Saya mulai membaca-baca beberapa prasasti Bali Kuno yang bisa saya akses. Persoalan akses ini pula yang selalu mengganggu usaha saya secara pribadi, saat ingin belajar naskah lontar yang kini tersimpan di perpustakaan di luar negeri. Persoalan akses terhadap prasasti Bali Kuno yang tersimpan di Bali pun tidak terhindarkan, karena prasasti-prasasti itu disimpan dan dijaga oleh tradisi religius. Pada konteks inilah tradisi memang menciptakan dirinya sebagai pelestari dan penjaga.
Tulisan ini awalnya berupa catatan belajar. Prasasti yang saya baca kali ini adalah Sembiran AI. Aksara yang digunakan disebut aksara Kawi. Bahasanya adalah bahasa Bali Kuno. Bahasa Bali Kuno kini jarang dipelajari. Untuk memperlajari bahasa Bali Kuno, bisa dimulai dari kamus yang ditulis oleh Granoka [dkk.] pada tahun 1985. Menurutnya, bahasa Bali Kuno juga memiliki kontak dengan bahasa Sanskerta. Saya menduga, bahasa Bali Kuno masih diwarisi di beberapa daerah pegunungan di Bali.
Usaha untuk belajar membaca Prasasti Bali Kuno, saya awali dengan membaca alih aksara yang dilakukan oleh Goris. Alih aksara itulah yang saya bandingkan dengan foto prasastinya. Dari hasil pembandingan itu, saya menemukan satu kasus yang menarik. Kasus yang saya maksud adalah hasil alih aksara yang dilakukan oleh Goris. Ada banyak peneliti yang merujuk tulisan Goris ini, dan itu artinya kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Tapi saya menemukan satu kesalahan kecil yang dilakukan oleh Goris yang akan saya tunjukkan lewat foto di bawah ini.
[Sumber: Goris, 1954: 65]
Saya fokuskan pada kata Paṇḍyan [Pandyan] yang terdapat pada baris kedua dalam foto itu. Huruf ‘n’ dengan titik bawah digunakan untuk mengalihaksarakan ‘na rambat’ dalam aksara Bali. Sedangkan huruf ‘d’ dengan titik bawah adalah ‘da madu’. Sekarang mari kita bandingkan dengan foto prasasti koleksi Perpustakaan Universitas Leiden di bawah ini.
[Sembiran AI, baris 1]
Foto prasasti di atas, dibaca Paṇḍayan [Pandayan] dan bukan Pandyan. Di dalam kamus yang dikerjakan Granoka, tidak ada entri Pandyan. Entri yang ada adalah kata Pandayan [nama orang] dan pandayan [pandai] [Granoka, 1985: 77]. Perbedaan keduanya ada pada huruf besar dan kecil. Meskipun dalam prasasti tidak akan kentara, mana huruf kecil dan mana huruf besar.
Itulah catatan singkat saya terhadap hasil bacaan. Menemukan kesalahan sekecil itu dalam tulisan ilmuan sekelas Goris, membuat saya senang. Mungkin karena begitulah sifat dasar manusia yang senang menemukan kesalahan orang lain. Atau karena saya merasa bahwa Goris juga manusia yang bisa membuat kesalahan. Oleh sebab itu, saya berpikir, apakah ada lagi kesalahan-kesalahan kecil yang dibuat Goris dalam alih aksaranya? Mari baca prasasti. [T]