Ingat padanya, membuka keharuanku. Bahunya yang tak lagi tegap, urat-urat tangan dan kaki yang keluar serta garis-garis usia di wajahnya menceritakan banyak hal. Bapak yang selalu mengajak kami membuat mainan. Semasih ia bisa mencari bahan-bahan dan membuatnya, ia akan membuatnya. Tas kami yang robek, ia jahit padahal kami sudah merengek minta dibelikan tas baru. Pernah aku merengek minta dibelikan boneka. Ia datang bukannya membawa boneka namun membawa celengan tanah. Sejak itu kami rajin mengumpulkan uang di celengan tanah. Setelah cukup barulah aku mendapatkan keinginanku. Ia laki-laki yang bisa mengerjakan apa saja. Ia tidak banyak omong, namun betul-betul bekerja.
Bapakku adalah pahlawanku sekaligus cinta pertamaku. Kiranya itu julukan yang tepat untuknya. Aku selalu menanti kedatangan bapak dari sekolah. Karena bapak sering meminjamkanku buku-buku dan majalah. Sampai di tanganku, aku akan langsung melahap habis majalah tersebut dan menjawab teka teki silangnya. Buku-buku ini sangat mengesankan bagiku. Banyak cerita anak inspiratif di dalamnya. Dan ini mengembangkan imajinasi kanak-kanakku tentang dongeng, permainan serta pergaulan dengan teman-teman. Dunia “magis” masa kanak-kanakku semakin berkembang. Tak jarang di sekolah aku mengarang dongeng sendiri dan kuceritakan pada teman dekatku. Selain itu aku selalu membuat teka teki silang untuk kado ulang tahun teman-temanku. Jadi menjelang temanku ulang tahun, aku berpikir keras membuat teka teki silang.
Puisi pertamaku berjudul “Tanah Air” aku bacakan di depan kelas saat aku duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar. Bapak adalah penonton pertama di rumah apabila keesokan harinya aku akan tampil di depan kelas membaca puisi. Penonton sekaligus pengkritik pertama.
Kadang-kadang aku membangkang bapak. Aku termasuk anak yang tidak bisa begitu saja menerima suatu kejadian. Aku selalu menuntut penjelasan dan alasannya. Kalau tidak, aku akan ngambek dan membantah. Pernah aku dilempari puntung rokok yang setengah menyala oleh bapak . Saat itu ia baru pulang dari mengajar, bapak baru saja duduk kemudian melepas sepatu. Bapak kemudian menyulut rokoknya sambil ngobrol sama ibu. Tampaknya ada hal serius yang mereka bicarakan. Aku langsung memburu bapak dan menuntut bapak membuatkanku camplung. Membuat camplung adalah tugas sekolah. Ibu memberi isyarat bahwa ngomongnya nanti saja. Bapak masih lelah. Namun aku masih merengek-rengek. Saat itu aku masih kelas tiga SD. Bapak langsung melempar sisa rokoknya ke arahku. Dengan sigap ibu menyeretku, menyelamatkanku. Terkadang kalau bapak marah dan aku merasa benar, aku akan membantah. Aku memerlukan penjelasan mengapa aku dimarahi ? Aku menyukai kesepakatan, penjelasan tentang resiko serta sebab akibat daripada gaya otoriter. Jika sudah memilih, maka resiko dan segala konsekuensinya harus berani menanggungnya.
Bapak adalah perpaduan melankolik yang sempurna dan phlegmatis yang damai. Ini terlihat dari keseharian bapak baik dalam menyelesaikan persoalan maupun bergaul dengan teman-temanya. Suatu kali seorang temannya datang bertandang ke rumah. Teman bapak, Pak Made terlihat sangat rame dengan kata-katanya yang mendominasi, cara bicaranya yang memberondong dan antusias menunjukkan kalau ia seorang sanguin yang populer. Berbeda dengan bapak. Bapak tahu kapan harus masuk ke dalam pembicaraan dengan “joke” halus dan kebanyakan menjadi pendengar yang baik. Mereka terlihat klop bagai puzzle yang saling mengisi. Karena seorang sanguin membutuhkan pendengar sedangkan seorang phlegmatis mampu menjadi pendengar. Sifat melankolik bapak terlihat dari cara bapak mengorganisasi meja kerjanya. Semua bukunya tersusun rapi, arsip-arsip tergantung rapi di lemarinya. Map-map berlabel rapi. Kalau pun ada yang ia lihat barang di tempat sampah yang masih bagus, ia akan mengambilnya karena baginya sayang kalau dibuang. Ini masih bisa digunakan untuk hal lain yang ia rencanakan. Hal ini membuat ia pandai berhemat. Ia mampu memodifikasi barang yang sudah rusak, mengganti bagian yang rusak dengan bahan lain sehingga barang itu bisa kembali digunakan tanpa membeli yang baru. Perpaduan sifat inilah yang membuat bapak lengkap sebagai individu. Ia tidak mencari kesenangan, kemewahan melainkan kedalaman dan sensitivitas. Kesenangan baginya adalah sesuatu yang penuh pertimbangan, sesuatu yang sudah dipikirkan masak-masak. Bapak adalah seorang yang pemikir, dapat diandalkan, serius dan tekun pada tujuan .
