat tersebut.

Versi ketiga terkait dengan keberadaan pusaka selonding kuno yang dimiliki Desa Batur. Konon, ketika terjadi huru-hara di Desa Batur berabad-abad silam, pusaka selonding—dan mungkin pusaka lainnya—disembunyikan di goa kecil yang berada di bawah situs tersebut. Setelah keadaan kondusif, selonding itu kembali diambil dari goa kecil yang masih ada hingga kini. Oleh karenanya, setiap pujawali di situs itu, pusaka selonding wajib ditabuh mengiringi upacara.

Terakhir, ada tuturan yang menyebut situs Pura Batu Rupit sebagai tempat yoga semadi seorang pertapa terpelajar. Konon, beliau yang kemudian bergelar Bhatara Dalem Batu Rupit, bersaudara dengan Bhatara Sakti Bhujangga Luwih—bisa saudara dalam arti geneologis maupun ideologis. Hanya saja, beliau tidak menjalani lokapalasraya, melainkan hanya menjalani wiku ngeraga (pendalaman rohani untuk diri sendiri). Oleh karena jnana yang luar biasa tinggi, serta jasa yang begitu besar sebagai guru desa, masyarakat menghormatinya hampir sepadan dengan penghormatan kepada Bhatara Bhujangga. Maka, sebagai adik, Bhatara Dalem Batu Rupit dimuliakan sehari setelah pujawali di Pura Jati.

Menurut versi keempat, sosok pendeta yang senang melakoni yoga samadi dan senang menyepi di hutan inilah yang menciptakan pusaka selonding lengkap dengan tabuhnya. Pusaka selonding itu merupakan ekspresi tata rohani yang dilakukan, tiga tabuh utamanya terinspirasi dari kondisi hutan, yakni kincang-kincung, nenjo katak, dan lutung punyah. Ketiga tabuh itu hingga kini menjadi tabuh-tabuh yang menunjang pelaksanaan ritus-ritus sakral di Batur.

Menjaring Pesan

Narasi terakhir tentang Pura Batu Sila Rupit agak mengganggu saya. Di kepala saya menjelajah ingatan tentang narasi-narasi Universitas Rohani Bukit Cintamani Mmal di Perbukitan Kintamani berabad-abad silam, sebagaimana tersurat dalam Prasasti Sukawana A-I. Adakah lingkungan situs Pura Batu Sila Rupit merupakan bagian dari lingkungan universitas rohani masa Bali Kuno? Hal ini bisa jadi berelasi, mengingat tempatnya yang berada di kaki Bukit Kintamani sebelah barat.

Hipotesa lain, apa mungkin kedua sosok Bhatara Sakti Bhujangga dan Bhatara Dalem Sila Rupit merupakan representasi guru rohani yang mendalami ajaran Siwa pada satu sisi dan Buddha pada sisi lain? Sebab, jejak-jejak ajaran keduanya tampak masih tersisa di Batur, meski kemudian semakin membias ditelan zaman.

Tentang asumsi-asumsi itu, agaknya masih sangat dini untuk disimpulkan. Perlu penyelaman dan “konflik” lebih kompleks untuk mendapat kesejatian aksara di tengah kabut itu.

Namun, refleksi yang lebih penting untuk dibawa ke permukaan dari kearifan Sasih Kasa, sasih pamungkah Saka, di era postmodern ini adalah menyoal logika berpikir leluhur di masa silam. Agaknya, konsep ilmu pengetahuan—dan kesucian—senantiasa ditempatkan pada tingkat primer dalam setiap laku spiritual masyarakat Bali lampau. Artinya, merawat nalar untuk kelangsungan ritus menjadi penting untuk menakar kepatutan di atas kemampuan terhadap segala praktik spiritual yang dijalani. Berbagai kemampuan memahami, memaknai, dan melakoni entitas hidup adalah baik, namun akan semakin baik jika dilakoni berlandaskan kepatutan menurut tempat, waktu, dan kesepakatan bersama. Memberikan ruang logika di atas rasa, akan menghindari egoisme beragama yang seringkali muncul di era postmodern. Akibatnya, timbul saling hujat antarajaran, sebab merasa pegangannya paling benar.

Pesan lainnya terkait dengan pentingnya catatan. Ilmu pengetahuan—dan kesucian—tidak jatuh jauh-jauh dari catatan. Catatan hendaknya dibaca-baca dan dipahami, bukan sekadar dipuja sebagai entitas sakral. Bahkan, catatan masa lampau juga sering “dikriminalisasi” sebagai penyebab penyakit gila, yang akan menyerang mereka yang berupaya ingin tahu. Jauh berabad-abad silam, sejumlah prasasti Bali Kuno memulai catatannya dengan frase yumu paka tahu sarwa, yang berarti ‘hendaknya ketahuilah oleh kalian semua’. Maka, mengapa manusia yang mengaku lebih modern justru malas membaca, lebih suka copy dan paste? [JPDB]

_____

1Hauser-Schäublin, Brigitta. 2011.Pura Ulun Danu Batur dari Segi Historis: Sumbangan Tanah dan Karunia Air. Göttingen, Germany

2Riana, I Ketut. 2011. Lalintih Sang Catur Sanak Bali: Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kaywan Balingkang, lan Warga Bali Aga.Gianyar: Yayasan Tan Mukti Palapa

Tags: alamBatursastrasejarah
Previous Post

Tak Ingin Selamanya Jadi “Kontraktor” alias Pengontrak Rumah Seumur Hidup

Next Post

Pendidikan Anak Terbaik di Masa Pandemi

Jero Penyarikan Duuran Batur

Jero Penyarikan Duuran Batur

Memiliki nama lahir I Ketut Eriadi Ariana. Pemuda Batur yang saat ini dosen di Prodi Sastra Jawa Kuna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Senang berkegiatan di alam bebas.

Next Post
Ketidakpastian Pandemi: Dukungan Psikososial Vs Teori Konspirasi

Pendidikan Anak Terbaik di Masa Pandemi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more

Menakar Kemelekan Informasi Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 14, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

“Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang ...

Read more

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co