Sebelum “Om Swastyastu” yang baru belajar saya pakai, apa sapaan bagi orang Bali kalau bertemu? Pertanyaan ini lama saya pikirkan. Dan tentunya tidak mendapat jawaban karena tak saya cari. Sungguh kebetulan, ada sebuah esai yang menyinggung mengenai sapaan ini. Tetapi tak memuaskan saya. Sebelum itu, saya juga sempat bertanya pada beberapa teman. Juga tak menghasilkan jawaban. Jujur, saya kecewa. Meski belum banyak mencari dan membaca artikel mengenai itu, pokoknya saya sudah terlanjur kecewa, titik!
Setelah lama saya berpikir-pikir, dari pada saya hanya kecewa, mending sekalian kecewa berat. Satu teman belum saya tanya. Dan saya yakin dia tak akan memberikan jawaban tepat atas pertanyaan saya. Siapa lagi kalau bukan teman baik saya, Grudug. Teman-teman yang lain banyak bertanya tentang suatu hal padanya, tetapi 50% + 1 kecewa.
Untuk mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi ini, saya tidak berkunjung ke rumahnya. Lagi pula saya tahu, dia pasti lagi sibuk main layang-layang. Saya coba kirim pesan lewat Wa saja, rupanya langsung dibalas. Wah, saya sumringah. Langsung saya pencet tanda telepon dan sungguh beruntung, dia langsung mengangkat telpon saya.
Pertanyaan tadi langsung saya lempar padanya. Sambil ketawa dia berkata, “Pantas saja salammu membuatku geli. Sering-seringlah belajar biar gak gugup. kayak aku, dong,” katanya dengan percaya diri.
Dugaan awal saya benar, dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan saya. tapi, dia hanya menceritakan perihal neneknya. Grudug bercerita kejadian yang belum lama berlalu. Dia sendiri mengalaminya. Kala itu, sekitar tahun 2000-an, dia masih SD, pedagang asongan masih biasa mondar mandir ke rumahnya. Beberapa bahkan sampai akrab, beberapa hanya sesekali datang.
“Kebanyakan pedagang itu telah menjadi teman nenekku,” katanya.
Tetapi, sapaan mereka entah yang sudah kenal atau baru kenal sama saja. Rumah Grudug berada di sebelah barat jalan. Para pedagang yang datang itu akan berteriak dari luar rumah berkali-kali sambil nyelonong masuk, “Jero Dauhne” yang ketika ia terjemahkan menjadi Bahasa Indonesia terdengar sangat buruk dan membuat saya terpingkal-pinkal, “saudara sebelah barat” tentu saja itu terjemahan asal-asalan. Yang jelas, itu salam untuk orang-orang yang posisi rumahnya di sebelah barat jalan, kalau di sebelah timur akan menjadi “jero dangine” dangin atau kangin, yang berarti timur.
“Kalau rumah orang berada di tengah-tengah? Misalnya depan belakang rumahnya jalan?” tanya saya padanya.
“Bentuk rumah seperti itu sangat jarang ada di rumahku. Memang ada tapi sedikit. Biasanya, setiap rumah punya satu gerbang yang disebut angkul-angkul, gerbang lain hanya jalur tikus. Bukan untuk tamu. Kalau mereka membuat dua gerbang, tetap saja jalan yang menjadi patokan,” katanya.
“Tapi aku pikir itu sapaan yang agak resmi,” sambung Grudug, “sebab bila tetanggaku datang mereka jarang-jarang menyapa seperti itu. Palingan ketika memberi pengumuman resmi untuk rapat desa, atau kegiatan adat lainnya. Lebih sering mereka langsung menyebut nama orang yang dicari. Yang lebih akrab, ya main nyelonong aja dan itu tak jadi masalah,” lanjutnya.
“Bagaimana menurutmu tentang nyapa tetangga yang jelas-jelas membawa handuk dan sabun tetap ditanya mau ke mana. Ada kaitannya, gak?”
Grudug mencoba segala kemampuannya untuk menjawab pertanyaan saya yang akhirnya ia menggunakan metode cocokologi. Katanya, tak pernah ia membaca tentang itu, semua jawabannya hanya perkiraan atas pengalaman.
Menurutnya, itulah bentuk salam informal orang kampung. Basa-basi itu salam, bukan sekadar basa-basi seperti gosip. Sama halnya dengan menawari orang singgah walau kita tahu mereka tak mungkin singgah karena membawa kelapa sekarung yang digantung pada bambu dan diangkat dengan Pundak.
“Enggak mungkin singgah! Alih-alih mau singgah, mereka justru berharap cepat sampai rumah. Tapi itu ekspresi salam. Tak ada pakem seperti yang kita kenal sekarang. Mereka bebas membongkar pasang kata untuk basa-basi tadi,” tegas Grudug.
“Apa kau yakin?” tanya saya.
Betul-betul mengecewakan, dengan cengengesan dia menjawab, “tidak yakin, tapi itu yang aku alami. Hehehe”
“Dasar mahasiswa tak bertanggung jawab. Menjawab tanpa landasan teori yang jelas” pikir saya dalam hati.
Ketika itu, sempat pula saya ceritakan padanya mengenai ucapan maaf dan terima kasih. Masalahnya, saya pernah diajak curhat oleh seorang teman yang tidak diberi ucapan terima kasih, padahal sudah dibuatkan tugas dan dibantu mencetak tugas tersebut. Bahkan, dengan uangnya sendiri. Teman saya baper, langsung ia curhat pada saya tentang hal itu.
Menurut Grudug, sapaan, ekspresi terima kasih, dan maaf kurang lebih sama. (Saudara saya harap tidak menuntut landasan pembicaraan kami. Grudug ini hanya orang yang menjawab dengan perasaannya. Saya mengajaknya ngobrol juga dalam rangka menambah kecewa. Jadi, tenang, saudara dan saya akan menjadi korban kecewa bareng-bareng. Kita dengarkan saja penjelasannya).
“Bedasarkan yang aku alami, ya. Aku semenjak kuliah baru belajar mengatakan terima kasih, maaf, dan sekawanannya itu. Kalau di kampung, bila aku tau orang lain berbuat salah, kami tak pernah mengucapkan maaf. Juga terima kasih. Kalau salah ya bicarakan perihal itu. Misalnya ada saudara yang marah sama kita gara-gara kita cabut singkong di ladangnya. Kalau aku biasanya menjelaskan alasan dan kronologinya. Bukan mengucapkan maaf. Kalau terima kasih malah lebih gampang lagi. Biasanya aku akan tersenyum dan bilang ‘aku bawa, ya’ atau ‘aku minta, ya’ cukup. Itu sudah sangat sopan. Kami tak berkata maaf atau terima kasih, tapi sungguh maksunya adalah begitu. Dulu aku juga pernah ditinggal oleh seorang gadis yang dekat denganku gara-gara tidak bilang makasi setelah dikasi kue ulang tahun.”
Dalam hati saya mulai kesal dengan bagian ini, karena itu saya potong saja. Cukup saya yang tahu, sebab kalau dia mulai curhat, Itu bisa membuatnya menelpon lama dan menangis-nangis. Saya pikir itu saja cerita saya dengan Grudug. Saya sudah kecewa dan saya pikir saudara juga begitu. Jadi ingat, pesan moral kali ini, bertanya boleh tapi jangan mudah percaya dengan Grudug. [T]