Dia tahu pasti cara mengatasi stress dan segala tekanan yang ia alami. Dia begitu pandai menyembunyikan perasaannya. Dia bukan orang yang ekspresif menunjukkan rasa cinta dan sayangnya baik pada ibu maupun pada kami. Sehingga saat salah satu dari kami menikah, tidak ada ada pelukan dan ciuman di pipi. Kontak fisik yang ia lakukan hanya menepuk bahu kami. Dan itu sudah melebihi dari cukup bagiku. Aku merasa mendapat dukungan dan kekuatan darinya lewat tepukan di bahu yang ia berikan. Begitu pula saat ibu meninggal, ia tidak menangis sama sekali. Dia akan bercerita dengan tenang tentang masa mudanya, bercerita tentang pertemuannya dengan ibu dalam mimpi. Ceritanya mengalir tenang dan datar hanya dilatari senyum tipis.Itulah bapakku. Ia terlihat kurang romantis. Kami, anak-anaknya tidak pernah melihatnya mencium ibu di depan kami, melingkarkan tangan di pinggang ibu atau membelai rambut ibu. Namun tatapannya pada ibu sangat dalam.
Bapakku menyenangi alam. Alamlah yang membuatnya seimbang dan positif. Ia tidak pernah men”judge” apapun itu. Kakinya tetap berpijak di bumi, meski situasi berubah-ubah. Ini yang aku pelajari darinya. Setiap melihat tumpukan barang bekas, aku ingat padanya. Ia mengukur dengan teliti lembaran triplek agar sisanya tidak terbuang dengan percuma.
Aku menyukai gaya bercerita bapak. Ia pendongeng yang baik. Sungguh jelas alur ceritanya, karakter tokohnya hingga latar ceritanya. Hal ini membuat imajinasiku semakin sempurna ditambah dengan suara tiruan yang ia buat. Misalnya ketika angin berhembus, maka ia akan mengeluarkan suara, wusss….. atau ringkikan kuda sang raja yang tengah berburu di hutan. Sebagian besar cerita atau dongeng yang ia ceritakan berlatar pedesaan dengan sawah yang menghampar ditingkahi burung-burung, petani-petani bertelanjang dada mengusir burung dengan petakut dan sebagainya. Ah, bapak. Semuanya aku ingat dengan jelas. Gaya berceritanya hingga kini aku tiru tatkala mendongeng untuk dua jagoanku. Tema-tema ceritanya kebanyakan tentang persahabatan dan kepahlawanan. Hingga aku duduk di bangku SMP, ketika bapak tak lagi mendongeng, aku dengan kreatif mengarang cerita untuk kuceritakan kepada kakak sebelum tidur. Selama beberapa bulan, aku dan kakak bergiliran bercerita setiap malam sebelum tidur. Aku menyukai dongeng-dongeng tentang putri raja, pangeran dan peri-peri dari langit.
Sepenuhnya hubunganku dengan bapak sangat manis. Aku anak yang sering bertanya dan bapak menjawab dengan baik. Hanya satu hal yang aku kurang sukai darinya adalah saat dia marah, dia akan diam seribu bahasa. Saat marah, dia bukan lagi seorang penjawab dan pendongeng yang baik. Namun itu tak mengurangi hormat dan sayangku untuknya. Dia tetap pahlawanku.
Bapak tak banyak bicara. Banyak yang bilang dia tak pintar beradu pendapat. Dalam kediamannya dia bisa melakukan banyak hal. Menjahit sepatu dan tas kami yang robek, memperbaiki kursi yang patah, memperbaiki genteng, dan yang sering aku nanti dengan harap-harap cemas adalah saat ia memanjat pohon kelapa yang tinggi/ mongkod. Dari bawah aku menatapnya dengan tatapan cemas. ” Bapak, hati-hati.”
