Mendengar lagu “Siapa Suruh Datang Jakarta”, membuatku senyum-senyum sendiri. Nyanyian itu terasa satire di telingaku. Ya, aku adalah perantau di Ibu Kota Jakarta. Kota yang menjanjikan segala kemewahan karena menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia. Aku tak munafik, memang waktu aku masih di kampung halaman, selalu saja ingin bisa bekerja ke luar daerah.
Sebenarnya bukan hanya Jakarta. Aku memang ingin keluar kampung, karena menurutku dengan keluar dari zona nyaman di kampung sendiri akan membuatku lebih bekerja keras dan bisa hidup lebih baik. Niatku merantau terlaksana pada 2011. Saat itu, aku memutuskan keluar dari tempat kerjaku dan mengikuti panggilan wawancara di salah satu stasiun televisi swasta yang berlokasi di sekitaran jalan Tandean. Namun, panggilan itu hanya cukup untuk membawaku keluar dari kampung halaman saja. Aku tak lolos seleksi, dan terpaksa menganggur dalam waktu yang cukup lama. Tak betah karena selalu merasa merepotkan keluarga yang aku tumpangi, aku mencari cara agar bisa bekerja. Akhirnya ada seorang teman di Surabaya yang mengajakku mengurus media online yang baru ia bangun.
Perantauanku boleh terbilang nekad. Salah satu teman pernah berujar, kalau aku ini seorang traveling yang hanya bermodal ijazah. Aku tak punya tabungan. Aku selalu berpindah dari satu daerah ke daerah lain, hanya untuk memenuhi panggilan kerja. Di tempat baru aku selalu menumpang tidur. Jika mendapat kerja, baru aku memutuskan untuk mengontrak kamar. Aku berpindah-pindah dari Jakarta-Surabaya-Bali, dan akhirnya sekarang aku menetap di Jakarta dengan bekerja sebagai asisten produser di salah satu televisi swasta. Cita-citaku untuk bekerja di stasiun televisi swasta di Ibu Kota terwujud, tapi tetap menjadi ‘kontraktor’, sebutan iseng untuk orang yang selalu ngontrak karena susah memiliki rumah.
Hidup di Ibu Kota memang tak semudah yang dipikirkan. Kebutuhan hidup seperti tak ada habisnya. Uang tak pernah bisa aku tabung. Terlebih saat ini aku sudah berkeluarga, dan memiliki dua orang anak yang masih bayi dan balita. Gaji lumayan juga tak bisa memenuhi kebutuhan. Selalu ada lubang yang digali, dan ditambal, lalu kadang digali kembali. Impian memiliki rumah sekaan jauh dari angan.
Dalam sebuah acara yang bertajuk Indonesia Housing Forum yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, rabu 19 Juni 2019, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid sempat menyebut, diperkirakan ada sebanyak 81 juta milenial di Indonesia yang belum memiliki hunian atau tempat tinggal yang merupakan milik pribadi. Terlebih, harga rumah terus mengalami kenaikan. Sedangkan generasi milenial belum mampu untuk mendapatkan hunian tersebut. Aku termasuk dari puluhan juta orang tersebut yang sulit menggapai impian itu.
Saat melihat kedua anak dan istri tertidur, ada rasa tak tega menghampiri pikiranku. Aku tak ingin mereka selamanya tinggal di rumah kontrakan yang hanya disekat dua dinding ini. Aku juga ingin melihat keluargaku ceria, karena bebas bergerak di rumah yang memiliki kamar, dan ruangan bersantai yang luas. Tak harus mewah, tapi semua tempat memiliki fungsi yang selayaknya. Tak seperti saat ini; memasak di dapur, bersantai menonton televisi, dan tidur di kasur seperti tak berjarak. Tak jarang seisi rumah batuk-batuk jika istri sudah mulai memasak di dapur.
