Masa Pagebluk bukan hanya jadi era peperangan antara manusia dan Coronavirus Disease 2019, tetapi juga antara Covid-19 dan COVID-19. Di Indonesia, duel ini berlangsung dramatis dan terjadi di berbagai ranah: berita di televisi, berita daring, majalah, koran, grup Whatsapp, dan sebagainya. Lantas, siapa yang pantas menjadi juara?
Awalnya pertarungan yang terjadi bukanlah satu lawan satu seperti sekarang. Ada beberapa peserta yang sebelumnya turut meramaikan arena pertandingan, seperti covid-19, covid 19, Covid-19, Kovid-19, dan banyak lagi. Satu per satu dari mereka berguguran seiring tidak pernah dipakainya mereka dalam tulisan-tulisan tentang pandemi ini. Selain itu, menurut PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), mereka tersingkir bukan hanya karena tak mendapatkan panggung, melainkan juga karena salah secara ejaan. Lanjutnya, covid-19 salah karena dalam aturan akronim bahasa Indonesia tidak boleh ada akronim nama diri yang berawalan huruf nonkapital.
Kemudian, covid 19 juga salah karena sebuah akronim harus terdiri dari satu kata. Aturan lainnya, ketika dalam satu kata terdapat gabungan huruf dan angka hendaknya dibubuhi sebuah tanda hubung (-) antara huruf dan angka itu, seperti dalam bentuk ‘Perang Dunia ke-2’, ‘abad ke-2, dan ‘S-1’. Lalu, PUEBI melanjutkan, Covid-19 juga salah karena ia dimiringkan. Memang benar sebuah ungkapan asing (dan daerah) dalam bahasa Indonesia harus ditulis miring, tetapi terdapat pengecualian pada nama diri, seperti nama orang, lembaga, atau organisasi. Nah, virus ini adalah sebuah nama diri sehingga penulisan miring tidak tepat disematkan padanya.
Berawalan huruf nonkapital, diberi spasi, dan dimiringkan telah kita simpulkan sebagai bentuk yang salah, lalu bagaimana dengan bentuk ‘Kovid-19’? Tidak terdapat spasi ataupun penulisan miring pada bentuk ini, tetapi terdapat pengubahan huruf awal ‘C’ menjadi ‘K’. Untuk menjawabanya, menurut PUEBI, kita cukup mengingat bahwa selama tidak terdapat pada KBBI, adaptasi ini dapat dikatakan salah. Munculnya penggunaan bentuk ini diindikasikan berasal dari banyaknya istilah asing berawalan huruf ‘C’ yang diadaptasi menjadi ‘K’ dalam bahasa Indonesia, seperti creative menjadi kreatif, curriculum menjadi kurikulum, dan column menjadi kolom. Di samping itu, bahasa Indonesia memiliki istilah Korona(KBBI Daring, 2020) yang sebenarnya tidak merujuk pada virus ini. Jadilah, meskipun salah, bentuk ‘Kovid-19’ sempat banyak digunakan, seperti pada salah satu judul artikel www.wartaekonomi.co.id pada 30 Mei 2020, yakni “Diaspora Galang Donasi Bantu Pekerja Terdampak Kovid-19”.
Mari kita kembali pada duel seru yang masih bertahan hingga kini, yakni antara Covid-19 dan COVID-19. Pada laman resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan virus ini, https://covid19.go.id, keduanya melenggang bergantian di dalam judul dan badan artikel-artikelnya. Dua bentuk ini tidak diawali huruf nonkapital, tidak diberi spasi antara huruf dan angkanya, tidak ditulis miring, serta tidak ada penggantian dari huruf ‘C’ menjadi ‘K’. PUEBI memiliki subbab berjudul Singkatan dan Akronim (PUEBI, 2016: 26—29). Di sana diatur mengenai penulisan akronim yang berasal dari nama diri dan bukan nama diri. Karena Coronavirus Disease 2019 adalah nama diri, kita dapat mencermati aturan penulisan akronim yang berasal dari nama diri saja. Terdapat dua aturan terkait akronim nama diri.
Yang pertama, berbunyi, “Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap kata ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik,” sedangkan yang kedua, berbunyi, “Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital”. Kita harus menelusuri apakah akronim dari Coronavirus Disease 2019 itu disusun berdasarkan huruf awal tiap kata, gabungan suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata. Bila kita cermati, ‘co’ adalah suku kata yang mewakili ‘corona’, ‘vi’ adalah suku kata yang mewakili ‘virus’, ‘d’ adalah huruf yang mewakili ‘disease’, dan ‘19’ merupakan bentuk pemendekan dari ‘2019’. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa akronim tersebut tersusun atas gabungan huruf dan suku kata. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penulisan yang paling tepat adalah ‘Covid-19’ sesuai dengan aturan yang kedua. Tapi, yang perlu diperhatikan kemudian adalah bentuk ‘COVID-19’ masihlah dikatakan benar apabila dipakai dalam sebuah judul, dengan catatan seluruh huruf dalam judul tersebut berbentuk kapital, seperti “DATA STATISTIK COVID-19”.
Eits, ini adalah kesimpulan sementara dari analisis PUEBI. Pada dasarnya, akronim dari Coronavirus Disease 2019 ini memang tergolong baru. Terdiri dari gabungan huruf dan angka. Angkanya bukan menunjukkan tingkatan (seperti angka 2 pada S-2 yang menunjukkan tingkatan pendidikan) atau penomoran (seperti angka 2 pada Perang Dunia ke-2), tetapi menunjukkan tahun di mana jenis virus ini pertama kali ditemukan. Inilah kiranya yang membuat duel sengit keduannya masih terjadi hingga sekarang. Melihat fenomena ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus agar masyarakat (terutama yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik) dapat memutuskan mana bentuk yang harus dimenangkan dalam duel-duel sengit di ranah kebahasaan.
Salam Literasi!