Suatu hari, bapak bercerita tentang seorang temannya di tempat kerja yang selalu mengabaikan / melalaikan kewajibannya. Kemudian aku bertanya, ” Kenapa ?” Bapak hanya menggeleng. ” Alasannya banyak dan begitu sering.”
Dari rentetan cerita bapak itu, yang paling melekat dalam ingatanku adalah dua kata yang ia ucapkan yaitu “warga dunia”.
” Yan dadi wargan Gumi, rage ngelah kewajiban jak Widi.” Bapak berkata bahwa sebagai warga dunia, kita harus paham dan melaksanakan kewajiban kita kepada Tuhan. Saat itu aku duduk di kelas 3 SMP ( Sekolah Menengah Pertama ). Waktu itu aku belum paham betul. Namun sekarang, ketika aku renungkan dan menyadari keberadaanku, aku paham akan diriku. Bapak, ibu, aku dan saudara-saudaraku adalah warga/anggota dari dunia dalam dan dunia luar. Dunia dalam adalah kesejatian kita ( sang aku ) sedangkan dunia luar adalah hal-hal di luar kita termasuk masyarakat. Yang membuat kita tidak bahagia adalah pertentangan dan pertarungan hasrat kita dengan tuntutan dunia luar. Berarti bapak telah mengenalkan filosofi kehidupan padaku. Aku sungguh tertarik akan aliran ceritanya. Di setiap hal yang ia ungkapkan, pasti ada satu atau dua kata yang menarik untuk kutelaah dan selalu kuingat.
Kemudian yang sering mengundang gelak tawaku saat bapat tidak habis pikir tentang perilaku seseorang. Ia sering nyeletuk ,” Ne jeleme ape ubuan ?” artinya, ini manusia apa binatang?. Kedengarannya memang agak kasar. Namun setelah dipikir-pikir benar dan bahkan punya pengertian yang mendalam. Tentu saja binatang tidak dilengkapi dengan akal pikiran seperti manusia sehingga binatang tidak mengenal tata krama, sopan santun dan tidak berpikir sebelum bertindak. Sekali lagi banyak hal yang bisa kupetik dari keseharian bapak dan ibu. Ibu yang terkadang rapuh meski ia selalu berusaha positif dan kuat. Ya. Ibuku hanyalah manusia biasa yang selalu berusaha kuat tanpa kesadaran untuk melepas dengan ikhlas segala duka nestapa. Ia sering membiarkan dirinya menggelayut dalam pohon ketaknyamanan. Menyadari segala kekurangan dan kelebihan mereka, aku menerima kedua orang tuaku apa adanya sebagaimana mereka menerimaku apa adanya.
Bapak dan Ibu telah memperkenalkan dimensi-dimensi hidup yang nyata. Mereka memberikan pelajaran berharga untuk bekalku. Mereka tidak hanya memberikan pelajaran matematika dan IPA, namun lebih dari itu. Pelajaran kehidupan yang penuh babak berliku dan misteri tanpa ciri.
Di atas semua itu, ibu dan bapak telah menyuguhkan cinta dari sejak mula kehadiranku di sebuah tempat bernama Dunia ( Mayapada ). Bahkan selanjutnya doa merekalah yang selalu menyertai hari-hariku. Betapa beruntungnya aku. Mereka menyuguhkan cinta yang mengagumkan dengan cara penyampaian yang berbeda. Sehingga tangki-tangkiku penuh cinta. Cinta mereka membuka jalan hidup dan memberikan cara hidup. Bahkan ketika aku memutuskan untuk “memilih” jalan hidupku, Ibu Bapak dengan berbesar hati menerimaku dan membebaskanku asalkan aku yakin dengan jalan yang kupilih dan bapak selalu menekankan ” pilihlah satu jalan yang kau yakini dan ambil segala konsekuensinya”. Meskipun ibu memerlukan waktu untuk membebaskanku namun akhirnya ia bisa menerimanya. Dalam hal ini pandangan dan pikiran bapak sangat mempengaruhi ibu. Ibu yang semula ragu-ragu, takut dan cemas berhasil diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Bapak termasuk orang yang menganut “jalan ketiga”. Jalan ketiga yang kumaksud adalah ia menyadari bahwa selain sebagai pelaku/subyek kehidupan, ia juga menyadari bahwa ada kekuatan mahadahsyat yang mengatur dan merancang hidupnya. Jika orang pada jalan pertama hanya menghayati peran sebagai subyek kehidupan dan orang pada jalan kedua hanya menghayati peran sebagai obyek/ yang diperlakukan kehidupan, maka orang pada jalan ketiga menyadari kedua esensi tersebut. Dalam banyak hal pola pikir bapak itu dapat mempengaruhi ibu. Meski tidak seluruhnya, namun peran bapak sebagai kontrol merupakan perpaduan yang indah. Aku sungguh bangga menjadi bagian dari mereka.