Pemerintah melanjutkan Program Satu Juta Rumah pada 2020
Program Satu Juta Rumah. Mendengarnya, seperti merasakan angin sepoi-sepoi di tengah teriknya panas matahari di siang bolong. Program tersebut merupakan salah satu program strategis nasional Kabinet Kerja pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Tujuannya, ingin mewujudkan rumah yang layak huni bagi seluruh Warga Negara Indonesia.
Sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 April 2015 di Kabupaten Ungaran, Provinsi Jawa Tengah, Program Satu Juta Rumah yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini juga dianggap dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Selain capaian pembangunan rumah yang terus meningkat, Program Satu Juta Rumah juga turut membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta membawa investasi bagi daerah.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengungkap, melalui pelaksanaan Program Satu Juta Rumah pemerintah ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa pemerintah benar-benar fokus pada penyediaan perumahan bagi masyarakat. Dalam hatiku, “apa aku bisa seberuntung itu, mendapatkan rumah yang dimaksud oleh pemerintah?”.
Program satu juta rumah ini sedianya tidak gratis. Untuk mendapatkan rumah, nyatanya aku tetap harus menabung agar bisa membayar dengan mengikuti kebijakan yang telah dibuat. Syarat utama untuk mengikuti program ini adalah berpenghasilan maksimal Rp 7 juta per bulan. Aku memiliki uang gaji di bawah itu, berarti sudah memenuhi syarat. Hanya saja, aku masih sulit untuk menyisihkan uang. Padahal, selain mengandalkan gaji kami juga berjualan apa saja yang dibutuhkan orang agar bisa menambah penghasilan. Mungkin karena modal kecil, akhirnya perputaran uangnya juga tak sebesar usahanya. Tapi keinginanku untuk tak ingin mengontrak selamanya sudah bulat. Aku yakin usaha kerasku dapat mencukupi untuk membayar uang muka, yang kabarnya cukup 1 persen dari harga rumah secara keseluruhan. Dengan menambah semangat usaha, aku yakin mampu membayar uang angsuran yang dimulai dengan Rp 600 ribu per bulan itu.
Kuatkan Tekad Untuk Memiliki Rumah Pribadi
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sempat berujar, “Pemerintah bersama para stakeholder perumahan harus bekerjasama dan berlari ke depan lebih kencang lagi khususnya untuk pelaksanaan Program Satu Juta Rumah di lapangan.” Dia juga mengimbau pemerintah daerah turut aktif dalam pelaksanaan program Satu Juta Rumah. Pemda bisa berpartisipasi dengan memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) Perumahan maupun alokasi pembangunan perumahan melalui dana APBD. Dengan begitu, target Satu Juta Rumah bisa cepat tercapai.
Kementerian PUPR pernah menargetkan pembangunan 1,25 juta unit rumah untuk masyarakat pada tahun 2019 lalu. Jumlah tersebut untuk mengejar target pembangunan lima juta unit rumah sejak 2015 lalu. Akhir 2019, masih ada kekurangan sekitar 200 ribu unit rumah. Untuk itu di 2020, Pemerintah berusaha mengejar target dengan berbagai upaya. Salah satunya dengan melaksanakan Pembangunan Perumahan Berbasis Komunitas (P2BK). Program ini disebut-sebut dapat mendorong masyarakat yang tergabung dalam komunitas agar memiliki rumah laik huni. Program P2BK adalah gerakan bersama untuk pembangunan rumah bagi masyarakat dengan tidak hanya mengandalkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Apapun konsepnya. Harapanku semoga Program Satu Juta Rumah berjalan lancar, dan tidak ada yang diselewengkan. Program ini sejatinya harus bisa memenuhi hajat hidup orang-orang yang sungguh-sungguh sangat membutuhkan. Dalam kata lain, tepat sasaran. Semangatku, juga harus sekencang usaha pemerintah untuk mewujudkan mimpi para Kepala Keluarga yang belum memiliki tempat tinggal milik pribadi. Semoga niat ini juga memotivasi orang-orang yang senasib denganku. Tak harus berkemewahan, asalkan Sandang-Pangan-Papan terpenuhi. Tak lagi menjadi ‘Kontraktor’, dan bisa tinggal di rumah sendiri.[T]