Waktu berjalan terus, tak kenal lelah. Siapa yang tahu rahasia waktu ? Siapa yang tahu jalan Tuhan ? semuanya misteri. Kini bapak dan kekasihnya telah berbahagia dengan Sang Hyang Achintya. Aku tetap merindukannya dan Aku selalu melihat wajahnya di setiap buku dongeng yang aku baca.
Seorang Pria yang Selalu Berdiri di Gerbang Pagi
Ingatkah dulu kau selalu menanak kata-kata
Menyuguhkan semangkok buburnya pada dingin mulutku
Lihatlah di atas tanah ini kau mengukir jejak masa lampau dengan meringkus segala kernyit yang menjadi limbah air mata
Tangan perkasamu lihai meramu sarapan tumis kol dan telur orak arik
Disepuh celoteh hangat dari kepul segelas susu hangat
Kau mengenal baik peringai pagi
Karena kau selalu berjaga membangun rumah ditingkahi cahaya emas
Agar tumbuhlah rumah pengharapan dalam jiwa kami
Agar mimpi kami selalu nyala di atas tungku syukur
Kau sungguh ayah yang hebat
” Kita tak bisa kendalikan orang lain. Kita hanya bisa membangun benteng lebih kuat.”
Katamu lagi,” Berilah jeda pada langkahmu agar kau bisa bernafas.”
Rumpun tabah dimatamu selalu tumbuh dan bertunas
Duka selalu gagal membelah dadamu
Meski ia membawa belati perpisahan atau jenawi nan mistis
Aku masih ingat saat kau menarik busur tuk melepas anak panah
Tak pernah apa pun merambat dalam matamu kecuali binar yang kentara menabuh riang ketika kami menceracau tentang sekolah
Kau selalu berdiri di gerbang pagi
Agar suburlah tanah kami dengan kesetiaan
Agar teguhlah pohon kami dari udara yang cemar
Ijinkanlah kami selalu mencangkok rindu
Membiarkan kenang menggenang dan mengejamu penuh bangga
Sebagai seorang pria penjaga gerbang pagi
Yang meski kau pulang bayangmu selalu setia mencandu mentari
Memerangkap udara pagi dan menjerangnya menjadi tongkat kembara yang kukuh
( Rai Sri Artini)
_____
6 Juli 2014
Telah lama tak kau lihat
Hujan di sabit mataku
Kali ini ia datang membadaikan gelisah
Basah di sekujur dadamu yang menganga oleh jarum cuaca
Merentakan rindu di penghujung tarian hujan
Kau telah lelah menelaah kucur kekata
Jejak air mata yang usang ditikam usia
Tak ada yang mampu membahasakan keriput di dinding tubuhmu
Semata keluh pun tak nampak dalam reliefnya
Sebatang sepi bersembunyi dalam riuh liurmu
Terkulum bersama harum tembakau
Uapnya sunyi tanpa lagu
Huruf-huruf dalam lidahmu bisu mati rasa
Diantara detak jam yang setia menghitung usia
Rambutmu memutih
Berguguran di kaki angka
Aroma tubuhnu nanar membilang warna
Akhirnya kau memilih pergi daripada terasing dalam keramaian
Paragraf penuh tanya kau bawa dalam kepalamu beku
Kisah-kisah ganjil kau puisikan dalam butiran peluh
Tak pernah ada yang tahu rahasia sepupuh siulmu
Bahkan udara yang hilir mudik di hidungmu
Tak tahu
Kakiku bertelimpuh rapuh
Keasingan mendesing gigih
Membakar dagingku menjelma abu yang renik
Memburamkan jendela rumah sakit
Jiwaku berceceran di jalanan
Rinduku tergeletak di lantai rumah sakit
Aku asing
Kau asing
Semua asing
( Rai Sri Artini )
NB : Tulisan ini untuk mengenang 6 tahun berpulangnya Bapak